SEKILAS TENTANG ALBIGENSIANISME

Albigensis
adalah suatu sekte Kristen di abad XII-XIII yang menganut ajaran dualisme.
Walaupun mereka menamakan dirinya sebagai Kristen, namun sebenarnya ajaran
sekte ini sangatlah menyimpang dari ajaran Kristiani. Karena mereka tidak
mempercayai adanya satu Tuhan Pencipta dan Pengatur segalanya, tetapi mereka
mempercayai adanya dua tuhan, yang satu baik dan yang lain jahat. Maka Tuhan
(allah yang baik) dan Iblis (allah yang jahat) sama-sama bertanggung jawab
terhadap dunia ini. Dengan prinsip ini, maka mereka percaya bahwa segala yang
berupa material di dunia, termasuk yang ada pada manusia (yaitu tubuh manusia)
adalah hasil pekerjaan Iblis dan sepenuhnya adalah jahat. Maka manusia yang
merupakan separuh ciptaan Tuhan, dan separuh ciptaan Iblis, perlu untuk
diselamatkan. Sumber keselamatan ini bukanlah penjelmaan Tuhan Yesus ke dunia
dan kurban salib-Nya tetapi pembebasan jiwa dari tubuh. Maka bagi para
Albigensian, Kristus bukan Tuhan dan juga bukan manusia, tetapi semacam
malaikat yang mengambil tempat sementara dalam tubuh manusia, dan sengsara dan
wafat-Nya hanyalah ilusi.
Konsekuensi dari ajaran sesat Albigensian ini adalah sangat merusak, karena:
1. konsep
keselamatan bagi mereka adalah ‘pembebasan dari tubuh’, bukannya penghapusan
dosa oleh jasa Kristus dan anugerah hidup ilahi di dalam-Nya;
2) mereka
membenci perkawinan, karena perkawinan memungkinkan terciptanya ‘tubuh’ yang
baru
3) mereka
mendukung homoseksualitas/ perkawinan sesama jenis;
4) mereka
membenci kehamilan; wanita yang mengandung dianggap sebagai seorang yang
dirasuki Iblis
5) mereka
mendorong tindakan bunuh diri, karena menyebabkan seseorang terlepas dari
‘tubuh’
Di atas semua itu, dengan konsep merendahkan tubuh, mereka tidak menghargai
Inkarnasi (Penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri manusia Yesus). Dan
karena Penjelmaan Kristus merupakan salah satu inti Iman Kristiani, maka dapat
dimengerti bahwa ajaran Albigensian/Kataris ini sungguh sangat
menentang kebenaran iman Kristiani.
Para Albigensian ini beranggapan bahwa selama jiwa masih bersatu dengan tubuh
maka masih ada kemungkinan ia jatuh dalam perangkap Iblis. Untuk mengatasi hal
ini mereka mengadakan suatu ritus yang dinamakan Consolamentum, dan sesudah itu mereka disebut Perfect, dan terikat kewajiban-kewajiban yang sangat serius, dan
tidak boleh diingkari, agar tidak lagi jatuh dalam bahaya perangkap
Iblis. Kewajiban ini misalnya, hidup selibat seumur hidup, puasa yang
ketat (tidak boleh makan daging, telur, susu, mentega dan keju), tidak boleh
terikat sumpah. Dari ketentuan ini mayoritas orang tidak dapat melaksanakannya.
Mereka yang telah menerima Consolamentum
ini banyak yang memilih untuk bunuh diri daripada menjalankan hidup seperti
itu. Lagipula, menurut mereka bunuh diri adalah tindakan yang sempurna
bagi Albigensian yang sejati, yang merasa tidak mampu melaksanakan cara hidup
yang disyaratkan.
