Dahulu.....
Saya orang Flores. Ketika saya masih SMP,
saya beberapa kali mendapat hukuman dari guru. Hukuman itu, kalau dilihat pada
masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang
saya salah atau lalai. Apapun kesalahan, pasti akan mendapatkan hukuman.
Pernah sekali, ketika pelajaran
menggambar, saya bersama beberapa murid lainnya lupa membawa pengaris. Kami
yang lupa ini disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, lalu guru
menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan
sekitar 1 cm). Penggaris itu mendarat persis di punggung telapak tangan.
Penggaris kayu itu sampai hancur. Ada murid perempuan sampai menangis,
sedangkan kami yang cowok hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan
hanya tangan memar, tapi hari itu kami tak bisa menulis.
Untuk jenis hukuman tempeleng itu sudah
menjadi makanan ringan. Disebut makanan ringan karena seringkali guru
menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Saya pernah ditempeleng
dan jari guru itu mengenai mata saya sehingga mata terasa perih. Kalau
pelanggaran berat, ya seperti yang di atas tadi. Saya pernah dipukul di betis
dengan menggunakan kayu rotan.
Sekalipun kami sering mendapatkan
penganiayaan dari guru, kami tak berani melaporkan peristiwa itu kepada orangtua.
Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena kami takut mendapat hukuman
tambahan dari orangtua. Di kampung saya dan di Flores pada umumnya, jika di
sekolah kita dihukum dan diketahui oleh orangtua, berarti kita akan mendapatkan
lagi hukuman dari orangtua.
Akan tetapi justru karena hukuman itu
banyak orang Flores yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini berhasil
menghadapi hukuman karena ia bagian dari proses pendidikan dan pembinaan.
Dengan hukuman itu kami belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran
dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari
meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
Sekarang ....