Rasanya tak percaya kertika pertama kali membaca judul buku “KUDETA MEKKAH: Sejarah yang Tak Terkuak” karya Yaroslav Trofimov. Apakah buku ini merupakan karya fiktif (semacam novel) atau karya historis. Setelah membaca kometar-komentar atas buku ini, satu kesimpulan didapat, yaitu bahwa buku ini adalah kisah nyata. Dengan demikian ini merupakan karya historis. Tapi bagaimana mungkin ada kudeta di salah satu kota suci islam, dan yang merupakan jantung keislaman. Kudeta seperti apa? Siapa pelakunya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi daya tarik untuk membeli dan membaca buku tersebut.
Buku Kudeta Mekkah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dari edisi Bahasa Inggris dengan judul “The Siege
of Mecca”. Edisi Indonesia ini diterbitkan oleh penerbit Pustaka Alvabet.
Buku ini, yang tebalnya 384 halaman, merupakan cetakan kelima. Cetakan pertamanya
adalah tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa buku ini lumayan laris. Mungkin
kisahnya yang membuatnya laris.
Buku Kudeta Mekkah mengungkap kisah kaum “pemberontak” yang muak dengan
perilaku para penguasa Arab Saudi yang tidak mencerminkan nilai-nilai islami.
Kehidupan para anggota istana dilihat oleh kaum “pemberontak”, yang umumnya
berasal dari kalangan kaum Wahabi ini
telah jauh dari ajaran agama islam. Lebih parahnya lagi, penguasa Saudi ini
justru memasukkan beberapa unsur yang bertentangan dengan ajaran agama.
Misalnya seperti, memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk beraktivitas
di publik, pendidikan bagi kaum wanita, membolehkan televisi, gambar-gambar,
tepuk tangan, dan yang parahnya lagi memberi kesempatan kepada orang asing yang
non muslim masuk ke tanah Saudi (hlm. 31, 34, 41, 63, 95 – 96, 133 – 134).
Sebenarnya istilah “pemberontak” tidak layak disematkan pada kelompok
Juhaiman. Memang di mata pemerintah dan ulama istana, mereka adalah
pemberontak. Namun di mata kelompok lain yang muncul karena terinspirasi oleh
aksi Juhaiman ini, yaitu Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden, mereka adalah
pahlawan. Bahkan pada pertengahan tahun 1980-an, Osama bin Laden mengatakan
secara eksplisit bahwa orang-orang yang menduduki Mekkah waktu itu (kelompoknya
Juhaiman) adalah orang-orang muslim sejati (hlm. 322).
Kaum “pemberontak” yang dipimpin oleh Juhaiman bin Saif al-Utaibi, tidak berani mengadakan kontak langsung dengan istana. Keterbatasan personal dan peralatan senjata menjadi satu alasannya. Pernah akan dibuat, namun keburu diberantas oleh tentara. Beberapa di antara mereka dijatuhi hukuman, namun dapat bebas berkat lobi ulama kharismatik yang berpengaruh, Syeikh Abdul Aziz bin Baz (hlm. 60). Sejak saat itu, Juhaiman mulai berpikir cara lain untuk melakukan pemberontakan.