Selasa, 24 Desember 2019

RENUNGAN MALAM NATAL


Renungan Malam Natal, Thn A
Bac I  Yes 9: 1 – 6; Bac II         Tit 2: 11 – 14;
Injil    Luk 2: 1 – 14;
Malam hari ini kita mengakhiri peziarahan kita selama masa adven. Penantian kita sudah berakhir. Tuhan Yesus sudah lahir. Itulah natal. Injil malam ini mengisahkan tentang peristiwa kelahiran Tuhan Yesus. Dia adalah Raja Damai (bdk. Yes 9: 6). Raja yang akan datang membawa kedamaian. Karena itu, penginjil menutup kisahnya dengan kidung sukacita bala tentara surga, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (ay. 14)
Bacaan pertama dan Injil malam ini disatukan pada kata “damai”. Kata itu tentulah merujuk pada Yesus yang diperingati dan dirayakan kelahirannya hari ini. Yesus adalah Raja Damai. Dia datang hendak membawa damai. Damai yang dibawa Yesus bukanlah seperti sebuah benda yang sudah jadi dan siap pakai. Seolah-olah Yesus datang maka dunia otomatis damai atau kedamaian itu langsung ada. Yesus hanya memberikan pengajaran, yang melaluinya kedamaian itu dapat tumbuh dan berkembang. Ajaran utama Yesus adalah kasih. Jadi, kedamaian itu masih tetap harus diperjuangkan sehinga dapat terwujud. Yesus memberikan cara mewujudkannya, yaitu dengan saling mengasihi.
Bacaan kedua, yang diambil dari Surat Paulus kepada Titus, memberikan cara mewujudkan kedamaian itu. Apa yang diungkapkan Paulus merupakan bahasa lain dari apa yang pernah diajarkan Tuhan Yesus. Untuk mewujudkan damai dalam hidup, Paulus meminta kita untuk “meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi, ..... hidup bijaksana, adil dan beribadah.” (ay. 12). Selain itu, Paulus juga mengajak kita untuk “rajin berbuat baik.” (ay. 14). Baik di sini tidak melulu berdasarkan selera pribadi kita saja, tetapi memperhatikan juga kepentingan orang lain. Karena itulah, hal ini sejalan dengan tuntutan bijaksana tadi.
Semua manusia pastu mendambakan hidup damai. Kedamaian itu bukan saja lantaran tidak ada perang, tetapi juga soal ketenangan hati. Hari ini Tuhan sudah lahir. Dia datang membawa damai. Namun kedamaian itu harus kita perjuangkan melalui ajaran-Nya. ajaran utamanya adalah kasih. Karena itu, sabda Tuhan malam hari ini menyadarkan kita untuk mewujudkan kedamaian itu dalam kehidupan kita, di mulai dari dalam rumah tangga kita, komunitas kita hingga lingkungan masyarakat kita. Semoga perayaan natal ini dapat membangkitkan kesadaran kita untuk menjalankan ajaran dan perintah Tuhan sehingga kedamaian bersemi dalam hidup ini.***
by: adrian

PERSOALAN WISATA HALAL YANG WAJIB DIKETAHUI UMAT ISLAM, TERLEBIH KAUM ULAMA

Selain produk makanan yang harus memiliki sertifikasi halal, ternyata destinasi wisata juga “harus” mempunyai label “wisata halal”. Baik sertifikasi halal pada produk makanan maupun label “wisata halal” pada daerah wisata, sama-sama bertujuan melindungi umat islam. Sekalipun tidak ada keharusan dalam pelabelan “wisata halal”, namun secara implisit terkandung makna “harus”. Daerah wisata harus ada label “wisata halal” kalau mau dikunjungi oleh wisatawan islam.
Karena istilah “halal” selalu dikaitkan dengan agama/umat islam, maka istilah “wisata halal” dapat dipastikan lebih ditujukan kepada umat islam; untuk menjawab kepentingan umat islam. Dengan “wisata halal” dimaksudkan bahwa tempat wisata tersebut, sekalipun bukan merupakan daerah islam, layak dan ramah bagi umat islam. Misalnya, Bali, Danau Toba, Danau Kelimutu atau Negara Jepang. Dengan memberi label “wisata halal” hal ini menunjukkan bahwa tempat-tempat wisata tersebut layak bagi umat islam dan penduduknya ramah terhadap umat islam. Misalnya, tersedianya rumah makan yang menyediakan makanan yang boleh dikonsumsi umat islam, tersedia rumah ibadah sehingga umat islam dapat menjalani kewajiban sholatnya, dan hal-hal lainnya yang menjawab kebutuhan umat islam.
Memang tidak semua daerah wisata mau memberi label “wisata halal” bagi daerahnya. Sayangnya, daerah atau orang yang menolak label “wisata halal” ini lantas dicap sebagai islam phobia, intoleran dan salah paham soal wisata halal. Benarkah mereka yang menolak label “wisata halal” adalah orang yang intoleran dan fobia pada islam?
Seharusnya, sebelum mencap seperti itu ada baiknya memahami terlebih dahulu persoalan di balik label “wisata halal”? Persoalan yang ada di balik label “wisata halal” perlu mendapat tanggapan bijak dari umat islam sendiri, terkhusus para ulamanya, karena hal ini terkait dengan citra islam sendiri. Setidaknya ada 2 problematika istilah “wisata halal”.