Rangkap jabatan merupakan masalah yang kerap muncul. Dalam dunia politik,
masalah ini sering dilontarkan. Ada begitu banyak kritik yang dialamatkan
kepada beberapa pejabat yang memiliki jabatan rangkap, entah itu dua, tiga atau
lebih. Karena itu, mengawali pemerintahannya, Presiden Jokowi membuat
pembaharuan. Jokowi ingin menghilangkan rangkap jabatan bagi bawahannya. Karena
itu, kepada mereka yang menerima jabatan menteri diminta untuk mundur dari
jabatan politik.
Jokowi beralasan melarang bawahannya memiliki jabatan rangkap. Salah
satunya adalah konflik kepentingan. Miftah Thoha, dalam KOMPAS, 30
Juli 2013, halaman 6, menulis, “Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apapun
– baik etika, manajemen, sosial, politik maupun ekonomi – kurang pantas. Selain
kurang pantas, rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang
atau korupsi.”
Rangkap jabatan bukan hanya milik warga sipil-sekular saja, melainkan juga
sudah merambah ke dalam Gereja. Baik umat awam maupun imam ada yang mempunyai
jabatan rangkap dalam Gereja. Berikut ini hanya sekedar contoh.
Wahyu bertugas di paroki antah berantah. Selain bertugas sebagai pastor paroki, Wahyu juga bertugas di anu dan di ani. Lokasi tugas anu dan ani masih satu kota, sehingga tidak terlalu masalah. Tapi parokinya berada di luar kota, kurang lebih 3 jam perjalanan. Karena itu, Wahyu harus membagi waktu untuk mengurus pekerjaannya: beberapa hari ia di paroki sisanya di tempat lain. Hasilnya, ada banyak pekerjaan terbengkelai.