Permasalahan
ujaran kebencian di media sosial dan juga berita bohong sangat begitu mewarnai
perjalanan bangsa Indonesia di tahun 2017. Sudah beberapa orang menjalani
proses hukum karena dua hal tersebut. Di sini kami tidak mau membahas soal
ujaran kebencian, sekalipun topik ini masih menyisahkan persoalan lain (hal ini
pernah kami bahas dalam “Ujaran Kebencian vs Ceramah Keagamaan” di Kompasiana, 07 Juli 2017).
Dalam
tulisan ini kami hanya fokus melihat persoalan berita bohong (HOAX). Sama
seperti ujaran kebencian, berita bohong di media sosial juga sering menimbulkan
masalah di tengah masyarakat. Para pelakunya dapat ditindak atau diproses
secara hukum. Pertanyaannya, haruskah pembuat dan penyebar berita bohong
ditindak dengan hukum?
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia online, kata “bohong” memiliki arti (1) tidak
sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta, (2) bukan
yang sebenarnya; palsu. Dengan kata lain, bohong adalah sesuatu yang tidak
benar. Ada ketidak-sesuaian antara apa yang ditampilkan dengan maksud
sebenarnya.
Ada
banyak alasan kenapa orang membuat atau menyampaikan berita bohong. Di sini
kami tidak akan membahasnya. Kami hanya fokus mempersoalkan kebohongan saja,
yang di satu sisi dipersoalkan, tapi di sisi lain dibiarkan.
Kata
“bohong” itu sangat dekat dengan kata “bodoh”. Karena itu, dibohongi sama
artinya dengan dibodohi. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang menerima berita
bohong adalah orang bodoh. Orang pintar akan mengkritisi suatu informasi; jika
ketahuan itu bohong dia akan menolak atau mengabaikannya. Berbeda dengan orang
bodoh. Semua informasi yang masuk diterimanya saja tanpa ada penyaringan,
karena dia menilai semua itu benar adanya.