Sabtu, 07 Desember 2013

Foto-foto saya

Di atas kapal Dobonsolo, dari Makasar - Tg Priok
Bersama Pak Sonny di Negeri Papua New Gunea
Kiri Kanan Oke
Anak-anak di panti Sentani
Natal di Pulau Burun Km 9 tahun 2012
Manteb bro.....
Perbatasan RI dan PNG
Putri Ayu dan Tasya

(C E R P E N) Ternyata...

TERNYATA ……
Namanya Yudas Elang Putra Bungsu. Ia adalah imam diosesan. Kebanyakan umat memanggilnya: Romo Yudas. Tapi di kalangan OMK, karena kegesitannya, dia disapa Romo Elang. Kata “Elang” pada namanya merupakan pemberian pamannya dengan sebuah harapan kelak dirinya menjadi orang kaya. Menurut pamannya, orang kaya adalah orang yang cepat membaca dan memanfaatkan peluang. Nah, cepat membaca dan memanfaatkan peluang itu, bagi pamannya, identik dengan burung elang. Karena burung elang, sekalipun terbang tinggi di angkasa, namun cepat melihat mangsa dan menyergapnya.

Maklumlah, mereka berasal dari keluarga miskin. Wajar donk jika berharap menjadi kaya: punya banyak uang, rumah bak istana dan kemewahan lainnya. Tak ada manusia yang ingin menjadi miskin. Malah menurut kitab suci, khususnya perjanjian lama, kemiskinan itu dilihat sebagai kutukan, sedangkan kaya sebagai berkat. Orang selalu menghindari kemiskian. Karena itu, setiap orang miskin tentu berkeinginan menjadi kaya. Demikianlah harapan pamannya yang sekaligus berperan sebagai orang tuanya setelah ibu dan ayahnya meninggal dunia.

Namun ketika Yudas memutuskan masuk seminari karena ingin menjadi imam, sang paman langsung tak bergairah. Harapan menjadi kaya jadi sia-sia, karena seorang imam tak boleh menjadi kaya. Janji kemiskinan membuat imam dilarang memiliki harta berlimpah. Akan tetapi ia tak dapat menghalangi niat Yudas, karena akan buruk penilaian umat kepadanya. Masak demi harta dia mengagalkan panggilan suci anaknya. Pastilah orang mengira dirinya kemaruk.

Sebenarnya Yudas sendiri, waktu itu, masih bingung dengan motivasinya menjadi imam. Di satu sisi ia mau mengabdikan diri pada Gereja, melayani umat Allah; tapi di sisi lain ia mau mewujudkan harapan pamannya sebagai balas budi. Yudas tetap menyimpan semua itu dalam hati. (Seperti Bunda Maria). Ia membiarkan waktu yang menjawab.

Dan ternyata, Yudas dapat menjawab kedua-duanya. Ia bisa menjadi imam dan bisa juga menjadi kaya. Belum ada lima tahun usia imamatnya, ia sudah bergelimang uang dan harta. HP yang dia punya tidak cukup hanya dua, dan semuanya berharga di atas empat juta. Laptop ada, tablet juga. Kamera DLSR dan handicam juga ada. Ada cerita, sekarang Yudas lagi membangun rumah bak istana di desa.

Akhirnya sang paman bangga. Sekarang mereka dipandang sebagai orang kaya di desa. Ternyata dia dapat wujudkan harapanku dan cita-citanya, guman sang paman. “Ternyata Yudasku bisa baca kesempatan dan peluang yang ada untuk menjadi kaya. Kau tetaplah Elangku.”

“Ya, aku elang, paman! Dan masih tetap sebagai elang,” ujar Yudas suatu ketika. “Macan akan tetap menjadi macan sekalipun ia hidup dan besar di kandang kambing.”

“Ternyata kau ponakan paman yang membanggakan!”

Ternyata keluargaku tak mempermasalahkan sumber uang yang diterima, demikian Romo Yudas. Dan ternyata bukan keluarga saja. Umat pun kebanyakan diam bila ada imam yang kaya. Malah ada umat yang turut memuluskan niatnya menjadi kaya. Hal ini persis seperti refleksinya ketika ia sebagai diakon hendak melamar menjadi imam. Ia merefleksikan tiga nasehat Injil yang akan menjadi janjinya saat menerima tahbisan imamat. Ketiga janji itu adalah ketaatan, selibat dan kemiskinan.

Dari ketiga janji itu, janji kemiskinan yang bisa dikompromi alias dilanggar tanpa menimbulkan masalah. Itulah yang didapat Diakon Yudas dalam permenungannya. Dia melihat bahwa Bapak Uskup, rekan-rekan imam, bahkan umat tidak pernah mempersoalkan imam yang melanggar janji ini. Belum ada imam yang dikeluarkan karena ia menjadi kaya, sekalipun kekayaan itu didapatnya dengan cara yang salah dan tidak benar. Tetapi tidak dengan janji ketaatan dan selibat. Jika tidak taat pada uskup, seorang imam bisa kena suspensi atau dicabut yurisdiksinya. Apalagi bila melanggar ajaran resmi Gereja. Atau jika ada imam yang selingkuh, pastilah ia akan menjadi buar bibir umat; dan cepat atau lambat imam itu pasti keluar atau dikeluarkan (kecuali bila tak punya lagi moral dan nurani).

Hal ini sudah dibuktikan Romo Yudas. Ketika ia dipilih sebagai ketua panitia seminar kerukunan antar-agama, ia menyampaikan kepada uskup dan para imam, termasuk ekonom keuskupan, bahwa acara tersebut menelan biaya 98 juta. Padahal riilnya hanya 23 juta. Tapi semua diam saja. Tak ada yang menegur atau mengusiknya. Romo Yudas pun terus melancarkan aksinya.

Dan ketika parokinya membangun gereja, ia berhasil mendatangkan kontraktor dari luar daerah. Begitu banyak komisi yang ia terima. Tapi semua orang diam saja. Mereka takut dikecam penyebar fitna karena tak ada bukti nyata. Maklumlah, kan tak ada KPK di lingkungan Gereja.

Romo Yudas terus merentangkan sayapnya, mencari “mangsa” untuk menambah pundi-pundi hartanya. Sebagai pastor kepala paroki ia selalu berusaha agar perayaan ekaristi yang mendatangkan uang menjadi miliknya, sedangkan yang lain untuk rekan pembantunya. Maka, setiap misa imlek, Romo Yudas selalu berada di pusat paroki untuk merayakan misa, sedangkan pembantunya di luar daerah. Ia mau agar semua angpao itu menjadi miliknya.

Misa pemberkatan nikah, komuni pertama dan baptisan adalah jatahnya. Misa arwah dan penguburan diserahkan kepada pembantunya. Dialah yang mengatur jadwal pelayanan misa. Maka pastor pembantunya selalu disingkirnya ke luar daerah. Dan ternyata semua umat diam saja. Dan Romo Yudas terus melancarkan aksinya. Sebagai pastor kepala paroki ia menguasai semua urusan paroki, termasuk keuangan paroki. Makanya, keuangan paroki hanya dia dan bendahara paroki saja yang tahu.
***
Siapa bilang menjadi imam itu tak bisa jadi kaya, guman Romo Yudas. Ia sedang cuti di kampung halamannya, duduk santai memperhatikan rumah yang sedang dikerjai tukang-tukang bangunan. Ternyata aku bisa kaya. HP mahal tiga. Laptop dan tablet aku punya. Mobil ada. Rumah lagi dikerja. Tabungan berlimpah. Apalagi yang akan aku mangsa? Romo Yudas menyeringai bahagia.

Romo Yudas terus mengejar peluang mencari mangsa. Ia tidak pernah puas atas harta yang sudah ada. Bukankah memiliki harta itu bukanlah suatu masalah? Daripada hidup susah, pikir Romo Yudas, mendingan mengejar harta menjadi kaya. Dengan kuasa yang ada, Romo Yudas terus menjadi kaya.

Ternyata….
Tg Balai Karimun, 15 Juni 2013

by: adrian
Baca juga:
1.      Diakon Yudas
4.      Korupsi dan Gereja

Renungan HR Maria Dikandung Tanpa Noda - A

Renungan HR SP Maria Dikandung Tanpa Noda, Thn A/II
Bac I   : Kej 3: 9 – 15, 20; Bac II  : Ef 1: 3 – 6, 11 – 12;
Injil     : Luk 1: 26 – 38

Sabda Tuhan hari ini diawali dengan kisah kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa akibat ketidaktaatan mereka kepada Allah. Inilah yang diwartakan dalam bacaan pertama. Dosa manusia pertama ini merupakan bentuk kesombongan di hadapan Allah. Manusia pertama tidak mau menerima dirinya dan ingin menyerupai Allah. Karena mereka juga manusia menanggung dosa.

Akan tetapi, Tuhan tidak akan membiarkan manusia ciptaan-Nya binasa karena dosa. Tuhan ingin manusia selamat. Karena itu, Tuhan Allah menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus. Dalam bacaan kedua, Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, mengatakan bahwa di dalam Kristus Allah “telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam surga.” (ay. 3).

Allah ingin menyelamatkan manusia dengan cara manusia. Allah turun menjadi manusia. Untuk itu Allah membutuhkan kerja sama manusia. Dialah Maria yang bersedia menjadi tempat bersemayam Allah. Inilah yang dikisahkan dalam Injil. Kerendahan hati Maria merupakan bentuk kontras dari kesombongan manusia pertama.

Hari ini merupakan hari raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. Bacaan-bacaan liturgis hari ini hendak menegaskan akan hari raya ini. Maria dikandung tanpa noda sebagai persiapan menyambut Allah yang hendak menjadi manusia. Di sini kita diajak untuk menghaturkan hormat dan sembah bakti kepada Bunda Maria, karena kerja samanya, kita mendapatkan keselamatan dari Allah.

by: adrian