Minggu, 03 Agustus 2014

(C E R P E N) Pelajaran Sejarah

PELAJARAN  SEJARAH

“Jadi, sekalipun ada niat dari Jepang untuk menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia, proklamasi kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia. Bukan pemberian gratis atau bersyarat seperti negara Malaysia.” Demikian penjelasan Pak Priyatno, guru sejarah SMU St. Yusuf. “Dan harus diingat, proklamasi kita tak bisa dipisahkan dari peran kaum muda. Merekalah yang menggerakkan proklamasi itu.”

“Tanya dikit, pak!” Sebuah tangan dari barisan tengah bangku ruang kelas XIIB menjulang ke atas.

“Ya, Rolan Gultom!” Pak Pri langsung mengenali subyek penanya. “Jangan kau tanya leluhurmu P. Gultom itu, ya?!” Pak Pri tersenyum diikuti murid lainnya.

Maklum, dalam penjelasan tadi ada nama P. Gultom pada kelompok kaum muda radikal. Kelompok inilah yang memaksakan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia secepatnya. Dan memang ketika ada disebut marga Gultom, Parolan sedikit sumringah.

"Tak sia-sia aku terlahir dengan marga Gultom,” ujar Parolan yang langsung disambut teriakan “huuuuu...!” Parolan hanya tertawa. Pak Pri juga. Tapi pak Pri segera menenangkan ruang kelas untuk memberi kesempatan Parolan bertanya.

“Selama ini kita tahu bahwa proklamasi itu terjadi pada tahun 1945. Kalau disingkat menjadi ’45. Tapi kenapa pada teks proklamasi, baik yang tulisan tangan maupun yang diketik Sayuti Melik, tertulis ’05?”

“Bagus!” Puji pak Pri, membuat Parolan langsung menegakkan kepalanya dan menoleh ke kiri dan ke kanan. Murid lain hanya tersenyum melihat ulahnya. Tapi ada juga yang mencibir.

“Tahun yang dipakai bukan tahun internasional, melainkan tahun Jepang. Tanggal dan bulannya sama. Tahunnya beda. Pada waktu itu tahun Jepangnya adalah 2605.”

Kring! Kring! Kring! Bel sekolah berbunyi pertanda pelajaran usai. Para murid segera mengemas buku-bukunya.

“Anak-anak, tanggal 14 nanti kita ulangan.”

“Ha?! Apa?!” Beberapa murid spontan kebingungan.

“Cepat kali, pak.” Celetuk Magda. “Kita baru bahas satu materi.”

“Bapak punya maksud. Memang materinya sedikit. Sejarah menjelang dan saat proklamasi kemerdekaan. Dengan kalian mempelajari materi itu, bapak berharap kalian nanti semakin menghayati upacara proklamasi 17 Agustus. Adalah keprihatinan bapak bahwa anak-anak muda sekarang kurang memaknai upacara proklamasi. Kelihatannya setiap upacara proklamasi 17 Agustus orang jatuh pada seremonial belaka. Ini mungkin disebabkan generasi sekarang tidak tahu sejarah proklamasi itu.”
***
Parolan memarkirkan Mega Pro-nya di samping rumah. Ia baru pulang dari gereja, mengikuti pertemuan OMK (Orang Muda Katolik) membahas kegiatan OMK menyambut HUT Proklamasi. Sebenarnya pertemuan itu hanya untuk memfinalkan program acara.

Untuk menyambut HUT Proklamasi Republik Indonesia, OMK Paroki St. Yosep menggelar beberapa kegiatan. Hari Sabtu, 14 Agustus, ada kegiatan donor darah. Hari Minggu, setelah misa, ada bakti sosial membersihkan pantai Jalan Lingkar Timur; malam harinya ada sarasehan. Senin malam ada perayaan ekaristi menyambut proklamasi di halaman Grotto Maria Guadalupe, Sei Bati.

Romo Sensi, selaku moderator OMK paroki, mengungkapkan kepuasan hatinya dengan kegiatan tersebut. “Dengan kegiatan ini kalian bukan hanya mewujudkan visi keuskupan, tetapi juga mewujudkan mimpi Mgr. Soegijapranata: menjadi Indonesia 100 persen dan menjadi katolik 100 persen,” ungkap Rm. Sensi menutup pertemuan.

Parolan masuk ke dalam rumah. Dilihat ibunya, dibantu Rolina, adiknya, sedang menyortir sawi dan kacang panjang yang mau dijual ke pasar besok pagi.”

“Sudah makan kau, Lan?”

“Masih kenyang, mak. Tadi waktu pertemuan ada makan kue.”

“Pasti abang makan banyak,” sambung Rolina yang disambut mata besar Parolan. Rolina hanya tersenyum saja, karena ia tahu abangnya hanya bercanda. Sebagai satu-satunya anak dan adik perempuan di rumah, Rolina selalu mendapat perhatian dari semua anggota keluarga.

“Kalau gitu, kau ambil dulu keranjang sayur di belakang biar langsung kau masukkan sayur ini.”

“Ramses mana, mak?” Tanya Parolan sambil melirik jam di dinding. 19.20. Ramses adalah adik Parolan. Siswa SMP St. Yusuf kelas VIII. Mereka semua ada tiga bersaudara. Parolan anak sulung dan Rolina si bungsu, duduk di kelas V SD St. Yusuf.

“ Ke rumah temannya. Kerja tugas.”

