Sering
umat mengeluh terkait “aturan” liturgi yang berbeda-beda antar imam yang satu
dengan yang lainnya. “Romo ini bilang begini, Romo lain bilang begitu,”
demikian keluh umat. Menghadapi hal ini, tak jarang umat bingung: mana yang
harus diikuti. Umat jadi serba salah, ibarat dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah. Kebingungan ini disebabkan
karena umat menerima saja apa yang disampaikan oleh imam sebagai suatu
kebenaran. Maka, ketika mendengar pernyataan imam lain, yang berbeda dari
sebelumnya, umat seakan berada pada dua kebenaran.
Kebingungan
ini sebenarnya bisa dihindari jikalau umat mau berpegang pada kebenaran umum,
bukan kebenaran imamnya (meski sering terjadi, ketika menyampaikan itu, imamnya
selalu mengatas-namakan kebenaran umum). Kebenaran umum itu ada pada pedoman
yang dikeluarkan oleh otoritas Gerejawi. Terkait dengan liturgi, khususnya soal
Ekaristi, ada Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR). Semua orang, imam atau awam,
tunduk pada pedoman ini. Semua imam, pastor paroki atau pembantu, harus taat
pada pedoman ini. Sangat menarik bahwa dalam pedoman ini ada himbauan agar
“imam hendaknya mengutamakan kepentingan rohani umat. Janganlah memaksakan
kesukaannya sendiri.” (no. 355).
Salah
satu kebingungan yang dihadapi umat adalah soal sikap tubuh ketika, setelah
kata-kata konsekrasi atas hosti, imam mengangkat hosti (Tubuh Kristus);
demikian pula terhadap piala (Darah Kristus). Ada umat menundukkan kepala
sambil kedua tangan terkatup diangkat ke atas lebih tinggi dari kepala. Ini
merupakan sikap menyembah. Akan tetapi, ada imam menyalahkan sikap tersebut.
Imam ini mengatakan bahwa ketika Tubuh Kristus dalam hosti diangkat, demikian
juga piala (Darah Kristus), umat harus melihat atau memandang-Nya. Nah, atas
dua sikap ini, mana yang benar?