Rabu, 29 Agustus 2018

PEDOMAN MEMILIH NAMA ANAK UNTUK ORANG KATOLIK


Setiap manusia pasti punya nama, entah satu kata atau beberapa kata. Biasanya nama menunjukkan identitas seseorang. Akan tetapi, nama tidak hanya sekedar menunjukkan identitas saja, melainkan memiliki makna yang berdampak pada hidup mereka yang menggunakannya. Ada harapan orangtua dan pesan tersembunyi di balik sebuah nama.
Orang katolik biasanya akan memberi nama anaknya pada saat baptis. Ini dikenal dengan nama baptis. Setiap orang katolik pasti punya nama baptis. Namun pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan nama baptis. Kitab Hukum Gereja menganjurkan anak-anak yang dibaptis memiliki nama yang tak asing dari citarasa kristiani (kan. 855). Karena itu, bisa dikatakan bahwa nama baptis adalah nama yang tak asing dari citarasa kristiani. Apa maksud citarasa kristiani?
Umumnya orang katolik akan menggunakan nama santo santa atau orang kudus sebagai nama dirinya. Membaca nama orang kudus, orang langsung mengasosiasikannya dengan katolik. Jadi, nama anak yang mau dibaptis memiliki nama yang diambil dari nama santo-santa atau orang kudus. Banyak orang memahami nama anak dengan citarasa kristiani adalah nama santo santa. Orang memahaminya demikian, karena dalam upacara baptis atas ritus litani, berdoa kepada santo-santa pelindung, yang menjadi nama baptis calon baptis.
Harus ditegaskan bahwa citarasa kristiani tidak melulu hanya nama santo dan santa. Citarasa kristiani bisa juga merujuk pada nama-nama tokoh yang ada dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Jadi, anak bisa diberi nama Adam, atau Yakob, Samuel, Musa, Ruth, Sarah, Yeremia, Elia, Hana, Onesimus, Zakheus, dll. Sangat jelas bahwa nama yang diambil selalu memiliki peran positip, karena kesan positip itu diharapkan berpengaruh kepada mereka yang menyandang nama tersebut.
Selain itu, citarasa kristiani juga dapat merujuk pada nilai-nilai kekristenan atau istilah-istilah yang tak asing dalam dunia kristiani. Berikut ini sebagai contoh untuk nama yang diambil dari dunia kristiani: Immanuel, Asumpta, Imakulata, Fatima, Gloria, Hosana, Adoramus, Natal, Paskah, Adven, Cinta, Kasih, Yesus, Maranatha, Firman, Effata, Wahyu, dll. Berikut ini contoh nama yang mengungkapkan nilai-nilai kristiani: Wicaksana, Waskita, Gusti, Agung, Arif, dll.

Senin, 27 Agustus 2018

RENUNGAN PERINGATAN ST. MONIKA

Renungan Peringatan St. Monika
Bac I  2Tes1: 1 – 5, 11 – 12; Injil       Luk 7: 11 –17;
Injil hari ini berkisah tentang Tuhan Yesus menghidupkan seorang pemuda di Nain. Yang menggerakkan Yesus melakukan tindakan mukjizat ini adalah belas kasihan (ay. 13). Belas kasih itu ditujukan kepada ibu pemuda yang meninggal itu, yang adalah seorang janda. Bukan tidak mungkin Yesus membayangkan nasib ibu-Nya yang, adalah seorang janda, akan kehilangan diri-Nya. Sadar akan situasi yang dihadapi janda tersebut, akhirnya Yesus membangkitkan pemuda yang sudah mati. Yang sangat menarik adalah reaksi orang banyak atas peristiwa itu. Mereka memuliakan Allah (ay. 16).
Sikap yang ditampilkan orang banyak dalam Injil, kembali diperlihatkan Paulus dalam bacaan pertama hari ini. Dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Tesalonika, Paulus mengungkapkan rasa bangganya kepada kehidupan rohani jemaat di sana yang sesuai dengan kehendak Allah. Yang menarik di sini adalah rasa bangga itu tidak semata-mata tertuju pada Paulus pribadi karena usaha dan perjuangannya, melainkan ditujukan kepada Allah karena usaha para jemaat. Atas kehidupan umat yang membanggakan itu, Paulus menghaturkan syukur kepada Allah. Paulus bangga karena umat hidup seperti yang diajarkannya; dan apa yang diajarkan Paulus telah dihidupinya. Jadi, jemaat mendapat pengajaran Paulus bukan hanya dari verbal saja melainkan juga dari peri hidupnya.
Hari ini Gereja Universal mengajak kita untuk memperingati Santa Monika, ibu dari Santo Agustinus. Satu teladan luhur Santa Monika adalah bagaimana dia berjuang untuk mengembalikan anak dan suaminya kembali ke jalan yang benar. Siang malam selama bertahun-tahun digunakan untuk berdoa mohon bantuan Allah Bapa untuk membuka hati dan budi kedua orang yang dikasihinya itu. Doa santa Monika ditunjang dengan sikap peri kehidupannya. Semua itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kemuliaan Allah. Karena itu, sabda Tuhan hari ini, ditambah dengan teladan luhur Santa Monika, mengajak kita untuk berlaku baik bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk kemuliaan Allah.
by: adrian

