Rabu, 16 November 2022

ANAK CACAT: DOSA ORANGTUA ATAU KEHENDAK ALLAH?

 


Kerap dijumpai pemikiran bahwa cacat anak dikaitkan kepada dosa orangtuanya. Yesus sendiri pernah menghadapi pemikiran seperti ini (Yoh 9). Ketika bertemu dengan orang buta sejak kecil, orang-orang bertanya hendak menguji Dia apakah penyakit orang itu lantaran dosa orangtuanya atau dosa orang itu sendiri. Jawaban Yesus sama sekali tidak mengaitkan baik orangtua maupun yang bersangkutan, melainkan agar “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (ay. 3) Di sini Yesus mau mengajak orang-orang untuk tidak menghakimi orang yang sudah menderita, melainkan ikut berbela rasa dengan mereka. Daripada menghakimi, lebih baik berbelas kasih demi kemuliaan Allah. Itulah pekerjaan Allah.

Lantas kenapa ada anak yang lahir cacat? Anak lahir tanpa dosa, tak mungkinlah dia cacat jika bukan karena dosa orangtuanya.

Menarik kalau kita merenungkan firman Allah kepada Musa dalam Kitab Imamat: “Jikalau seseorang berbuat dosa dengan melakukan salah satu hal yang dilarang Tuhan tanpa mengetahuinya, maka ia bersalah dan harus menanggung kesalahannya sendiri.” (5: 17). Firman Allah ini kembali ditegaskan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose: “Barangsiapa berbuat kesalahan, ia akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang.” (Kol 3: 25). Dari dua teks kitab suci ini tampak jelas bahwa masing-masing orang menanggung dosanya sendiri. Hanya Yesus yang menanggung dosa umat manusia dan memakunya di salib sebagai bentuk penebusan dosa (1Ptr 2: 24; Rom 5: 8). Jadi, harus ditegaskan cacat anak bukan lantaran dosa orangtuanya.

Lalu, apakah karena dosa anak itu sendiri? Bukankah dia lahir tanpa dosa? Pandangan anak lahir tanpa dosa muncul karena pengaruh pemikiran John Locke dengan teori “tabula rasa”. Dalam teori ini setiap manusia lahir seperti kertas putih. Perkembangan hidupnya membuat lembar-lembar kertas putih itu mulai ada coret-coretan. Apakah Gereja mengakui teori ini terkait dosa?

Mari kita baca surat Paulus kepada jemaat di Roma. Di sana dikatakan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (5: 12). Yang dimaksud “satu orang” itu adalah Adam. Jadi, karena dosa Adam, dosa itu masuk ke dunia. Upah dosa adalah maut (Rom 6: 23); dan maut itu menjalar sehingga semua orang telah berbuat dosa. Ini berarti setiap manusia yang lahir ke dunia membawa dosa tersebut. St. Agustinus mengistilahkannya dengan “dosa asal” atau “dosa keturunan”. Akan tetapi, kita tak perlu gelisah, karena Paulus melanjutkan refleksinya bahwa karena satu orang juga manusia mendapatkan kasih karunia Allah (Rom 5: 15-19; bdk. 1Kor 15: 21-22). Satu orang itu adalah Yesus, sehingga Dia dikenal juga sebagai Adam Baru. Yesus telah menebus dosa manusia. Untuk masa kini rahmat penebusan itu hadir dalam Sakramen Baptis. Karena itulah, Gereja Katolik mempunyai tradisi membaptis bayi.

Lantas bagaimana bisa memahami fenomena anak lahir cacat dalam pandangan Gereja?