Kamis, 04 Juni 2015

Orang Kudus 4 Juni: St. Yakobus Viterbo

BEATO YAKOBUS VITERBO, USKUP & PENGAKU IMAN
Yakobus Cappoci lahir pada sekitar tahun 1255 di Viterbo, Italia. Ia adalah putera keluarga Cappoci yang terkenal. Yakobus bergabung dengan Ordo Agustinian pada sekitar tahun 1270 di Biara Tritunggal Mahakudus, Viterbo. Yakobus dikirim ke Paris untuk belajar, dan salah satu pengajarnya adalah Giles dari Roma, murid St. Thomas Aquino. Yakobus sempat kembali ke Italia setelah menyelesaikan pendidikannya, tetapi ia kembali ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 1293, Yakobus menyelesaikan pendidikannya dan mulai mengajar teologi.
Tahun 1300, Yakobus mengikuti kapitel di Naples. Di sana ia terlibat pertengkaran dengan Prior Jenderal, Agustinus dari Tarano, karena Yakobus membela seorang biarawan Jerman yang mendapat tuduhan. Kerendahan hati Yakobus dalam membela biarawan yang ia yakini tidak bersalah, membuatnya dikenal.
Pada September 1302, Yakobus ditunjuk oleh Paus Bonifasius VIII menjadi Uskup Beneveto, dan pada bulan Desember ia menjadi Uskup Agung Naples. Pada tahun 1303, Yakobus menerbitkan buku De Regimine Christiano. Sebaai Uskup Agung Naples, Yakobus mendirikan Katedral Naples.
Yakobus Viterbo meninggal dunia pada sekitar 1308 di Naples, Itaiia. Pada tahun 1911 ia dibeatifikasi oleh Paus Pius X.
Baca juga riwayat orang kudus hari ini:

