Kamis, 30 Juli 2020

MUNGKINKAH ADA AGAMA DI BALIK AMBIL PAKSA JENASAH COVID-19

Sejak bulan Mei hingga kini, setidaknya sudah ada lebih dari 10 kasus pengambilan paksa jenasah yang diidentifikasi mengidap covid-19. Provinsi paling banyak kasus ini adalah Provinsi Jawa Timur (Pasuruan, Pamekasan, Gresik, Surabaya) diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah lain yang ada kasus ambil paksa adalah Aceh, Mataram dan Ambon. Tak jarang dalam proses pengambilan jenasah itu cara-cara kekerasan dilakukan. Dan kalau diperhatikan baik-baik, sebagian besar peristiwa itu terjadi di daerah dengan mayoritas pemeluk agama islam.
Peristiwa ambil paksa jenasah covid-19 ini sepertinya bertolak belakang dengan peristiwa penolakan jenasah covid-19. Setidaknya ada lebih dari 5 kasus penolakan jenasah covid-19 ini. Mereka yang menolak dilandasi pada ketakutan akan penyebaran virus covid-19. Dengan kata lain, warga sadar akan bahaya penyakit tersebut. Ketakutan itu dirasakan berlebihan sehingga menolak pemakaman jenasah covid di wilayahnya, sekalipun pemakaman itu dilakukan dengan standar tinggi. Artinya, bahaya penyebaran virus tidak akan terjadi, alias aman.
Berbeda dengan kasus ambil paksa jenasah. Bukan tidak mungkin mereka yang melakukan hal tersebut sebenarnya sudah tahu dan sadar akan bahaya yang ditanggung akibat dari perbuatannya. Setidaknya ada 2 dasar yang melandasi aksi pengambilan paksa jenasah covid-19 itu. Dasar pertama dan yang paling kuat adalah tidak percaya proses pemulasaran jenasah covid-19 dengan protokol covid-19. Pihak keluarga dan juga warga meragukan proses pemulasaran jenasah sesuai dengan tradisi yang berlaku. Ada sebagian warga percaya bahwa jenasah yang dimakamkan sesuai protokol covid-19, tidak dimandikan dan diproses sesuai ajaran yang ada.
Dasar kedua adalah pihak keluarga dan warga tidak percaya kalau jenasah meninggal karena covid-19. Hal ini disebabkan karena saat dibawa ke rumah sakit, keluhannya bukanlah covid, melainkan sesak nafas, tensi tinggi, jantung atau penyakit lainnya. Akan tetapi, ketika meninggal dan setelah dilakukan tes swab, pihak rumah sakit memvonisnya covid-19. Hal inilah yang meragukan pihak keluarga dan juga warga. Padahal, covid-19 hanya bisa dilakukan dengan proses medis, bukan hanya sebatas ucapan belaka, karena virus ini tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

TAK SEMUA ANAK DI SEKOLAH SWASTA BERASAL DARI KELUARGA MAMPU

Seorang ibu ingin agar anaknya mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Maklum, dia adalah seorang janda, yang telah ditinggal mati suami sekitar 5 tahun lalu. Seorang diri dia harus mengurus 4 orang anaknya. Kini keempat anaknya masih sekolah. Yang tertua masih duduk di bangku SLTA, sedangkan yang bungsu baru tahun kemarin masuk SD. Karena itulah, dia pergi ke RT untuk mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Ketika ketua RT tahu bahwa anak-anaknya sekolah di sekolah swasta, ketua RT menolak untuk memberikan SKTM. Alasan ketua RT adalah bahwa yang sekolah di sekolah swasta adalah orang mampu. Beda dengan yang sekolah di sekolah negeri. Logikanya kurang lebih begini: sekolah negeri gratis, sedangkan swasta bayar. Karena bayar uang sekolah, berarti mampu, sedangkan tidak bayar berarti tidak mampu.
Dengan perasaan sedih, ibu itu pulang kembali ke rumah. Dengan terpaksa dia menguburkan mimpinya akan KIP bagi anak-anaknya. Mau tak mau dia harus bekerja lebih keras lagi agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan.
Kisah di atas sungguh menyedihkan sekaligus memprihatinkan. Menyedihkan karena ketidak-adilan berperan bagi tumbuh suburnya kemiskinan, dan yang menyebabkan ketidak-adilan itu justru berasal dari aparat yang seharusnya berperan dalam mengentaskan orang miskin.
Dari kisah di atas terlihat ada kekeliruan cara berpikir. Ada pendapat bahwa yang bersekolah di sekolah swasta berarti mampu secara ekonomi, padahal belumlah tentu demikian. Ada banyak faktor kenapa orang bersekolah di sekolah swasta, termasuk anak-anak ibu tadi.