Kamis, 04 April 2013

Akibat Nikah Dini

DAMPAK BURUK PERNIKAHAN DINI
Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.

Plan Indonesia, organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun.

Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari-April 2011. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT).

”Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Apalagi data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak,” ujar Bekti Andari, Gender Specialist Plan Indonesia, dalam siaran persnya.

Studi ini menunjukkan lima faktor yang memengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis, serta lemahnya penegakan hukum.

Pernikahan dini nyatanya membawa dampak buruk bagi anak perempuan:

1. Rentan KDRT
Menurut temuan Plan, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah.

2. Risiko meninggal
Selain tingginya angka KDRT, perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar.

3. Terputusnya akses pendidikan
Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin.

Country Director Plan Indonesia John McDonough menyatakan keprihatinannya terhadap angka pernikahan dini di Indonesia. Menurutnya, pemberdayaan anak perempuan bisa mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur ini.

McDonough menambahkan, program pemberdayaan ini memberikan hasil optimal dengan juga melibatkan ayah, saudara laki-laki, dan suami. Tak hanya perempuan, laki-laki juga perlu dilibatkan dalam menciptakan kesetaraan jender.

Program pemberdayaan tersebut meliputi ekonomi keluarga, advokasi, pendidikan dan penelitian tentang pernikahan dini, serta kampanye pemberdayaan dan partisipasi anak perempuan. "Program-program pemberdayaan anak perempuan yang dimiliki Plan juga melibatkan laki-laki dewasa dan anak-anak,” tandasnya.

editor : wawa, http://regional.kompas.com/read/2011/10/06/15331434/3.Dampak.Buruk.Pernikahan.Dini
Baca juga:

Pernikahan Dini & KDRT

PERNIKAHAN DINI MEMICU KDRT
Sekalipun wacana persamaan hak dan emansipasi perempuan sudah dicanangkan beberapa tahun lalu, namun sampai saat ini praktik diskriminasi seperti pelecehan seksual di tempat umum atau rendahnya peluang perempuan untuk melanjutkan pendidikan, masih banyak terjadi di Indonesia.

Menurut data Plan Indonesia, sekitar 150 juta anak perempuan di bawah usia 18 tahun di berbagai belahan dunia pernah mengalami kekerasan termasuk pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya. Fakta yang lebih menyedihkan, sekitar 44 persen pelaku pernikahan dini mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Desti Murdiana, Wakil Ketua Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa perempuan sudah rentan mengalami tindak diskriminasi sejak dilahirkan. Ironisnya, hal ini kerap dilakukan oleh orang tua si anak itu sendiri. "Misalnya saja, tindakan sunat bayi perempuan yang masih ditemukan di beberapa desa terpencil, dan eksploitasi anak perempuan dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan juga pernikahan," tukas Desti dalam kampanye "Because I Am A Girl" di Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun, tak banyak yang menyadari bahwa pernikahan dini yang dialami anak-anak perempuan juga termasuk dalam bentuk diskriminasi. Data Plan mengungkapkan bahwa 10 juta anak perempuan terpaksa atau dipaksa menikah dini setiap tahunnya. "Di Indonesia, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah. Rata-rata anak perempuan ini sudah menikah di usia 15-16 tahun," ungkap Nono Sumarsono, Kepala program Plan Indonesia.

Masalah pernikahan dini ini kerap dialami oleh perempuan karena berbagai hal, antara lain kurangnya informasi tentang perkembangan dunia sekitar, tidak adanya kesempatan kerja, rendahnya pendidikan, dan masalah kemiskinan. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa menikahkan anak perempuan secepatnya bisa membantu meringankan beban hidup mereka.

Padahal pernikahan dini ini bisa menyebabkan masalah semakin banyak, dan justru memperburuk masa depan perempuan. Karena pernikahan dini ini membatasi gerak si anak, dan hal lain yang seharusnya mereka lakukan. Dari 33,5 persen perempuan yang menikah dini, hanya 5,6 persen yang masih melanjutkan pendidikannya. Namun, saat memasuki dunia kerja mereka juga tidak siap karena sangat minim pengetahuan dan pengalaman.

Desti mengungkapkan bahwa berbagai akibat buruk yang kerap dialami perempuan akibat pernikahan dini  menjadi masalah yang harus secepatnya diatasi pemerintah Indonesia. "Bahkan dunia sudah menyoroti masalah pernikahan dini yang terjadi di Indonesia, dan mendesak pemerintah untuk menuntaskannya. Sayangnya sampai saat ini belum ada penyelesaian," sesal Desti.

editor : Dini, http://regional.kompas.com/read/2012/10/17/11230692/Pernikahan.Dini.Berpotensi.Memicu.KDRT.
Baca juga:

Bahaya Pernikahan Dini

PERNIKAHAN DINI PICU KEMATIAN IBU
Pernikahan dini memicu tingginya angka kematian ibu saat melahirkan. Selain minim sosialisasi tentang kesehatan reproduksi, faktor kemiskinan turut mendorong tingginya angka pernikahan dini. Mengakhiri pernikahan dini dan mengurangi angka kematian ibu di Indonesia masih menjadi tantangan berat.

Hal itu mengemuka dalam seminar ”Mengakhiri Pernikahan Dini dan Mengurangi Angka Kematian Ibu”, Rabu (12/12), di Jakarta. Acara itu dihadiri Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi; Direktur Eksekutif Women Research Institute, lembaga penelitian yang mengembangkan konsep tata pemerintahan adil jender, Sita Aripurnami; Wakil Bupati Gunung Kidul Imawan Wahyudi; dan Asisten Deputi Gender dalam Kesehatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dewi Yuniati.

Sita memaparkan, angka pernikahan dini di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, melonjak dari 80 pernikahan pada 2010 menjadi 145 pernikahan tahun 2011. Usia pasangan yang mengajukan dispensasi menikah di Pengadilan Agama Kabupaten Gunung Kidul berusia 16-19 tahun.

”Dari penelitian kami, banyak remaja belum mengerti benar kesehatan reproduksi. Menikah di bawah umur dari segi kematangan organ tubuh, terutama bagi perempuan, sangat berbahaya ketika melahirkan. Hal itu menaikkan angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan,” ujarnya.

Di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, AKI mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup pada 2007. Sekitar 10 persen dari AKI adalah perempuan berusia 14-19 tahun. Faktor infrastruktur penunjang kelahiran yang minim di pedesaan turut memengaruhi angka kematian ibu saat melahirkan.

Menurut Nafsiah, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perlu disosialisasikan kepada remaja dan orangtua serta hakim di Pengadilan Agama.

Imawan dan Dewi sepakat, faktor kemiskinan turut mendorong tingginya angka pernikahan dini. Sebagian orangtua segera menikahkan anak perempuannya untuk meringankan beban ekonomi. (APO)

sumber: KOMPAS, Kamis, 13 Desember 2012, hlm. 13
Baca juga:

Orang Kudus 4 April: St. Yosef

SANTO YOSEF, MARTIR
Yosef hidup antara tahun 816 – 886. Tidak ada informasi detail tentang masa kecil, keluarga dan aktivitas lainnya. Ia mengungsi ketika daerahnya digempur oleh pasukan tentara islam. Ia kemudian ditangkap oleh bajak laut dan dijual sebagai budak belian. Setelah ditebus ia mengikuti temannya, Uskup Ignasios dari Konstantinopel, ke dalam pembuangan. Di pengasingan itulah ia menyusun kidung-kidung gerejawi yang indah sekali, sehingga ia dijuluki “Yosef Hymnograph”.

sumber: Iman Katolik