Mari Kendalikan Emosi

MENJADI “TUAN” ATAS EMOSI SENDIRI
Emosi, yang dimengerti sebagai perasaan marah yang meledak-ledak, biasanya muncul ketika kita mendapat tekanan yang melampaui batas kesabaran. Misalnya, seorang ibu sedang sibuk memasak di dapur pada jam 11.00, sementara jadwal makan siang jam 12.00. Sebelumnya ia mendapat berita dari anaknya di kota untuk segera kirim uang sekolah, sementara tagihan listrik belum bayar. Saat sibuk di dapur, anaknya bungsu rewel terus menerus. Dapatlah dipastikan emosi ibu ini akan mudah atau segera meledak.
Tentulah di antara kita pernah mengalami situasi seperti ibu di atas, entah di rumah, tempat kerja ataupun dalam kehidupan masyarakat. Kita menghadapi banyak tekanan, baik yang berasal dari luar diri kita maupun dari dalam diri sendiri. Di saat kita tak bisa lagi menahan tekanan itu, maka amarah akan terlihat. Amarah yang meledak-ledak ini dapat hanya berupa umpatan kata-kata, bisa juga berwujud tindakan, baik yang terarah kepada obyek kemarahan ataupun obyek pelampiasan.
Emosi yang tidak terkendali bisa berbahaya bagi orang lain dan juga diri sendiri. Karena itu, sangat diharapkan agar kita memiliki kemampuan mengendalikan emosi. Dibutuhkan tingkat kematangan dan kecerdasan emosi. Jauh lebih baik bila kita mengendalikan emosi daripada emosi yang mengendalikan kita.
Ada banyak buku menawarkan cara mengendalikan emosi. Intinya adalah emosi itu penting namun musti dikelola dengan baik dan benar. Kemampuan mengelola emosi dapat membantu kita meningkatkan kecerdasan emosi. Ada dua aspek cara peningkatan kecerdasan emosi, yaitu aspek personal dan aspek sosial.
A.   Aspek Personal
Peningkatan kecerdasan emosi ini berpusat pada diri sendiri. Artinya, kita melatih kecerdasan emosional dengan berangkat dari diri kita sendiri. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, seperti:
1.    Kenali Munculnya Emosi
Langkah awal untuk menjadi cerdas secara emosional adalah dengan mengenal diri kita secara lebih baik. Sadari reaksi tubuh kita ketika kita mulai merasakan emosi tersebut. Misalnya, jantung yang berdebar lebih keras atau tangan yang berkeringat saat hendak marah. Selain itu, kita juga perlu mengenal kapan dan hal-hal apa saja yang memicu rasa amarah, terutama emosi-emosi negatif yang mungkin akan berpotensi merusak. Jika kita sudah mengenalnya, segeralah mengendalikannya; jangan biarkan gejala-gejala itu bermuara pada amarah.
2.    Beri Kesempatan Otak Berpikir
Bagaimana otak memroses emosi? Informasi yang ditangkap oleh panca indera kita diterima dan disalurkan ke dua channel, yaitu ke bagian pengaturan emosi (amygdale) dan bagian berpikir (neocortex). Menariknya, proses penyampaian informasi ke amygdale berlangsung lebih cepat daripada proses ke neocortex.
Ketika kita merasakan emosi yang sangat kuat, amygdale akan segera mengambil alih otak kita dan mengambil tindakan untuk kabur, berkelahi atau mematung. Akibatnya, neocortex tidak sempat bekerja dan kita dapat menilai informasi dengan rasional. Proses ini, oleh Daniel Goleman, diberi istilah “pembajakan amygdale”. Inilah alasannya kenapa seringkali kita menyesal melakukan tindakan atau mengambil keputusan di saat emosi kita sedang intens.
Karena itu, ketika kita berada dalam kondisi yang mungkin memicu emosi yang intens, berhentilah. Berilah waktu pada otak kita untuk berpikir. Salah satu teknik manajemen emosi menyatakan bahwa berhenti melakukan apapun selama 6 detik memberi waktu yang cukup untuk membuat amygdale berhenti membajak otak berpikir kita.
3.    Fokus pada Apa yang Dapat Kita Kontrol
Seringkali hal-hal yang menganggu kita adalah hal-hal yang sebenarnya berada di luar kontrol kita. Atasan yang pemarah, rekan kerja yang ceroboh, jalanan yang macet atau anak yang rewel. Kita sering berpikir bahwa kita harus mengubah situasi supaya kita bisa merasa lebih baik, nyatanya kita tidak bisa melakukannya.
Lantas apa yang dapat kita buat? Fokuslah pada apa yang dapat kita lakukan. Alih-alih menunggu atasan kita untuk berubah menjadi tidak pemarah lagi, kita bisa memfokuskan diri untuk mengatur mood kita atau mengerjakan pekerjaan kita sebaik mungkin. Jangan terbawa emosi amarah atasan kita. Jadilah pengatur bagi emosi kita sendiri, jangan biarkan pihak luar mengatur emosi kita.

Renungan Hari Kamis Biasa IX - Thn I

Renungan Hari Kamis Biasa IX, Thn B/I

Dalam Injil hari ini Tuhan Yesus menjelaskan tentang hukum terutama bagi orang Yahudi, yaitu cinta kasih. Ada dua hukum yang tak terpisahkan, yaitu cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama manusia. Cukup menarik kalau diperhatikan tentang hukum cinta kepada sesama. Tolok ukur cinta kepada sesama bukan karena orang itu baik kepada kita atau karena ia satu suku dengan kita atau sama seperti kita. Tolok ukur cinta kepada sesama adalah cinta kepada diri sendiri. “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (ay. 31).
Bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Tobit, bercerita tentang cinta pasangan suami isteri, Tobia dan Sara. Seperti yang telah dikisahkan, sudah tujuh pemuda yang menikahi Sara meninggal di malam pertamanya. Hal ini sudah diingatkan ayah Sara kepada Tobia. Pada malam pertamanya, keduanya berdoa kepada Tuhan. Dalam doanya itu, Tobia menjelaskan makna cintanya kepada Sara. Cintanya kepada Sara bukan lantaran nafsu, melainkan karena hati yang tulus dan benar (ay. 8).
Segala tindakan dan karya baik manusia selalu memiliki maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan itu bisa saja tersembunyi bisa pula jelas terungkap. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk mendasarkan kebaikan itu pada motivasi yang tulus dan benar, bukan dengan maksud yang terselubung demi kepentingan-kepentingan tertentu. Cinta, misalnya. Tuhan menghendaki supaya cinta kita bersifat universal dengan patokan diri kita. Sebagaimana diri kita ingin bahagia, demikian pula hendaknya kita perlakukan sesama kita.***
by: adrian