Para Albigensian ini bertemu dalam ibadah secara teratur. Mereka membaca
Alkitab, terutama Perjanjian Baru, yang telah mereka terjemahkan dalam bahasa
setempat, dengan tafsiran-tafsirannya yang sangat anti Katolik. Mungkin
kita bertanya-tanya mengapa sampai ajaran yang menyimpang ini sampai meluas dan
diterima banyak orang? Pertama,
karena mereka mempunyai banyak pengkhotbah yang mengkhotbahkan pengajaran ini
ke mana-mana, sedangkan pada saat itu para imam Katolik tidak boleh berkhotbah.
Kotbah adalah tugas para uskup. Maka mereka yang lahir dan dibesarkan secara
Katolik lama-kelamaan berpikir bahwa itu memang ajaran Kristiani. Kedua, para Perfect itu memang hidup dengan sangat miskin, sedangkan pada saat
itu para imam memang hidup dalam kelimpahan. Para Perfect banyak berderma, dan
menggunakan uang sumbangan untuk mendukung industri bagi lapangan kerja para
pemeluk sekte ini. Maka sedikit demi sedikit, sekte ini semakin berakar dalam
kehidupan negara dan ekonomi.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh sekte
Albigenses
Konsili pertama
yang membahas masalah heresi ini adalah Konsili Orleans tahun 1022, yang
mengadili 13 orang imam. Heresi/bidat ini berkembang luas di Jerman, Italia Utara,
Perancis Selatan, lalu juga ke Champagne, Languedoc (salah satu pusat
Christendom yang penting) dan Milan, dan menyebar ke Burgundy, Picardy,
Fladers, Perancis Tengah, Tuscany, khususnya, Florence, dan juga ke Roma,
Italia Selatan, Sicily dan Sardinia.
Maka kemudian Albigenses ini (atau juga sering disebut Catharists) dikecam di
banyak Konsili, yaitu di Tolouse (1119), Lateran II (1139), Rheims (1148),
Tours (1163), dan Lateran III (1179). St. Bernardus dikirim untuk berkhotbah di
daerah-daerah yang terpengaruh oleh heresi ini, namun baik kesucian maupun
kefasihannya berkhotbah tidaklah membawa pengaruh yang besar. Di Perancis Selatan,
gereja-gereja sudah tidak dikunjungi, sakramen ditinggalkan. Di Toulouse sekte
ini malah menjadi agama resmi. Utusan Paus Alexander III diusir dan dihina,
kecaman dari Konsili 1179, tidak digubris. Hampir semua provinsi Christendom
yang penting telah menjadi anti-Katolik. Beberapa uskup dan imam Katolik juga
mulai banyak yang terpengaruh oleh ajaran mereka.
Paus Innocent III dan reaksi dari pihak Gereja Katolik
Setelah Paus
Innocentius III dipilih, ia memusatkan perhatian untuk menangani masalah yang
terjadi di Languedoc. Dia menunjuk dua pertapa dari ordo pertapa Cistercian
sebagai pembawa pesannya. Misi mereka adalah untuk mempengaruhi para pangeran,
untuk mengusir para bidat dan menyita harta milik mereka, berdasarkan hukum
pada tahun 1184. Keberhasilan usaha mereka terhitung kecil, baik untuk
menanggulangi heresi maupun untuk mengusahakan reformasi bagi kehidupan para
imam/clergy yang pada waktu itu banyak yang hidupnya tidak sesuai dengan
panggilan hidup mereka. Maka pada tahun 1202, kedua pertapa ini digantikan oleh
dua pertapa Cistercian lainnya, salah satunya bernama Peter de Castelnau dan
Raoul. Castelnau ini seorang yang berani dan penuh semangat. Uskup Agung
Languedoc diturunkan, karena menolak untuk bekerja sama, Uskup Toulouse
diturunkan, karena kasus simoni, demikian juga dengan Uskup Beziers.