KETIKA ANAK SUKA MELAWAN


Anak patuh adalah harapan orangtua, sebab itu membuat nyaman. Banyak orangtua mengeluh anaknya suka melawan. Tapi ingat, anak adalah suatu individu yang punya kehendak dan inisiatif sendiri. Bila anak hanya patuh saja, ia akan jadi anak yang tak punya inisiatif dan kemauan. Peran orangtua dalam mendidik anak sama seperti mengajari anak naik sepeda. Di saat awal, orangtua harus memegang sepeda agar ia tak jatuh, tapi di saat lain orangtua harus mendorong inisiatif dan keberanian anak.
Mendidik anak pada dasarnya adalah mengajak anak untuk patuh pada nilai yang mengatur tata cara hidup seperti nilai agama, aturan hukum, tata krama sosial dan nalar. Bahkan orangtua wajib juga mematuhi nilai-nilai itu. kepatuhan anak pada orangtua merupakan bagian dari kepatuhan pada nilai-nilai tadi. Orangtua yang memaksakan kepatuhan tidak berbasis nilai adalah orangtua otoriter.
Orangtua dan anak harus tunduk pada nilai. Kalau anak benar berdasarkan nilai, maka orangtua harus mengakuinya; dan jika orangtua salah berdasarkan nilai, maka orangtua harus berani minta maaf. Masalahnya, orangtua sering berdiri di depan anak dengan ego tinggi. Jawaban anak sering diterima sebagai serangan terhadap egonya sehingga orangtua jadi emosional. Ini membuat orangtua dan anak terjebak dalam pertengkaran. Untuk menghindarinya, orangtua mutlak harus mengendalikan emosinya.
Tentu saja ada banyak kasus dimana anak melawan karena enggan diarahkan. Anak punya kehendak dan tidak semua kehendak itu harus dituruti. Maka sekali lagi, penting bagi orangtua untuk menetapkan sejumlah aturan berbasis nilai. Sejak kecil anak harus dibiasakan berkehendak dalam koridor aturan tersebut. Yang di luar itu harus dikoreksi. Maka ketika anak melawan dalam konteks di luar koridor tadi, anak harus diluruskan.
by: adrian

Jumat, 24 Agustus 2018

TINJAUAN ATAS BUKU “MENGAPA AKU BUKAN MUSLIM”