“Mak, malam ini aku tak bisa bantu. Aku mau belajar. Besok ada ulangan.”

“Ya sudah. Nanti aku minta Ramses yang beresin. Tapi besok pagi kau yang antar ke pasar.”

“Iya mak!” Sahut Parolan sambil berlalu ke kamarnya. Langsung diambilnya buku sejarah dan ia mulai membaca.
***
Ruangan Lembaga Bakteriologi, Jln Pegangsaan Timur, jam 20.00. Sekelompok pemuda berkumpul. Parolan hadir di sana. Dia asyik berdiskusi dengan Wikana soal berita bom di Hirosima dan Nagasaki serta soal kekalahan Jepang.

“Saudara-saudara,” tiba-tiba Chairul Saleh berbicara membuka pertemuan. “Sebagaimana yang kita ketahui dari berita radio bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Karena itu kemerdekaan sudah di depan mata. Tinggal kita raih saja.”

Beberapa pemuda lain ikut berbicara. Ada yang dengan tegas bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diumumkan, tanpa harus menunda-nunda. Melanjuti ini seorang pemuda menyampaikan bahwa siang tadi Bung Karno dan Bung Hatta sudah tiba di Jakarta. Mereka bersama dr. Radjiman Wediodiningrat baru pulang dari Dalat, Vietnam Selatan. Menurut informasi yang diterima, pertemuan di Dalat itu membicarakan soal pemberian kemerdekaan kepada Indonesia.

Mendengar berita itu Darwis menjadi emosional. “Kemerdekaan itu bukan hadiah, tapi perjuangan.”

“Jika kita menerima sebagai hadiah, kita tidak menghargai perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara kita sebangsa setanah air.” Tambah Parolan. “Di antara mereka ada yang sudah gugur.”

Harsono, yang selalu mengenakan batik, angkat bicara. “Tantangan kita ada di Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka adalah tokoh kunci di PPKI. Dan karena PPKI itu adalah bentukan Jepang, maka proklamasi pun harus ikut mekanismenya.”
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:
1.      Pasien Kamar 14
3.      Kicau Burung Hilang
4.      Kuda Lumping
5.      Ulang Tahun Ramadhan
6.      Cita-cita Warni

Renungan Hari Minggu Biasa XVIII - A

Renungan Hari Minggu Biasa XVIII, Thn A/II
Bac I    Yes 55: 1 – 3; Bac II             Rom 8: 35, 37 – 39;
Injil      Mat 14: 13 – 21;

Sabda Tuhan hari ini mau mengatakan kepada kita bahwa bersama Tuhan kita akan berkelimpahan, aman dan nyaman. Dalam bacaan pertama yang diambil dari Kitab Nabi Yesaya, dikatakan bahwa bersama Tuhan umat akan menikmati makanan yang paling baik dan lezat serta akan hidup. Karena itu, Tuhan bertanya kenapa umat sibuk mencari sesuatu yang tidak dapat menjamin kenyamanan dan hidup jika pada-Nya ada semua itu. Karena itulah, melalui mulut Nabi Yesaya, Tuhan berfirman, “Ayo…., marilah!” (ay. 1).

Paulus dalam bacaan kedua juga menyatakan hal senada. Kepada jemaat di Roma, Paulus menyatakan bahwa bersama Kristus Tuhan jemaat akan merasa aman, damai dan sejahtera. Tidak ada yang dapat memisahkan kita dari Kristus dan kasih Bapa. Ini mengisyaratkan bahwa jemaat sudah hidup di dalam kasih Kristus dan merasakan kebahagiaan itu. Karena sudah merasakan kebahagiaan itu, maka tak ada alasan lagi untuk memisahkan diri dari Kristus. Artinya, umat diminta untuk terus menghidupi Kristus yang hidup di dalamnya.

Apa yang dinyatakan dalam bacaan pertama dan kedua, diungkapkan dengan cara narasi dalam Injil. Setelah melayani banyak orang yang datang kepada-Nya, para murid Yesus dihadapkan pada masalah makanan. Hari sudah gelap dan mereka tidak punya makanan untuk orang  yang banyak itu. Ada kesan bahwa para murid ingin cuci tangan dengan menyuruh orang banyak itu pergi mencari makan sendiri di desa-desa. Tapi Yesus justru meminta mereka untuk memberi makan orang banyak itu. Cukup menarik melihat pergerakan makanan para murid yang terbatas itu. Dari para murid menuju ke Yesus, dan kembali lagi ke para murid lalu menyebar ke orang banyak. Hasilnya adalah semua orang makan sampai kenyang dan bahkan berkelimpahan. Ini mau mengatakan bahwa apa yang ada pada murid, jika diserahkan kepada Tuhan dan kemudian dibagikan maka akan menjadi berkelimpahan.

Sabda Tuhan hari ini pertama-tama mau menyadarkan kita bahwa bersama dan dalam Tuhan kita akan berkelimpahan. Kelimpahan ini bukan hanya dalam soal materi saja, melainkan juga dalam hal-hal immaterial, seperti damai, sukacita, bahagia, dll. Melalui sabda-Nya Tuhan menghendaki kita agar apa yang kita miliki jangan hanya dinikmati sendiri, melainkan dibagikan kepada sesama. Dan dalam pembagian itu kita diajak untuk mengikutsertakan Tuhan, karena bersama Tuhan maka kita dan sesama akan mengalami kelimpahan.

by: adrian