Pada tahun 1205 maka propaganda anti Catharist/Albigensian mencapai puncaknya,
melalui pengajaran, khotbah, pamflet, dsb, yang diarahkan oleh disiplin
religius yang terbaik. Para utusan Paus juga mengajarkan tentang iman supaya
umat Katolik tidak ragu tentang iman mereka dan kesungguhan Bapa Paus untuk
mengoreksi kehidupan para imam/clergy. Namun demikian, misi inipun tidak
berakibat banyak. Pangeran Touluose tetap menolak bekerja sama.
Kemudian Bapa Paus memperoleh bantuan dari Diego (uskup Osma) dan Dominikus.
Mereka membentuk tim tujuhpuluh dua murid, yang seperti dalam Injil.
Mereka hidup dalam kemiskinan, dan berkhotbah dan terbagi-bagi dalam kelompok
kecil, berdialog dengan para bidat. Pada tahun 1206-1207 mulailah terjadi
pertobatan, dan sebagaian dari para heretik itu kembali ke pangkuan Gereja
Katolik. Tahun 1207 seluruh Waldensian kembali, dan Paus Innocentius III
mengizinkan mereka hidup sesuai dengan kaul kemiskinan mereka dalam satu
order religius yang bernama Poor Catholics (Kaum Katolik yang miskin).
Setelah 10 tahun misi ini, Castelnau kembali ke Toulouse untuk berdialog dengan
Pangeran Raymond VI, agar ia mau bekerja sama. Sudah dua kali Pangeran Raymond
berjanji mau bekerja sama, namun kemudian ia berubah pikiran dan menolak secara
resmi. Maka Castelnau memberi sangsi ekskomunikasi dan memberi interdict/pemotongan hak dan fungsi pada daerah kekuasaannya. Namun, tiga bulan kemudian,
15 Jan 1208, Peter de Castelnau dibunuh oleh salah seorang sersan kerajaan
Toulouse. Pangeran Toulouse secara umum bertanggungjawab atas hal ini. Kematian
Castelnau ini mengakhiri misi khotbah dari kaum Cistercian dan digantikan oleh
perang. Pembunuh Castelnau diekskomunikasi, dan keputusan atas Pangeran
Raymond diperbaharui. Hak-haknya sebagai pemimpin daerah dicabut,
sekutu-sekutunya dibebaskan dari perjanjian. Paus Innocentius III menyatakan
perang / crusade selama 40 hari untuk mengalahkan para heretik, memberikan
indulgensi kepada para prajurit, seperti yang diberikan kepada prajurit di Holy
Land. [Walaupun perang selalu pada dasarnya kejam dan tidak kudus, tetapi untuk
alasan membela kebenaran iman ini, maka disebut perang kudus/crusade]. Pada
tahun 1209, pasukan dari 200,000 siap mengepung Toulouse.
Pangeran Raymond
VI, akhirnya menyerah (18 Juni 1209), dan tunduk pada hukuman dera di hadapan publik
di St. Gilles, berjanji untuk mengalahkan para heretik. Setelah itu pasukan
sampai di Valence dan ia bergabung dengan mereka. Pada bulan Agustus kedua
pusat heretik dikalahkan yaitu Beziers dan Carcassone. Sayangnya kemenangan di
Beziers ditandai juga dengan pembunuhan massal, yang tidak hanya mencakup
pasukan kota, tapi juga beribu penduduk sipil. Di sinilah terdengar seruan yang
mengerikan di Beziers: “Bunuh saja semua, Tuhan akan mengetahui siapa
milik-Nya.” Salah satu pemimpinnya yaitu Simon de Monfort, yang kemudian
menjadi penguasa atas Bezier dan Carcassone. Selama tahun-tahun ke depan dia
berjuang melawan Pangeran Raymond, mereka yang tergantung padanya, dan raja
Aragon, Peter II yang mempunyai kuasa di atas Pangeran Raymond.
