Dan apakah mereka
tidak merenungkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak gila. Dia (Muhammad)
tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas. (QS 7: 184)
Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Di sana
mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga
mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Al-Qur’an
biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan bertindak dalam hidup
keseharian, selain hadis. Umat islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari
Allah SWT kepada nabi Muhammad
SAW. Keyakinan ini didasarkan pada
pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam beberapa surah Al-Qur’an. Jadi, Allah sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan
perkataan-Nya, sehingga
ia dikenal juga sebagai kalam Allah. Karena itu, Al-Qur’an dihormati sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah atau penyerangan
terhadap keluhuran Allah. Orang yang melakukan hal itu harus dihukum berat
dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka secara silang (QS al-Maidah: 33).
Selain
itu juga umat islam melihat Al-Qur’an sebagai keterangan
dan pelajaran yang jelas. Ini juga didasarkan pada perkataan Allah sendiri.
Allah telah mengatakan bahwa diri-Nya telah memudahkan ayat-Nya sehingga umat
dapat dengan mudah memahami. Sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup, Allah
memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga mudah dipahami oleh
umat islam. Tak sedikit ulama menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu
yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi
pesan Allah itu. Dengan perkataan lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna
dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan
apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Seandainya
pun tidak persis seperti yang tertulis, tapi maknanya tak jauh beda dengan apa yang tertulis.
Penafsiran atas wahyu Allah yang berbeda bisa berdampak pada ketidak-sesuaian
dengan kehendak Allah sendiri.
Berangkat
dari dua premis di atas, maka bisalah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Memang
harus diakui juga bahwa apa yang tertulis itu tidaklah sepenuhnya merupakan
perkataan Allah. Kata ‘Muhammad’ yang ada dalam tanda kurung (2 kali) merupakan
tambahan kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Artinya, kata
tersebut tidak pernah diucapkan Allah saat Dia menyampaikan wahyu ini kepada
Muhammad. Melihat dan membaca teks di atas, orang langsung menemukan pembenaran
wahyu Allah, yaitu wahyu Allah jelas dan mudah. Dengan sangat mudah orang
menafsirkan kalimat Allah di atas sebagai berikut: “Muhammad itu tidak gila dan
hanya seorang pemberi peringatan yang jelas.” Sangat sederhana.
Akan tetapi, kalau kita menempatkan kutipan kalimat di atas pada konteksnya, maka langsung ditemukan keanehan dan masalah. Konteks wahyu Allah dalam Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengar. Allah menyampaikan wahyu-Nya hanya kepada Muhammad. Jadi, ketika Allah menyampaikan kutipan ayat di atas, Muhammad adalah lawan bicaranya. Karena itu, secara logika dan juga secara linguistik, tafsiran bahwa yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan itu Muhammad adalah salah besar. Menafsirkan dengan Muhammad itu berarti tidak sesuai dengan kehendak Allah, karena bukan itu maksud Allah. Dapat dipastikan yang tidak gila dan sebagai pemberi peringatan itu bukanlah Muhammad. Jika yang dimaksud itu adalah Muhammad, seharusnya Allah berkata, “Dan apakah mereka tidak merenungkan bahwa engkau tidak gila. Engkau tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.”