Seorang pemuda dari daerah terpencil datang ke ibu kota provinsi untuk
melanjutkan kuliah. Ia dapat kuliah karena keuskupan membantu membiayai uang
kuliah dan kebutuhan hidupnya. Maklum, kalau mengharapkan keluarga, jelas ia
tidak mampu. Dia merasa sangat bersyukur karena keuskupan mau membantunya
kuliah.
Karena prestasi akademiknya, oleh pihak kampus ia diberi beasiswa. Hal ini
sungguh luar biasa. Kampus itu mayoritasnya adalah muslim, dan dirinya berasal
dari daerah terpencil. Namun ia, yang minoritas, bisa berprestasi dan mendapat
beasiswa. Sebulan ia menerima uang sebesar delapan ratus ribu rupiah. Jumlah
yang cukup lumayan bagi anak kos dan kuliahan.
Apa yang dia lakukan terhadap uang beasiswa itu? Semua uang beasiswa dia
serahkan ke ekonom keuskupan. Dia merasa bahwa dirinya sudah dibantu oleh
keuskupan. Oleh karena itu, uang beasiswa itu diserahkannya ke keuskupan.
Sekalipun tidak ada aturan yang mewajibkan dirinya untuk menyerahkan uang
sumbangan yang dia terima selama kuliah, pemuda ini tidak mau memanfaatkan
kesempatan itu. Padahal, seandainya pun ia gunakan sendiri uang itu, ia tidak
salah. Dan peluang untuk itu sangat besar.
Namun, suara hatinya masih berperan. Dia tahu diri. Hal inilah yang membuat dia harus jujur. Kejujurannya inilah yang dipuji oleh banyak pihak, termasuk para gembalanya.