Sejak saat itu perang melawan Albigenses juga tercampur dengan motif-motif
lainnya, termasuk persaingan politik. Pangeran Raymond sendiri tidak pernah
memberikan sikap yang jelas, karena ia tidak mau menyerahkan para bidat. Maka
utusan Paus kembali memberikan sanksi ekskomunikasi kepada Raymond, dan
interdict. Pangeran Raymond naik banding kepada Paus Innocentius, yang kemudian
mencabut interdict tersebut. Tiga bulan kemudian diadakan Konsili untuk
membahas pelanggaran Raymond ini (1210) dan Raymond tidak mengindahkan apapun
kewajiban yang sudah dijanjikannya di bawah sumpah. Dia tidak membubarkan
pasukannya, dan terus mendukung para bidat/ heretik. Paus Innocentius
kembali memberi peringatan, dan kembali mengingatkannya untuk bekerja sama.
Kembali Konsili diadakan untuk membahas apa yang telah dilakukan Pengeran
Raymond (Des 1210, Jan 1211, Feb 1211). Beberapa pelanggaran dilakukannya, dan
akhirnya, diputuskan oleh Paus bahwa Pangeran Raymond diekskomunikasi, dan
dikatakan sebagai musuh Gereja.
Selanjutnya, Simon de Montfort sedikit demi sedikit menaklukkan tempat- tempat
heretik tersebut. Lavaur jatuh ke tangan pasukan crusaders, yang menang atas
daerah itu dengan membunuh penduduk di sana, setelah mendengar bahwa pasukan
merekapun sebanyak 6000 orang telah dibantai pihak heretik. Paus Innocent III
berusaha melerai pertengkaran tersebut, namun tak berdaya karena terjepit oleh
kesaksian-kesaksian kedua belah pihak yang saling menjatuhkan. Peter II Raja
Aragon yang adalah ayah mertua Raymond berusaha memperoleh ampun bagi
menantunya, namun tak berhasil. Sementara itu Paus Innocentius akhirnya menjadi
yakin atas pelanggaran dan penipuan dari Pangeran Raymond, dan trik-trik dari
Peter, Raja Aragon. Terjadilah pertempuran antara Raja Peter II dengan Simon de
Montfort, yang berakhir dengan kematian Raja Peter II (1213). Maka, seluruh
daerah kekuasaan Raymond jatuh ke tangan Simon de Montfort, kecuali Toulouse.
Namun Paus Innocent III mengakui de Monfort hanya sebagai administrator
daerah-daerah ini. Pada saat Konsili Montpelier 1215 diadakan, Simon de
Montfort diakui sebagai Pangeran Toulouse, dengan catatan pemberian hak-hak
yang khusus kepada Raymond dan keturunannya. Setelah diberitahukan kepada Paus
Innocentius III bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menumpas heresi, akhirnya
menyetujui pilihan itu. Setelah 7 tahun lamanya dari pertempuran, pembantaian
yang tidak dapat dikatakan disebabkan karena kesalahan satu pihak saja,
hambatan terbesar untuk menumpas heresi Albigensian (Neo- Manicheaeism)
akhirnya teratasi, walaupun selanjutnya masih terdapat sisa- sisa pengaruhnya.
Setelah Simon de Montfort wafat, puteranya Amalric naik tahta, mewarisi hak-hak
ayahnya. Namun kemudian terjadilah pertempuran-pertempuran di wilayahnya hingga
akhirnya ia dan Raymond VII menyerahkan daerah kekuasaan mereka kepada
Raja Perancis. Sementara ini Konsili Toulouse (1229) mempercayakan kepada
Inkuisisi (Inqusition) ke tangan para biarawan Dominikan, dengan tujuan untuk
mengakhiri heresi Albigensianisme. Heresi ini akhirnya berakhir di akhir abad
ke- 14.
St. Dominikus dan St. Fransiskus
Mari di sini kita melihat juga peran kedua orang kudus yang hidup pada jaman
itu, yaitu St. Dominikus dan St. Fransiskus. Pertempuran itu tidak menghentikan
kampanye khotbah dan diskusi. Uskup Diego pensiun, dan kini Dominikus Guzman
mengambil peran aktif. Ia beserta timnya mulai diakui sebagai pengkhotbah
resmi. Desember 1216, ordo Dominikan diakui oleh Paus Honorius III dengan tugas
khusus untuk berkhotbah. Ordo ini bertujuan untuk melatih para penerus rasul
untuk memerangi heresi dengan pemikiran/ ajaran dan kehidupan asketik.
Kehidupan biara diisi dengan proses mempelajari Kitab Suci dan membahas
pertanyaan-pertanyaan Teologis. Dari ordo inilah muncul Peter Lombard dan St.
Thomas Aquinas. Di sinilah kita mengetahui bagaimana Tuhan memakai kejadian
yang kisruh di abad pertengahan tersebut, untuk kemudian melahirkan pengajaran
Gereja Katolik yang lebih sistematis, dan berakar pada Alkitab, sehingga dapat
lebih mudah diajarkan kepada umat. Dengan memahami ajaran ini, maka umat
Katolik diharapkan untuk lebih memahami imannya tidak mudah terbawa oleh arus
pemahaman heretik yang tidak mempunyai dasar yang kuat, sehingga kontradiktif
di dalam banyak hal.
Demikian pula, St. Fransiskus adalah seorang kudus yang lahir pada jaman itu
(1182) untuk memberi teladan kehidupan membiara yang memegang kaul kemiskinan,
berlawanan dengan kehidupan berlebihan para clergy pada saat itu. Dengan
demikian teladan hidupnya menjadi contoh hidup para religius, dan dengan
caranya sendiri ia berperan untuk memurnikan makna panggilan hidup membiara.
St. Fransiskus berasal dari keluarga yang kaya dan ternama, namun ia
meninggalkan segalanya demi maksud membangun Gereja. Ia mendirikan ordo para
bruder yang hidup dalam kaul kemiskinan dan mengkhotbahkan pertobatan. Ordo ini
berkembang pesat, dan membangkitkan kembali Gereja Katolik dari dalam.
Melalui kedua orang kudus ini, St. Dominikus dan dan St. Fransiskus dari Asisi,
Tuhan memenuhi janjinya, “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih
karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Rom 5:20) Artinya, biar bagaimanapun kuasa
Tuhan lebih besar daripada kuasa Iblis; dan Tuhan dapat memakai kejadian
seburuk apapun untuk mendatangkan kebaikan kepada mereka yang mengasihi Dia
(lih. Rom 8:28), dan janji ini digenapi-Nya di dalam Gereja-Nya.
Kesimpulan
Sebenarnya Albigensianisme bukanlah heresi Kristiani tetapi sebuah agama yang
di luar Kristen. Setelah upaya persuasif gagal, pihak otoritas Gereja
menerapkan represi dengan kekerasan, yang seringnya menjurus ke arah berlebihan
dan ini sangat disayangkan. Simon de Montfort bermaksud baik pada mulanya,
namun akhirnya menggunakan nama agama untuk merebut wilayah kekuasaan Pangeran
Toulouse. Memang harus diakui bahwa hukuman mati terlalu banyak diberikan
kepada para pengikut sekte Albigensianisme ini, namun harus pula kita pahami
bahwa hukuman mati pada jaman itu memang lebih keras diberikan daripada pada
jaman sekarang, dan seringkali dipicu oleh suatu pelanggaran yang berlebihan.
Pangeran Raymond VI dan VII seringnya menjanjikan akan bekerja sama menumpas
heresi, tetapi tidak pernah benar- benar melaksanakannya. Paus Innocent III
benar ketika mengatakan bahwa ajaran sesat Albigensianisme merupakan sesuatu
heresi yang lebih buruk daripada kaum Saracens. Paus selalu mengusahakan jalan
tengah, walau sering tak berhasil, dan iapun sebenarnya tak pernah menyetujui
kebijaksanaan yang egois dari Simon de Montfort. Yang diperangi oleh Gereja
pada saat itu, bukan saja keruntuhan agama Kristen, tetapi juga kepunahan umat
manusia, karena ajaran Albigensianisme yang mendorong ‘culture of death‘/
budaya kematian, dengan membenci tubuh, membenci perkawinan dan mendorong bunuh
diri dari para anggotanya.
