Minggu, 25 Oktober 2020

PIL KB MENYEBABKAN TROMBOSIS


Dewasa ini bangsa Indonesia lagi menggalakkan program KB. Program ini bertujuan untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah penduduk. Program KB hendak membatasi kepemilikan anak dalam rumah tangga yang hanya sebatas dua anak saja. Karena dorongan seks tak bisa dibatasi, maka dorongan seks, sebagai penyebab kehamilan yang berdampak pada penambahan jumlah penduduk, perlu dihalangi. Untuk menghalangi itu, pemerintah menawarkan metode kontrasepsi. Karena itulah, KB selalu diidentikkan dengan kontrasepsi, bukan pada BERENCANA-nya.

Di antara berbagai pilihan metode kontrasepsi, pil KB mungkin yang paling popular selain kondom. Dokter sering menyarankannya karena memiliki efektivitas yang sangat tinggi untuk mencegah kehamilan (hampir 100% untuk jenis pil kombinasi). Wanita usia subur juga menyukainya karena praktis, tidak perlu ada yang dikenakan atau dipasangkan. Selain itu pil KB memiliki manfaat lain seperti mengurangi resiko pertumbuhan kista rahim dan tumor payudara serta berdampak positif pada kulit dengan mengurangi jerawat dan memperhalus kulit.

Namun, di balik kelebihan-kelebihan tersebut, pil KB tampaknya perlu diwaspadai. Pil KB dapat meningkatkan resiko thrombosis (pembekuan darah), terutama yang memakai jenis drospirenon (progesteron sintesis yang sangat mirip dengan progesteron alami). Thrombosis di pembuluh darah berbahaya, bahkan berpotensi mematikan, karena dapat bermigrasi ke paru-paru atau otak, yang menyebabkan embolisme paru dan stroke. Resiko tertinggi terdapat pada wanita berusia di atas 35 tahun yang merokok. Faktor resiko lainnya adalah obesitas dan riwayat keluarga thrombosis dan tromboembolisme.

Keprihatinan mengenai kenaikan resiko thrombosis oleh pil KB berbasis drospirenon ini sebenarnya sudah cukup lama disuarakan, namun tampaknya baru mencapai puncaknya beberapa bulan terakhir ini. Setelah lebih dari 11.000 tuntutan hukum diajukan atas berbagai masalah kesehatan terkait kontrasepsi ini, badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (FDA), beberapa waktu lalu, memerintahkan agar setiap produk pil KB yang berbasis drospirenon memuat peringatan mengenai resiko tersebut dalam kemasannya.

TRANSPARANSI CEGAH KORUPSI


Banyak kasus korupsi terjadi karena pengelolaan uang yang tidak transparan. Lalu lintas keluar-masuk uang hanya diketahui satu atau doa orang saja. Orang lain tidak layak dan tidak boleh tahu. Bahkan orang yang seharusnya bisa tahu pun dicegah untuk tahu. Tak ada yang boleh/dapat tahu kecuali boss dan seorang “bendahara”-nya.

Saat ini korupsi sudah merasuk jiwa manusia. Akarnya adalah cinta akan uang (bdk. 1Tim 6: 10). Di mana ada manusia, pasti ada korupsi. Lembaga apa pun, sejauh dikelola oleh manusia, pasti akan tercemar korupsi. Jangankan lembaga negara atau sipil-swasta, lembaga agama, seperti Gereja, juga sudah disusupi budaya korup. Yayasan keagamaan, yayasan keuskupan atau keuskupan sendiri serta paroki tak luput dari korupsi. Bukan cuma umat awamnya saja yang melakukannya, tetapi juga para imamnya. Ini karena tak adanya sistem transparansi keuangan.

Paus Fransiskus pernah menyerukan transparansi, secara khusus di lingkungan Gereja. Mungkin beliau sudah mencium aroma korup di Vatikan, secara khusus bank yang dikelola Vatikan, yaitu Institut Kerja Religius (IOR). Sudah menjadi rahasia umum kalau masalah duit sangat-sangat ditutup rapat. Dan sudah sejak lama IOR mempunyai reputasi ketertutupan dan intrik. Paus Fransiskus tidak menghendaki hal ini terus terjadi. Karena itu, didorong oleh rasa tanggung jawab moral dan semangat Injili, ia menyerukan keterbukaan dalam hal keuangan. Paus Fransiskus menghendaki supaya pusat kekuasaan agama Katolik itu transparan soal dananya.

Menanggapi seruan Paus ini, maka dibentuklah suatu lembaga khusus untuk mengaudit keuangan. Selain itu, dan ini yang terpenting, Bank Vatikan melakukan transparansi keuangan. Pada awal Oktober lalu, Bank Vatikan mulai mempublikasikan laporan keuangannya sebagai salah satu wujud transparansi. Ini merupakan publikasi laporan keuangannya yang pertama sejak berdirinya 125 tahun lalu.

Vatikan, yang merupakan pusat kekuasaan Gereja Katolik, sudah mencanangkan dan melakukan transparansi pengelolaan keuangan. Bagaimana dengan yang di bawahnya? Apakah keuskupan dan paroki sudah mulai melakukan transparansi keuangan? Persoalannya ada di Uskup dan Pastor Kepala Paroki. Beranikah Pastor Kepala Paroki membuka laporan keuangan kepada pastor pembantunya dan juga kepada mereka yang ingin tahu? Maukah Pastor Kepala Paroki membuat pertanggungjawaban keuangan kepada umat? Artinya, kebiasaan selama ini, di mana soal uang hanya diketahui oleh Pastor Kepala Paroki dan "bendahara"-nya saja, musti ditinggalkan. 

Ajakan Paus Fransiskus ini hendaknya jangan hanya dilihat dalam lingkup Vatikan saja, melainkan juga Gereja universal. Sudah saatnya para pastor transparan dalam pengelolaan keuangan Gereja, baik di paroki maupun di komisi/lembaga yang ditanganinya.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu