Bukan
menjadi rahasia lagi kalau Amerika Serikat dulu pernah dilanda semangat
rasialis. Pengagung-agungan ras kulit putih melahirkan diskriminasi terhadap
ras lain, secara khusus orang-orang dari ras Afrika. Sekalipun mengaku beragama
kristiani, namun spirit kekristenan luntur oleh kebencian rasial. Kebencian mengalahkan
cinta kasih yang menjadi identitas pengikut Kristus. Yesus telah menegaskan
bahwa orang yang melaksanakan kasih, yang merupakan hukum utama (Mat 22: 34 –
40), adalah murid-Nya (bdk. Yoh 13: 35).
Di
tengah kekerasan rasialis pada pertengahan abad 20, muncullah seorang murid
Kristus, yang tidak hanya melaksanakan kasih tetapi juga mengingatkan
saudara-saudarinya untuk menyadari identitas kristiani mereka. Orang itu
bernama Martin Luther King Jr. Dia ibarat pelita di tengah kegelapan kebencian
dan kejahatan. Martin telah menampilkan dirinya sebagai terang dunia,
sebagaimana yang pernah diminta Yesus kepada para murid-Nya (bdk. Mat 5: 14). Dengan
menyadarkan orang akan identitasnya sebagai orang kristen, Martin berusaha untuk
menyalakan api kasih di dalam hati mereka. Martin berupaya agar mereka juga
menjadi terang dan berusaha agar terang yang ada pada mereka itu “jangan
menjadi kegelapan.” (Luk 11: 35).
Martin
Luther King Jr dilahirkan di Atlanta, Amerika Serikat, pada 15 Januari 1929. Dia
adalah seorang pendeta dari Gereja baptis. Pada masa kekacauan rasial (tahun
1954 – 1968), Martin tampil sebagai juru bicara dan pemimpin gerakan hak sipil.
Terinspirasi gerakan “perlawanan tanpa kekerasan” dari Mahatma Gandhi, Martin
berusaha mengajak orang untuk kembali kepada ajaran Kristus, yaitu kasih. Karena
perjuangannya, Martin akhirnya dibunuh. Dia meninggal pada 4 April 1968 di
Memphis.
Berikut
ini adalah kutipan kotbah Martin Luther King Jr, yang disampaikan di Dexter
Avenue Baptist Church, Montgomery, Alabama pada 17 November 1957. Kutipan ini
diambil dari Seruan Apostolik Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, no. 118.