Dulu almarhum Gus Dur pernah menyentil anggota DPR dengan membandingkan
mereka seperti murid taman kanak-kanak. Pernyataan tersebut disampaikan dengan
cukup ekstrem di media-media sosial. Kemunculan ungkapan itu membuat kita
mempertanyakan kembali apa simbol yang dimaksud dengan murid TK ini. Umumnya
anak usia 4 – 5 tahun adalah anak-anak yang masih lugu, tidak mengerti tanggung
jawab, masih senang bermain dan tidak banyak pertimbangan. Apakah orang dewasa
yang disamakan dengan anak-anak ini dikarenakan mereka tidak berperilaku sesuai
dengan tuntutan peran dan tanggung jawabnya?
Kita hidup di alam yang sudah sangat materialis dan mengalami banyak gejala
yang mengherankan sebagai akibat kekuasaan yang besar, baik kekuasaan dalam
uang maupun hukum. Kita sering melihat betapa orang merunduk-runduk kepada
orang yang bermobil mewah ataupun mengenakan tas ratusan juta. Bahkan,
pembelokan keputusan pengadilan pun bisa terjadi atas nama kekuasaan. Yang
hitam bisa jati putih, yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa jadi tampak
benar bilamana kekuasaan berbicara.
Bukankah hal-hal ini seperti yang sering membuat kita lupa akan hal-hal
yang lebih hakiki, yaitu membentuk kekuatan kita sebagai pribadi yang matang,
tangguh dan bijak? Apa gunanya kaya kalau tidak memiliki komitmen. Apa gunanya
berkuasa kalau kita menampilkan kelemahan emosi, bahkan berintegritas rendah.
Bukankah pada dasarnya manusia memiliki keinginan spiritual membangun kualitas
diri yang baik, bertanggung jawab, berpikir obyektif dan luwes mengatur emosi?
Menjadi manusia yang matang selain sulit, juga sering tidak membawa “reward” yang
kasatmata secara langsung. Dalam perjalanan menuju manusia matang, banyak orang
menjadi tergoda untuk menghentikan pematangan dirinya. “The soul is
placed in the body like a rough diamond, and must be polished, or the luster of
it will never appear.”
Nobody Perfect