Selasa, 23 April 2013

Homili & Kotbah

HOMILI dan KOTBAH

Homili berasal dari bahasa Yunani homilia (percakapan, komentar). Homili merupakan pewartaan sabda Allah yang bertolak dari bacaan Kitab Suci dan memberi komentar dan penjelasan mengenai bacaan Kitab Suci itu. Homili merupakan bagian liturgi sabda yang amat penting. Homili dimaksudkan untuk mewartakan dan mendalami misteri iman yang sedang dirayakan dengan bertolak dari Kitab Suci yang dibacakan sesuai dengan bahasa dan situasi aktual jemaat. Homili hendak menjelaskan dan mengajarkan misteri Kristus berdasarkan pewartaan Kitab Suci sehingga misteri iman itu relevan bagi hidup umat zaman ini. Homili juga dimaksudkan untuk memperteguh iman umat dan mengantar mereka ke misteri sabda dan sakramen yang dirayakan. Homili juga memuat ciri sakramental, dalam usaha sabda Allah yang diwartakan berdaya untuk menyelamatkan umat. Akhirnya, homili mendorong umat untuk terus berani diutus mewartakan kabar baik kepada dunia.

Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa homili berbeda dari kotbah. Kotbah berasal dari bahasa Arab dan dihubungkan dengan bahasa Latin predicare, yang berarti mewartakan dengan lantang (preach, preaching atau predigt). Kotbah merupakan pewartaan Sabda Allah dan pewartaan iman kristiani yang bertolak dari pengalaman iman dan tidak selalu merupakan penjelasan suatu teks Kitab Suci. Menurut sejarahnya, konteks kotbah bukanlah perayaan liturgi, melainkan pewartaan Injil dalam rangka gerakan misi. Jadi, kotbah diadakan di luar perayaan liturgi dan diarahkan bagi suatu pertobatan. Kotbah menjadi bentuk pewartaan para misionaris untuk mempertobatkan orang agar mengenal Kristus dan beriman kepada-Nya. Dengan demikian, kotbah merupakan pewartaan iman yang tidak selalu bertolak dari Kitab Suci dan diadakan di luar konteks liturgi, sementara homili selalu merupakan penjelasan atas teks Kitab Suci dan diadakan dalam rangka perayaan liturgi. 

Dalam Konsili Vatikan II kotbah dimasukkan kembali sebagai bagian integral Perayaan Ekaristi (SC 35 dan 52). Dengan kata lain, kotbah menjadi homili kembali, karena diadakan dalam rangka Perayaan Ekaristi dan berdasarkan bacaan Kitab Suci. Pedoman Umum Misale Romanum (PUMR) 66 memberi catatan bahwa awam tidak diperkenankan untuk menyampaikan homili dalam Perayaan Ekaristi. Homili bersifat wajib diadakan pada hari-hari Minggu, hari raya, dan pesta-pesta yang terutama dihadiri umat beriman.

(Pencerahan) Antara Nasehat & Cemburu

Rahib dan wanita

Dua orang Rahib Buddha, dalam perjalanan pulang kembali ke biara, bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita di tepi sungai. Seperti mereka, wanita itu pun ingin menyebrangi sungai. Sayang, airnya terlalu tinggi. Maka salah seorang rahib menggendongnya sampai di seberang.

Rahib yang satunya lagi sungguh-sungguh merasa mendapat batu sandungan. Selama dua jam penuh ia mencaci maki temannya karena lengah mematuhi Peraturan Suci. Apakah ia lupa, bahwa ia seorang rahib? Bagaimana ia sampai-sampai berani menyentuh seorang wanita? Dan lebih lagi, menggendongnya menyeberang sungai? Lalu bagaimana kata orang nanti? Apakah ia tidak merendahkan martabat agamanya? Dan begitu seterusnya.

Rahib yang salah itu dengan sabar mendengarkan kotbah yang tak habis-habisnya itu. Akhirnya ia menyela,
“Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita tadi di pinggir sungai.
Apakah engkau masih tetap membawanya?”

Seorang Sufi Arab, Abu Hassan Bushanja, berkata, “Dosa sebagai perbuatan tidak begitu parah dibandingkan dengan keinginan serta pemikiran tentang dosa itu. Memang untuk sesaat tubuh membiarkan perbuatan senang; namun berbeda sekali dengan budi dan hati yang mengunyah-ngunyahnya tiada habis-habisnya.”

Kalau seorang yang patuh pada agama dengan tiada habis-habisnya mengunyah-ngunyah dosa yang dilakukan oleh orang lain, timbullah kecurigaan, bahwa mengunyah itu lebih memuaskannya daripada berbuat dosa menyenangkan si pendosa.

by: Anthony de Mello, Burung Berkicau
Baca juga refleksi lainnya: