Senin, 20 Juli 2015

Melihat Sisi Lain Tragedi Tolikara

KENAPA PASCA TRAGEDI TOLIKARA, GEREJA-GEREJA DIAMANKAN?
Hari raya Idul Fitri tahun ini adalah hari raya yang sangat memalukan bagi Bangsa Indonesia, khususnya umat Kristen. Di saat umat islam sedang menjalankan shalat Id, untuk menyambut hari raya Idul Fitri, terjadilah penyerangan. Salah satu korbannya adalah mushala, tempat umat islam biasa bersembahyang. Mushala itu dibakar (atau terbakar?).
Saya pribadi, ketika mendengar berita itu, amat sangat terkejut. Sejauh yang saya ketahui Tanah Papua sangat toleran. Sekalipun mayoritas beragama kristen, penduduknya sangat menghormati penganut agama lain. Kenapa muncul peristiwa ini? Saya tidak mau larut dalam eforia kecaman di dunia maya terhadap aksi penyerangan itu. Saya mengajak orang untuk melihat juga latar belakang penyerangan itu. Bagi saya, pasti ada alasan mendasar sehingga pecahlah tragedi itu.
Akan tetapi, saya tidak tertarik dengan masalah penyerangan itu. Saya justru tertarik melihat peristiwa pasca penyerangan itu, yaitu pengamanan gereja-gereja di seluruh wilayah Indonesia. Ada informasi bahwa POLRI menerapkan siaga 1 untuk menyikapi peristiwa Tolikara ini. Kenapa harus ada pengamanan gereja-gereja Kristen pasca penyerangan itu?
Peristiwa umat beragama menyerang umat agama lain yang sedang beribadah bukan baru pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa tahun lalu, umat katolik yang sedang beribadat di rumah salah satu umatnya, diserang dan dihentikan kegiatannya. Beberapa minggu lalu juga, sekelompok umat islam menghentikan kegiatan ibadah umat Kristen. Masih ada peristiwa lainnya. Akan tetapi, setelah peristiwa itu tidak ada perintah dari POLRI untuk mengamankan mesjid-mesjid di seluruh Indonesia.
Terlihat jelas bahwa ketika sekelompok umat islam menyerang orang Kristen yang sedang beribadah, tidak ada tindakan pengamanan mesjid oleh pihak polisi. Berbeda jika yang diserang itu adalah umat islam. Akan ada pengamanan umat Kristen yang sedang menjalankan ibadah. Seperti contoh hari Minggu (19/07). Karena itu, pertanyaannya adalah kenapa.
Terlalu mudah untuk dijawab. Umat Kristen tidak punya tradisi balas dendam. Tuhan Yesus sendiri sudah mengajarkan hal itu. Tuhan Yesus mengajarkan supaya pengikutnya mendoakan dan memberkati orang yang menghina dan menganiaya mereka (Mat 5: 39 – 48). Umat Kristen diajak untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi membalas kejahatan dengan kebaikan (Rom 12: 17; Mat 5: 39). Karena tahu tidak ada tradisi balas dendam dalam agama Kristen, maka tidak ada pengamanan mesjid pasca peristiwa penyerangan sekelompok umat islam terhadap umat Kristen yang sedang beribadah. Polisi tahu umat Kristen tidak akan menyerang balik mesjid sebagai aksi balasan.
Berbeda dengan umat islam. Sekalipun akan ada penyangkalan, tak bisa dipungkiri ada semangat balas dendam jika ada umat islam dizolimi. Ketika ada penyerangan terhadap umat islam di belahan dunia lain, pasti umat islam yang lain akan bangkit. Pernah terjadi seorang biksu di Yogyakarta diserang oleh sekelompok orang islam. Setelah diusut, ternyata aksi tersebut sebagai balasan atas perilaku umat Buddha di Vietnam terhadap muslim Rohingya. Pernah juga terjadi aksi sweeping terhadap turis-turis berkebangsaan tertentu ketika terjadi penghinaan atas umat islam di negara tersebut. Karena itu, ketika ada umat islam diserang di Tolikara, polisi langsung memprediksikan akan ada aksi balasan. Kebetulan, masih ada banyak umat islam yang tidak dapat membedakan gereja-gereja Kristen, maka tindakan pengamanan dilakukan terhadap semua gereja.
Hal ini menunjukkan bahwa ada potensi ancaman aksi balasan dari umat islam lainnya. Memang tidak semua, namun ada. Tak bisa disangkal bahwa di antara mayoritas umat islam Indonesia, ada segelintir umat islam yang masuk kategori islam fundamental atau islam radikal. Mereka-mereka inilah yang ditakuti akan tersulut amarahnya atas peristiwa penyerangan umat islam yang sedang beribadah oleh sekelompok orang Kristen. Apalagi penyerangan itu seakan mendapat legitimasi dari ajaran agama. Dan yang menjadi persoalan, kelompok islam fundamental dan radikal ini sulit dideteksi keberadaannya. Maka, adalah bijak jika dilakukan pengamanan secara menyeluruh.
Memang aksi pengamanan ini merupakan wujud antisipasi polisi mencegah kerusuhan. Polisi mempunyai asas “sedia payung sebelum hujan”. Akan tetapi, tetap saja menyisahkan suatu keprihatinan dalam diri saya. Aksi pengamanan ini seakan membenarkan bahwa islam bukanlah agama damai. Islam diidentikkan dengan kekerasan dan balas dendam. Karena, jika memang islam agama damai, pastilah tidak akan ada tindakan pengamanan. Lihat saja dengan agama Kristen. Sekalipun sering dianiaya, tak tidak ada aksi pengamanan dari polisi.
Batam, 19 Juli 2015
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

Orang Kudus 20 Juli: St. Leo Ignasius Mangin

SANTO LEO IGNASIUS MANGIN, MARTIR
Leo Ignasius Mangin lahir pada 30 Juli 1857 di Verny, Metz, Perancis. Ia memperoleh pendidikan di Metz dan Amiens. Leo bergabung dengan Serikat Yesus di Saint Acheul, dan belajar filsafat di Louvain. Ia mengajar Liege dan setelah menyelesaikan pendidikan teologinya, ia ditahbiskan pada 31 Juli 1886.
Leo dikirim sebagai misionaris ke Cina dan ditempatkan di Zhujiahe. Leo menjadi superior di distriknya, dan ketika terjadi revolusi Boxer, ia menyadari bahwa bahaya mengancam kota tempat ia tinggal. Ia meminta Paul Denn untuk menjadi asistennya. Pada 15 Juli 1900 Boxer menyerang Zhujiahe, akan tetapi serangannya berhasil dihalau oleh penduduk desa.
Pada 20 Juli 1900 Boxer berhasil menembus pertahanan desa Zhujiahe. Leo dan Paul Denn, bersama dengan umat katolik, terutama perempuan dan anak-anak, berkumpul di kapel dan berdoa. Ketika para boxer itu mendobrak masuk ke dalam kapel, mereka menawarkan pembebasan bagi yang mau menyangkal imannya. Banyak yang menolak tawaran itu dan rela mati dibunuh sebagai martir Kristus.
Leo Ignasius Mangin meninggal dunia pada 20 Juli 1900 di Zhujiahe, Cina. Pada 17 April 1955 ia dibeatifikasi oleh Paus Pius XII, dan pada 1 Oktober 2000 ia dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II.
Baca juga orang kudus hari ini:

Renungan Hari Senin Biasa XVI - Thn I

Renungan Hari Senin Biasa XVI, Thn B/I
Bac I  Kel 14: 5 – 18; Injil                   Mat 12: 38 – 42;

Bacaan pertama hari ini diambil dari Kitab Keluaran. Di sini diceritakan tentang orang Israel yang sudah keluar dari Mesir, namun masih dalam pengejaran Firaun dan tentaranya. Dikatakan bahwa orang Israel menjadi ketakutan ketika melihat tentara Mesir kian mendekat. Mereka mengungkapkan kekecewaan dan kecemasannya kepada Musa. “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?” (ay. 11). Terlihat di sini bahwa orang Israel kurang percaya kepada Tuhan. Sekalipun sudah melihat tanda sewaktu di Mesir, mereka masih kurang percaya.
Sikap orang Israel ini tak jauh berbeda dengan sikap beberapa ahli Taurat dan orang Farisi yang datang kepada Tuhan Yesus. Dalam Injil mereka ini disebut sebagai angkatan yang jahat dan tidak setia (ay. 39). Mereka datang kepada Tuhan Yesus untuk meminta tanda supaya mereka bisa percaya. Padahal pada mereka sudah ada begitu banyak tanda. Tuhan Yesus hanya memberikan tanda Nabi Yunus dengan satu harapan agar mereka bertobat.
Seringkali kepercayaan dikaitkan dengan adanya tanda. Orang baru percaya bila sudah melihat atau merasakan tanda di sini dan kini. Terkadang pula orang ingin agar tanda itu benar-benar menyentuh dirinya. Sabda Tuhan hari ini hendak mengubah pola pikir demikian. Sekalipun kita tidak mengalami atau merasakan langsung tanda itu, hendaklah kita tetap percaya. Bagi kita salib Kristus ada tanda utama kita. Pada salib ada kasih, pengorbanan dan kemenangan. Percaya kepadanya maka akan mendatangkan keselamatan.***
by: adrian