Hampir semua agama sepakat bahwa
kumpul kebo itu dosa. Dalam Gereja Katolik, mereka yang kumpul kebo dikenakan
sanksi Gereja, yaitu dihalangi hak-haknya atas sakramen, khususnya komuni (tapi
yang bersangkutan masih boleh ikut ekaristi). Sekalipun sudah melarang, Gereja
tidak punya kekuatan untuk memaksa umatnya tidak melakukan kumpul kebo. Karena
itu, umat perlu juga melihat kumpul kebo ini dari sisi lain.
Dari aspek hukum. Kumpul
kebo merupakan pelanggaran hukum sipil sehingga pelakunya bisa disanksi dengan
hukuman penjara dan/atau denda. Selain itu pelaku kumpul kebo bisa dijerat
dengan pasal perzinahan, karena tidak mungkin mereka yang kumpul kebo tidak
melakukan hubungan seksual. Karena itu, warga bisa melapor jika di
lingkungannya ada praktek kumpul kebo.
Dari sisi hukum, kumpul
kebo merugikan kaum wanita dan anak yang lahir dari hubungan tersebut. Ibu dan
anak tidak dianggap sebagai istri sah, sehingga tak berhak atas nafkah dan
warisan dari “suami” jika ia meninggal, dan tak berhak atas harta gono-gini
jika terjadi perpisahan. Anak tidak punya hubungan hukum dengan ayah. Hal ini
berdampak pada perkembangan psikologis dan sosialnya.
Dari sisi psikologis.
Studi oleh Robin dan Feigers membuktikan bahwa mereka yang menikah memiliki
kebahagiaan 5 kali lipat daripada mereka yang kumpul kebo. Hal senada dengan
studi oleh Kurdek dan Schmitt yang menyatakan bahwa pelaku kumpul kebo memiliki
derajat kepuasan lebih rendah dibandingkan dengan pasangan menikah. Dari hasil
studi ini terlihat bahwa kumpul kebo bertentangan dengan niat orang untuk hidup
bersama, yaitu bahagia bersama.
Dari dua aspek ini, bisa
disimpulkan bahwa kumpul kebo itu merugikan, khususnya bagi wanita dan anak.
Karena itu, hentikanlah kumpul kebo mulai sekarang. Kaum wanita harus berani
mengambil sikap untuk menolak kumpul kebo.
diambil dari tulisan 6 tahun lalu