Bahwa sesudah saat itu diadakan Konsili di Toulouse 1229 yang melarang orang
Katolik membaca Alkitab, itu adalah suatu larangan yang bersifat sementara,
karena pada saat itu banyak beredar terjemahan Kitab Suci dengan tafsiran-
tafsiran yang menyimpang sesuai dengan ajaran Albigensian. Hal ini sudah pernah
dibahas di artikel ini, http://katolisitas.org/2009/05/30/konsili-valencia-orang-katolik-dilarang-membaca-alkitab/.
Maka jelaslah sudah duduk masalahnya. Gereja Katolik tidak melarang umatnya
membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar tahun 1229,
memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab
Suci yang dilakukan oleh sebuah sekte sesat (Albigensian) pada saat itu. Maka
larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk
menyelamatkan kawanan dombanya. Sebab pengalaman telah menunjukkan bahwa tanpa
bimbingan Gereja maka penafsiran Alkitab dapat berakhir dengan interpretasi
yang malah bertentangan dengan iman Kristen.
Selanjutnya, terutama melalui Konsili Vatikan ke II, Dei Verbum 25, kita
mengetahui bahwa kita sebagai umat beriman dianjurkan untuk membaca Alkitab,
terutama para imam dan pengajar iman seperti para katekis. Namun demikian, pembacaannya
harus didahului dengan doa sehingga kita dapat mendengar Dia (Tuhan) sendiri
lewat ayat-ayat ilahi yang kita baca.
Demikianlah Kusno, yang dapat saya tuliskan tentang pertanyaan anda. Mari kita
melihat fakta sejarah dengan sikap obyektif. Bahwa memang terdapat kesalahan-
kesalahan dari kedua belah pihak, namun selalu ada alasannya, mengapa sampai
demikian. Albigenses atau Catharist adalah ajaran Neo- Manichaeism (versi baru
dari Manichaeism yang adalah aliran sesat pada jaman St. Agustinus sekitar abad
ke-4) yang sangat tidak Kristiani, maka mereka bukannya menawarkan ‘doktrin
reformed’, karena prinsip ajaran mereka malah sungguh menyimpang. Saya
sebagai umat Katolik, sepenuhnya bisa memahami keputusan pihak otoritas Gereja
Katolik saat itu, dalam rangka mempertahankan kemurnian pengajaran iman
Kristiani yang sesuai dengan pengajaran para rasul, walaupun juga menyesalkan
adanya keadaan kekerasan yang melewati batas. Agaknya memang keadaan pada saat
itu sangatlah rumit, dan Paus Innocentius III sungguh menghadapi pilihan yang
sangat sulit. Tetapi, tanpa kegigihannya mengakhiri heresi Albigensian, mungkin
tak banyak bangsa yang bertahan hidup sampai sekarang, bukan karena perang,
tetapi karena dengan sendirinya membenci kehidupan dan mengakhiri kehidupan
mereka sendiri dengan bunuh diri. Dengan mempelajari sejarah Gereja kita akan
semakin disadarkan akan kelemahan kita sebagai manusia, namun juga kita
mengagumi akan campur tangan Tuhan yang menjaga keberadaan Gereja-Nya yang
diterpa badai tak hanya dari luar tetapi dari dalam tubuhnya sendiri. Namun
janji Tuhan YESUS kepada Rasul Petrus selalu digenapinya, dan KRISTUS tak akan
membiarkan Gereja-Nya runtuh, sebab Ia berjanji, “alam maut tidak akan
menguasainya.” (Mat 16:18)
editor: adrian