Buku “Mengapa Aku Bukan Muslim” ditulis oleh Ibn Warraq, seorang penulis kritik islam. Nama Ibn Warraq sendiri bukanlah nama sebenarnya. Itu hanya nama yang selalu digunakannya untuk menulis tulisan-tulisan yang mengkritisi islam. Dia tak pernah memunculkan identitas sebenarnya, untuk menghindari ancaman dari umat islam (topik ini dibahas dalam bab 1). Semua itu dilakukannya supaya dia tidak menjadi Salman Rushdie kedua.
Warraq lahir dan tumbuh besar dalam keluarga islam yang taat. Awalnya mereka tinggal di India, lalu bermigrasi ke Pakistan. Sejak usia muda Warraq sudah mempelajari bahasa/budaya Arab dan membaca Al-Qur’an untuk menjadi orang islam sejati. Untuk menguatkan keislamannya, ayahnya memasukkannya ke madrasah. Pada usia 19 tahun, Warraq menempuh pendidikan di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Di sini dia belajar filsafat dan budaya Arab pada pakar keislaman W. Montgomery Watt.
Pertemuannya dengan W. Montgomery Watt ini sepertinya membuka hati dan budinya tentang islam yang selama ini diyakini. Pencerahan itu membuatnya melahirkan beberapa karya kritis terkait islam, seperti Why I Am Not a Muslim (1995), The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book (1998), The Quest for the Historical Muhammad (2000). Masih ada banyak lagi karya lainnya. Bukunya yang terakhir, yang ditulis tahun 2017 adalah The Islam in Islamic Terrorism: The Importance of Beliefs, Ideas, and Ideology.
Dari uraian singkat mengenai biodata Ibn Warraq, dapat disimpulkan bahwa penulis buku “Mengapa Aku Bukan Muslim” awalnya adalah seorang muslim. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia cukup mengenal tentang agama islam. Akan tetapi, kini dia tidak lagi memeluk islam, alias murtad. Namun, ketika membaca ulasannya tentang ‘kelemahan Tuhan’ (hlm 145 – 147; bdk. juga hlm 147 - 149), kita dapat simpulkan bahwa penulis tidak punya agama. Apakah dia ateis atau agnotis, kita tidak tahu.
Apa pun agamanya kemudian, itu tidaklah penting. Informasi agama yang pernah dianutnya ini berguna sebagai pegangan orang dalam menilai tulisannya. Patut dikatakan bahwa tinjauan kritisnya atas islam bukan tanpa dasar atau mengada-ada, melainkan lahir dari refleksi kritis atas apa yang sudah diketahui dan diyakini.

Rabu, 22 Agustus 2018

IA JUGA SEORANG AYAH

Perempuan itu menginginkan seorang atau dua atau tiga anak. Tak dipilih dengan pasti apakah mesti perempuan atau lelaki. Perempuan itu ingin dan makin ingin seperti tiap keinginan yang tak kunjung padam. Sejak kawin mungkin, atau jauh sebelumnya, sampai tahun-tahun pertama perkawinannya, dan kini di ulang tahun yang kesekian belas. Keinginan itu kian membesar dan rasa-rasanya kian dekat.
Kemudian pendekatan yang keselanjutnya ialah dengan mengambil seorang anak angkat perempuan. Sejak si bayi masih dalam kandungan ibu kandungnya, perempuan itu telah memintanya.
“Aku ingin punya anak.”
Dalam tahun kedua, diambilnya lagi adik bayi perempuan – yang juga perempuan, sebagai anaknya. Dan karena saat itu suaminya masih aktif sebagai tentara, anaknya mendapat jatah beras. Juga pada kelahiran ketiga – sekarang lelaki, dan kelahiran keempat – perempuan lagi.
“Kau tak keberatan aku mengambil anak, Mas!”
“Tentu saja tidak. Mengapa berkeberatan. Itu malahan meringankan keinginan kita berdua.”
Dan bila keempat anak kecil berbaring berjajar seperti ikan dalam kaleng, perempuan itu menjahit baju anak-anak.
“Kita bakalan punya anak sendiri ya, Mas!”
“Lebih bakal lagi karena kita telah mengambil anak.”

