Saya
pernah bertugas di sebuah paroki di salah satu keuskupan di Indonesia. Saat itu
saya sebagai pastor pembantu.
Sudah
menjadi kebiasaan di paroki ini, atau mungkin di keuskupan, bahwa menjelang
perayaan Natal atau Pekan Suci, ada upacara penerimaan sakramen tobat. Sakramen
tobat dilihat sebagai salah satu persiapan umat untuk menyambut Natal dan/atau
Paskah. Pada saat ini, penerimaan sakramen tobat biasanya dilangsungkan di
komunitas-komunitas.
Selama
melayani pengakuan dosa, saya melihat bahwa animo umat terhadap sakramen tobat
amat sangat rendah. Dibandingkan sakramen lainnya, kiranya sakramen tobat
menduduki urutan pertama sakramen yang tidak laris (urutan kedua adalah
sakramen pengurapan orang sakit). Ternyata hal ini dirasakan juga oleh rekan
iman lainnya.
Karena
itu, pernah kami membuat program katekese tentang sakramen tobat. Dalam
katekese ini, kami tidak hanya menyampaikan ajaran Gereja tentang sakramen
tobat atau teologi sakramen ini, melainkan juga manfaat sakramen ini baik bagi
kesehatan jiwa maupun raga, rohani dan jasmani. Kami jelaskan juga soal
ketakutan dan rasa malu umat terkait sakramen ini, serta tata cara pengakuan
dosa. Akan tetapi, tetap saja tidak ada perubahan. Ruang pengakuan tetap
dingin.