Belum
lama ini jagat net atau sosial media diramaikan dengan persoalan kotbah atau
ceramah keagamaan (tausiyah) dari beberapa ustad. Ada yang melarang lagu
kebangsaan Indonesia Raja atau lagu “naik-naik ke puncak gunung”. Ada ustad
yang melarang umat islam menyimpan dalam rumahnya patung atau gambar manusia.
Ada juga ustad yang mengatakan pada salib ada jin kafir. Yang sedikit mesum
adalah ajaran bahwa pria muslim boleh bersetubuh dengan budak perempuan
sekalipun tidak dalam ikatan perkawinan. Masih banyak ceramah ustad yang bagi “orang
waras” sungguh tak masuk di akal.
Seperti
biasa, ceramah-ceramah keagamaan ini, yang semuanya dapat dikatakan bersumber
dari ajaran islam, selalu menimbulkan argumen pro dan kontra. Ada yang
mendukung, tapi ada juga yang menentang dan mengecam. Pro kontra ini tidak
hanya terjadi di kalangan umat non muslim, tetapi juga di kalangan umat islam
sendiri.
Pada
tulisan ini kami tidak akan mempermasalahkan mereka yang mendukung ceramah para
ustad tersebut, karena kami menilai dukungan mereka mempunyai dasar. Artinya,
ada dasar untuk mendukung tausiyah para ustad itu. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sendiri membela, baik secara terbuka maupun tertutup. Yang kami
persoalkan di sini adalah mereka yang menolak bahkan mengecam.
Kerap terjadi orang mengecam atau mempermasalahkan ceramah para ustad tadi hanya dilandasi pada ketidak-sukaan akan isi ceramah, bukan pada kebenaran. Ketidak-sukaan itu akhirnya bermuara pada ketidak-sukaan pada pribadi ustadnya. Karena tidak suka, biasanya para ustad ini diberi label “wahabi” atau “islam radikal” atau “islam ekstrem”. Umumnya ketiga label tersebut mempunyai makna negatif. Orang yang diberi label tersebut adalah orang yang buruk atau jahat, sehingga harus disingkirkan.