Senin, 20 Agustus 2018

JENIS DISIPLIN PADA MASA ANAK-ANAK

Orangtua pasti ingin hidup anaknya tertib, teratur, sesuai dengan keinginannya. Semua itu bisa dicapai bila sejak dini anak sudah dibiasakan pola hidup disiplin. Orangtua sangat berperan dalam pendisiplinan diri anak. Pendisiplinan itu proses, yang darinya akan lahir produk kepribadian anak.
Ada 3 metode mendisiplinkan anak. Pertama disiplin otoriter. Dalam disiplin otoriter, orangtua menetapkan aturan dan anak harus patuh. Tidak ada penjelasan mengapa anak harus patuh, soal adil tidaknya aturan atau apakah aturan itu masuk akal atau tidak. Kalau tidak ikut aturan, ia dihukum. Ini untuk mencegah pelanggaran di masa mendatang. Tidak ada pertimbangan kenapa anak melanggar aturan, juga tidak perlu diberikan hadiah karena telah mematuhi aturan. Metode ini akan melahirkan anak penakut dan peragu.
Kedua, disiplin yang lemah. Prinsip dasar disiplin ini adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berperilaku secara sosial. Karena itu, anak tidak diajarkan aturan, tidak dihukum karena melanggar aturan, juga tidak ada hadiah bagi yang berperilaku baik. Wujud lain disiplin ini adalah sikap terlalu memanjakan anak. Metode ini akan melahirkan anak liar dan manja.
Ketiga, disiplin demokratis. Disiplin ini menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa aturan dibuat dan memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya bila aturan itu dinilai tidak adil. Diusahakan agar anak tahu arti aturan dan mengapa ia mematuhi aturan itu. Dalam disiplin demokratis hukuman “disesuaikan dengan kejahatan”, tidak lagi diberikan hukuman badan. Penghargaan terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan harapan sosial yang tercakup dalam aturan diperlihatkan melalui pemberian hadiah terutama dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial. Metode ini akan melahirkan anak mandiri dan bertanggung jawab.
by: adrian

INILAH PEMIMPIN PILIHAN ISLAM

Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, Anies Baswedan secara mengejutkan mengalahkan Basuki Tjahaya Purnama (biasa disama Ahok), sekalipun publik sudah mengetahui kinerja bagus Ahok. Tak bisa dipungkiri, kemenangan Anies adalah kemenangan umat islam, karena senjata untuk mengalahkan Ahok adalah ajaran agama islam. Dua tahun kekuasaan Anies, seperti inilah gambarannya.

Sabtu, 18 Agustus 2018

Renungan Hari Minggu Biasa XX - B


Renungan Minggu Biasa XX, Thn B
Bac I  Ams 9: 1 – 6; Bac II         Ef 5: 15 – 20;
Injil    Yoh 6: 51 – 58;
Dalam Injil hari ini Tuhan Yesus memperkenalkan dirinya sebagai roti hidup yang turun dari sorga (ay. 51). Yesus menegaskan bahwa dirinya, tubuh dan darah-Nya adalah sungguh makanan. “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan, dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.” (ay. 55). Pernyataan Tuhan Yesus ini memang sungguh tidak masuk dalam akal budi kebanyakan orang Yahudi. Karena itulah, mereka saling bertengkar dan mempersoalkan pernyataan Yesus tadi (ay. 52).
Menghadapi orang Yahudi, yang memperkarakan pernyataan Yesus tersebut, kiranya nasehat Paulus dalam bacaan kedua, dan penulis Kitab Amsal, dalam bacaan pertama, sangat relevan. Di mata Paulus dan penulis Kitab Amsal, sikap orang Yahudi itu seperti sikap orang bodoh. Karena itu, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus berkata, “janganlah kamu bodoh.” (ay. 17); dan penulis Kitab Amsal mengajak umat untuk membuang kebodohan (ay. 6).
Dari bacaan pertama dan kedua hari ini, kita bisa mengetahui bahwa sikap orang Yahudi yang bertengkar soal pernyataan Tuhan Yesus sebagai makanan terjadi karena mereka hanya mengandalkan kemampuan manusiawinya saja. Orang Yahudi mencoba memahami pernyataan Yesus tersebut hanya dari sisi akal budi saja. Dan ketika akal budi menemui keterbatasannya, mulailah mereka saling bertengkar. Karena itu, Paulus dan penulis Kitab Amsal mengajak kita untuk “mengerti kehendak Tuhan” (Ef 5: 17; bdk. Ams 9: 6).
Sabda Yesus hari ini secara khusus ditujukan kepada para murid-Nya. Kepada kita Yesus berkata bahwa yang makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya akan mempunyai hidup kekal dan akan dibangkitkan pada akhir zaman (ay. 54). Menjadi pertanyaannya adalah apakah kita memahami sabda Yesus ini dan percaya? Untuk bisa memahaminya, kita harus mengikuti nasehat Paulus dan penulis Kitab Amsal, yaitu membuang kebodohan kita. Kebodohan itu terjadi ketika kita memaksakan pemikiran kita. Kata kunci untuk dapat memahami pernyataan Tuhan Yesus adalah “Yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” Jadi, setiap murid Kristus yang makan tubuh-Nya (lewat ekaristi), akan hidup oleh Kristus, bukan dirinya sendiri.
by: adrian

