Rabu, 05 Juni 2013

(Pencerahan) Carilah Esensinya!

Telur  emas
Bacaan dari sebuah kitab suci.
Inilah sabda dari Yang Mahatinggi:
Pada jaman dahulu kala adalah seekor angsa
yang setiap hari bertelur sebutir telur emas.
Isteri petani yang memiliki angsa itu sangat gembira
karena telur-telur itu membuatnya kaya raya.
Namun ia seorang wanita yang loba.
Ia tidak dapat menunggu dengan sabar sebutir telur sehari.
Ia bermaksud menyembelih angsa itu
dan sekaligus mendapatkan semua telurnya.
Maka akhirnya ia menyembelih angsa itu.
Namun yang didapatkannya tidak lain daripada 
telur setengah jadi dan 
angsa mati yang tidak dapat bertelur lagi.

Demikianlah sabda dari Yang Mahatinggi:
Seorang ateis yang mendengar kisah dari kitab suci itu mencemooh:
Dongeng seperti itu kau namakan sabda dari Yang Mahatinggi?
Masakan seorang angsa bertelur emas!
Nah terbukti, berapa jauh seseorang dapat percaya
akan apa yang disebut ‘Tuhan Yang Mahatinggi.’

Seorang cedekiawan saleh yang membaca naskah itu
menanggapinya demikian:
tuhan jelas mengatakan kepada kita,
bahwa dahulu kala ada seekor angsa yang bertelur emas.
Jika Tuhan mengatakan hal itu, 
tentulah harus benar-benar terjadi,
meskipun tampaknya sulit diterima oleh akal sehat manusia.
Penyelidikan arkeologi samar-samar menunjukkan,
bahwa dalam sejarah kuno 
sungguh pernah hidup seekor angsa ajaib
yang betul-betul bertelur emas.
Nah, orang akan bertanya dan masuk akal bertanya demikian:
bagaimana mungkin sebutir telur, tanpa kehilangan sifat telurnya, sekaligus terdiri dari emas?
Hal ini tentu saja tidak dapat dijawab.
Berbagai macam mazhab berusaha menafsirkannya dengan cara yang berbeda-beda.
Tetapi yang pada akhirnya dituntut adalah iman kuat terhadap rahasia yang menakjubkan bagi akal budi manusia ini.

Bahkan ada seorang pengkotbah yang sesudah membaca kisah ini
menjelajah semua kota dan desa.
Tak bosan-bosannya ia mendesak orang supaya percaya
bahwa Tuhan pernah menciptakan telur-telur emas
pada suatu saat dalam sejarah manusia.

Bukankah lebih berguna,
jika ia menggunakan waktunya untuk mengajar orang
tentang buruknya sifat tamak
daripada untuk mengembangkan kepercayaan akan telur emas?
Sebab, bukankah jauh lebih penting melakukan kehendak Bapa yang ada di surga daripada hanya menyebut-nyebut “Tuhan! Tuhan!”

Orang Kudus 5 Juni: St. Ferdinandus

Santo ferdinandus, Martir
Informasi mengenai orang kudus ini sangat terbatas. Yang pasti, Ferdinandus hidup pada abad XV. Ia dijuluki “Pangeran Tabah” (=El Pricipe Constante). Ia ditangkap oleh tentara Maroko ketika bersama saudaranya, Hendrikus Navigator, berperang di Ceuta. Ia menjadi sandera dank arena tak mampu membayar uang tebusan Ferdinandus tak dibebaskan. Lalu ia disiksa dengan keji sampai mati pada tahun 1443

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Rabu Biasa IX-C

Renungan Hari Rabu Biasa IX, Thn C/I
Bac I   : Tb 3: 1 – 11a, 16 – 17a; Injil     : Mrk 12: 18 – 27

Salah satu falsafah orang Jepang yang cukup terkenal sekaligus sadis adalah Harakiri: membunuh diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan dan pelanggaran. Bunuh diri sering dilihat sebagai bentuk penyelesaian masalah. Padahal ia merupakan pelarian dari masalah.

Sabda Tuhan hari ini mau mengajarkan kepada kita soal semangat hidup. Jangan pernah merasa putus asa, sekalipun cobaan berat menghadang. Tetap menanamkan budaya hidup, bukan budaya mati. Ini terlihat dalam bacaan pertama dalam sosok Tobit dan Sara. Mereka menghadapi masalah yang sangat berat sehingga sempat berpikir untuk mati. Namun akhirnya mereka sadar bahwa mati bukanlah solusi, melainkan melarikan diri.

Injil hari ini, secara implisit, mengisahkan kisah hidup Sara yang ada dalam bacaan pertama. Di sini Yesus memperkenalkan budaya hidup dengan mengatakan bahwa Allah itu adalah Allah orang hidup.

Karena itu, pesan Tuhan dalam sabda-Nya hari ini adalah agar kita jangan mudah menyerah. Jangan lari dari masalah, tapi hadapilah. Jika kita memang sudah tak sanggup lagi, datanglah kepada Tuhan. Kita dapat mengambil contoh sikap iman Sara. Sekalipun masalah berat menderanya dan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya, ia akhirnya menemukan Tuhan dengan berkata, “Terpujilah Engkau, ya Allah penyayang! Moga-moga terpujilah nama-Mu selama-lamanya dan semoga segala buatan tangan-Mu memuji Engkau selamanya.” (Tb 3: 11).

by: adrian