Jumat, 17 Agustus 2018

BUTIR-BUTIR REFLEKSI HUT KEMERDEKAAN

Setiap tanggal 17 Agustus, semua warga Indonesia akan bergembira merayakan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Aneka kegiatan diselenggarakan, dimulai dari tingkat RT/RW hingga skala nasional. Warga Indonesia di luar negeri pun tak mau ketinggalan. Semua bergembira dan bersyukur atas rahmat kemerdekaan yang Tuhan anugerahkan.
Ada begitu banyak bentuk acara untuk bersyukur atas anugerah kemerdekaan tersebut. Umat Kristen Katolik selalu menghaturkan syukur itu lewat perayaan ekaristi. Dan kebetulan pula, Gereja Katolik Indonesia menetapkan tanggal 17 Agustus itu sebagai Hari Raya, yang disamakan dengan Hari Minggu. Sangat menarik jika warga Indonesia, apa pun agama dan kepercayaannya merenungkan butir-butir refleksi HUT Kemerdekaan ini dalam liturgi Gereja Katolik.
Tulisan “HUT Proklamasi dalam Liturgi Katolik” coba mengangkat butir-butir refleksi tersebut. Ada tiga bacaan Kitab Suci dijadikan dasar pijakan refleksi. Bacaan Pertama, yang diambil dari Kitab Putra Sirakh, lebih ditujukan kepada para pimpinan negeri ini. Di sini mereka diminta untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya. Inilah wujud dan makna kemerdekaan. Dengan kata lain, kemerdekaan bukan berarti bebas menindas rakyat kecil.
Bacaan Kedua, yang diambil dari Surat Petrus yang pertama, ditujukan untuk rakyat. Di sini rakyat diajak untuk taat kepada Allah dan bersikap hormat kepada penguasa negeri. Ajakan ini seakan relevan untuk situasi bangsa saat ini, dimana caci maki dan hinaan kepada presiden begitu mudahnya diumbar di sembarang tempat. Orang seakan tidak punya rasa hormat kepada presiden yang terpilih secara demokrasi, hanya lantaran tidak sesuai dengan selera.
Selain itu, Rasul Petrus juga mengajak warga untuk memaknai kemerdekaan ini dengan cara hidup sebagai orang merdeka, bukan dengan menyalah-gunakan kemerdekaan. Penyalah-gunaan kemerdekaan itu identik dengan menyelubungi kejahatan. Nasehat Petrus ini juga relevan untuk bangsa ini. Ada begitu banyak rakyat Indonesia menyalah-gunakan kemerdekaannya, seperti narkoba, korupsi, begal, pergaulan bebas, dan masih banyak lagi. Penyalah-gunaan kemerdekaan membuat orang kembali tertindas.
Bacaan Injil menjadi prinsip Gereja Katolik dalam hubungannya dengan negara dimana ia berada. Gereja Katolik selalu membuat pembedaan antara urusan negara dan urusan Gereja. Masalah agama akan menjadi urusan Gereja, dan tidak akan dicampur-adukkan dengan masalah negara.
Demikianlah butir-butir refleksi kemerdekaan Republik Indonesia yang ada dalam Liturgi Gereja Katolik. Menyimak butir-butir tersebut sangat jelas nilai universalitasnya. Butir-butir tersebut tidak hanya ditujukan kepada umat Kristen Katolik saja, melainkan kepada semua warga Indonesia, bahkan semua umat manusia. Lebih lanjut mengenai butir-butir tersebut silahkan baca di sini.
by: adrian

Rabu, 15 Agustus 2018

UTAK-ATIK CAWAPRES PILPRES 2019


Memasuki masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (4 – 10 Agustus), nama untuk calon presiden sudah mengerucut pada dua nama, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Menjadi teka-teki adalah siapa calon wakil presidennya. Semua mata politik terarah pada aneka kalkulasi untuk menentukan pendamping bagi Jokowi dan Prabowo. Proses pemilihan cawapres ini memang dramatis.
Di kubu Joko Widodo santer terdengar nama Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Banyak analis menilai peluang Mahfud MD sangat besar. Apalagi ada info Mahfud pernah menerima telepon dari lingkar dalam Jokowi. Akan tetapi, suara dari PBNU lebih condong ke Muhaimin Iskandar. Mungkin hal ini membawa Jokowi dalam situasi dilematis. Karena itu, di menit terakhir tiba-tiba muncul nama Ma’aruf Amin. Memilih figur ulama memang menjadi suatu keharusan (mengenai hal ini, silahkan baca: Inilah Sosok Pendamping Jokowi dalam Pilpres 2019).
Di kubu Prabowo lebih dramatis lagi. Bukan tidak mustahil Prabowo pusing tujuh keliling. Semua partai koalisinya mengajukan nama untuk cawapres dengan sedikit memaksa. Belum lagi menghadapi partai koalisi, Prabowo disodorkan dua nama dari Ijtima Ulama, yaitu Habib Salim Al Jufri dan Ustaz Abdul Somad. Ketika mengajukan dua nama tersebut, Persaudaraan Alumni 212 menyatakan bahwa keputusan ulama tersebut adalah keinginan Allah. PA 212 tidak setuju dengan nama yang diajukan Partai Demokrat, sementara SBY, secara santun dan halus, ngotot agar putranya maju mendampingi Prabowo. Sama seperti di kubu Jokowi, di menit terakhir tiba-tiba muncul nama Sandiaga Uno.
Kamis, 09 Agustus 2018, merupakan drama pengumuman calon wakil presiden. Menjelang pengumuman ini, publik disodorkan syahwat-syahwat kekuasaan, yang sayangnya sama sekali tidak disadari. Syahwat itu lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok keagamaan, yaitu islam. Baik di kubu Jokowi maupun Prabowo tokoh-tokoh islam saling memamerkan syahwat kekuasaannya, seakan merasa negeri ini hanya milik umat islam; atau seolah-olah hanya islam-lah yang menentukan kehidupan bangsa ini.

REFLEKSI ATAS MUKJIZAT PENGGANDAAN ROTI

Ketika membaca buku Karen A. Barta, yang berjudul Warta Rohani Injil Markus, pada bagian akhir bab kelima, Karen mengajak kita untuk merefleksikan peristiwa Yesus memberi makan kepada orang banyak. Peristiwa tersebut dapat dibaca dalam Markus 6: 30 – 44 dan 8: 1 – 10. Sekalipun ceritanya berbeda, kedua kisah tersebut mempunyai kemiripan atau kesamaan, yaitu:
1.    Ada banyak orang lapar (lima ribu dalam bab 6; empat ribu dalam bab 8)
2.    Ada kebutuhan akan makanan (6: 36; 8: 2)
3.    Ada usaha menghindar dari tanggung jawab (6: 35 – 36; 8: 4)
4.    Sumber makanan terbatas (dalam bab 6 ada 5 roti dan 2 ikan; dalam bab 8 ada 7 roti dan beberapa ikan)
5.    Ada ucapan syukur (8: 6) dan/atau berkat (6: 41) atas makanan oleh Yesus
6.    Para murid membagi-bagi (6: 41; 8: 6 – 7)
7.    Orang banyak kenyang (6: 42; 8: 8)
8.    Ada kelimpahan (dalam bab 6 ada sisa 12 bakul penuh; dalam bab 8 ada sisa 7 bakul)
Dari kesamaan di atas, kita melihat adanya “pergerakan mukjizat” untuk menjawab kebutuhan orang banyak akan makanan. Sumber makanan ada pada para murid. Karena itu, Yesus mempertanyakan sumber makanan itu pada para murid (6: 38; 8: 5). Mungkin karena terbatas, para murid merasa apa yang ada padanya tidak cukup untuk orang banyak; malah dirinya pun akan teracam kelaparan. Karena itulah, awalnya murid-murid menahan sumber makanan itu. Hanya untuk mereka sendiri. Tapi, karena Yesus berkata, “Kamu harus memberi mereka makan.” (6: 37; bdk. 8: 2 – 3), para murid mengeluarkan makanan yang ada pada mereka, yang jumlahnya terbatas. Semuanya diserahkan kepada Yesus untuk diberkati, lalu dikembalikan kepada para murid untuk dibagi-bagikan kepada orang banyak. Terjadilah mukjizat!
Bagaimana teks ini dibaca dalam zaman kini?

Senin, 13 Agustus 2018

TUGAS ORANGTUA MEMBANTU ANAK BEREMPATI


Anak usia 2 – 3 tahun perlu diajari mengenali emosi dasar, seperti senang, sedih, marah dan takut. Ini menjadi tugas orangtua di rumah. Dengan mengenali emosi sendiri, anak pun bisa lebih berempati pada orang lain. Kalau anak tahu saat dia sedih itu karena begini, begitu, rasanya begini, jadi dia mengerti emosi orang lain juga saat sedih.
Seiring bertambahnya usia, ajari anak mengidentifikasi emosi dan bagaimana cara mengatasinya atau mengungkapkannya secara positip. Ketika marah, anak harus sadar bahwa ia sedang marah. Anak juga harus tahu alasan ia marah dan bagaimana cara mengatasinya. Dengan begitu, anak bisa mengontrol emosinya tanpa menyakiti perasaan orang lain. Demikian pula dengan emosi lainnya. Orangtua harus mengomunikasikannya dengan anak kenapa emosi itu muncul dan jelaskan juga baik buruknya. Orangtua juga hendaknya dapat membuat pembedaan emosi pada anaknya.
Sayangnya, pengenalan emosi pada anak belum menjadi kebiasaan banyak orangtua. Kebanyakan orangtua lebih suka jika anaknya tenang dan mudah diatur. Padahal, pengenalan emosi sangat penting. Setidaknya anak-anak sudah menguasai empat emosi dasar sebelum masuk usia sekolah. Dengan mengenal emosi, anak bisa bersosialisasi dengan baik kepada teman-temannya di sekolah.
Anak akan memiliki kecerdasan emosional yang baik, bisa berempati, lebih peka dan memiliki kepedulian. Jadi, anak jangan hanya diberikan kecerdasan intelektual saja, tetapi juga kecerdasan emosional.
by: adrian

Jumat, 10 Agustus 2018

MENGENAL JENIS KOPI DAN KWALITASNYA


Masyarakat Indonesia tentu sudah tak asing lagi dengan minuman warna hitam beraroma. Itulah yang dikenal dengan sebutan kopi. Ada banyak produk kopi di pasaran; ada banyak cafe atau warung yang menawarkan kopi. Tapi apakah orang tahu jenis kopi yang disajikan itu?
Ada banyak jenis kopi di dunia ini. Kopi torabika atau kopi Toraja itu bukan termasuk jenis kopi. Itu hanya sekedar nama. Untuk di Indonesia, setidaknya ada 4 jenis kopi, yaitu arabika, robusta, liberika, dan ekselsa. Tiap-tiap jenis kopi berbeda satu dengan yang lain. Dengan kata lain, masing-masing kopi memiliki kekhasan tersendiri.
1.     Kopi Arabika
Tanaman kopi arabika ini dipercaya berasal dari daerah Etiopia, kemudian dibawa oleh pedagang Arab ke Yaman. Bangsa Arab mulai mempopulerkan ekstrak biji kopi arabika yang diseduh dengan air panas sebagai minuman penyegar. Mungkin hal inilah yang menyebabkannya disebut arabika, sekalipun asalnya dari Afrika.
Kopi arabika tumbuh di daerah dengan ketinggian 700 – 1.700 meter di atas permukaan laut dengan suhu antara 16 – 20°C. Semakin tinggi lokasi kebunnya, cita rasa yang dihasilkan biji kopi arabika akan semakin baik. Ukuran dan bentuk biji kopi arabika lebih besar dan cenderung lonjong, tidak seperti biji kopi robusta yang bulat.
Mengenai cita rasa, kopi arabika memiliki banyak variasi sehingga lebih menggoda daripada jenis kopi lainnya. Kopi arabika memiliki tekstur yang halus sehingga lebih kental di mulut. Tingkat keasaman kopi arabika lebih tinggi dibandingkan kopi lainnya. Selain itu, kopi arabika  terasa pahit. Namun, kandungan kafein kopi arabika lebih rendah, yaitu sekitar 1,2%. Kopi arabika mempunyai wangi aroma percampuran bunga, buah dan rempah.

Senin, 06 Agustus 2018

MENUMBUHKAN KEPERCAYAAN DIRI ANAK

Tentulah setiap orangtua ingin agar anaknya memiliki rasa percaya diri yang bagus. Percaya diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Banyak orangtua berpikir bahwa rasa percaya diri yang bagus dapat membantu anak berprestasi dan sukses.
Rasa percaya diri bukan sesuatu yang sudah ada dalam diri seseorang, melainkan butuh pelatihan sejak usia dini melalui berbagai eksperiensi dan eksplorasi, misalnya dengan menjajal sesuatu, bergerak bebas, dan lain-lain. Kata Erikson, orangtua yang sanggup memberikan kasih sayang dan rasa aman, akan memupuk kepercayaan diri anak. Kasih sayang dan rasa aman itu akan menancapkan kesimpulan dalam pikiran anak: ternyata dunia ini bersikap baik sehingga tak ada alasan untuk takut.
Orangtua yang pintar mengembangkan naluri berotonomi si anak (misalnya bebas bermain atas keputusannya), pintar menyalurkan hak berinisiatif atau yang pintar memberi kesempatan kepada anak untuk mengasah berbagai kebolehan dan kebiasaan (kompetensi), akan memupuk kepercayaan dirinya.
Karena itu, model pola asuh negatif menghambat pertumbuhan rasa percaya diri anak. Pola asuh negatif itu seperti terlalu sering memberi label negatif pada anak, terlalu sering memotong proses eksplorasi anak, selalu membuat perbandingan negatif, terlalu mengabaikan prestasi anak dan suka memberi ancaman atau rasa takut.
by: adrian

Jumat, 03 Agustus 2018

PERBEDAAN ITU INDAH

Setiap manusia adalah unik. Keunikannya tersebut membuat manusia berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan bisa saja mencakup pribadi manusia secara person, maupun secara sosial. Secara person atau individual hal ini sudah pasti. Saya berbeda dari Anda: soal jenis kelamin, warna kulit, rambut, minat, dll. Maria berbeda dengan Fatimah. Tak ada manusia yang sama. Sekedar mirip ada. Perbedaan juga terjadi secara sosial. Maria dan Fatima berbeda bukan saja karena pribadi mereka berbeda, melainkan juga secara sosial. Maria kristen, dan Fatima islam; yang satu Flores, satunya lagi Arab.
Melihat realita perbedaan inilah, akhirnya muncul retorika-retorika klasik. “Perbedaan itu indah.” Atau ada juga yang mengatakan “Perbedaan itu rahmat.” Dengan adanya pernyataan ini, diharapkan orang tidak mempermasalahkan atau mempertentangkan perbedaan yang ada. Kenapa dikatakan retorika? Alasannya karena kebenaran pernyataan itu sering hanya terdapat pada pernyataan tersebut, dan tidak tampak dalam kehidupan nyata. Atau, pernyataan itu benar sejauh perbedaan yang dialami disukai, tapi ketika perbedaan itu tak disukai, maka pernyataan itu dihilangkan.
Berikut ini kami tampilkan 3 gambar dengan tema dasar PERBEDAAN. Gambar ini bukan sekedar gambar biasa. Di dalamnya terkandung makna dan pesan. Dibutuhkan hati dan budi yang terbuka agar dapat menemukan makna dan pesan. Jika melihat hanya dengan emosi, maka yang didapat hanyalah kemarahan dan kebencian. Namun di atas semua itu adalah bagaimana kita melihat dan menyikapi gambar-gambar tersebut.