Rabu, 05 Agustus 2020

TIGA TUGAS UTAMA GEREJA


Dalam kehidupan kita, gereja mempunyai tiga tugas penting sebagai usaha melanjutkan karya Kristus dan merangkul kita semua, yakni: tugas sebagai nabi, tugas imani, dan tugas rajawi. Tugas imani merupakan tugas pengudusan, tugas sebagai nabi merupakan tugas pewartaan, dan tugas rajawi merupakan tugas melayani yang diartikan dalam Konsili Vatikan II. Tugas-tugas tersebut disebut juga sebagai Tritugas Gereja. Berikut penjelasannya.
Tugas Mewartakan
Gereja pada dasarnya tidak lain dan tidak bukan adalah jawaban atas panggilan Yesus Kristus sebagai sabda Allah. Dengan adanya Gereja, Yesus Kristus bisa hadir di antara kita semua. Hal inilah yang menyebabkan Gereja disebut sebagai Sabda. Dalam hal ini gereja dipandang sebagai pewarta dari arti yang luas. Selain tugas sebagai pewarta di dunia, Gereja juga memiliki bentuk-bentuk sabda. Ketiga bentuk sabda Allah dalam Gereja, yaitu: (1) sabda para rasul sebagai daya yang membangun Gereja; (2) sabda dalam Kitab Suci sebagai kesaksian normatif; dan (3) sabda Allah dalam pewartaan aktual Gereja sepanjang zaman.
Gereja juga berkarya dalam hal magisterium atau wewenang dalam mengajar. Hal ini muncul dari adanya konflik dari umat yang sering terjadi dengan para umat sendiri dan/ataupun  dengan para pemimpin Gereja, terutama dalam hal wewenang dan pengajaran. Itulah yang menyebabkan munculnya tugas hierarki di mana tugasnya adalah sebagai pemersatu. Wewenang mengajar dalam Gereja Katolik tidak berarti bahwa hanya ada dalam lingkungan hierarki yang menjadi aktif, tetapi juga diharapkan dari pihak yang berlawanan. Pengajaran dalam agama tidaklah sembarangan. 
Untuk mengajar atau mewarta harus memenuhi empat syarat, yaitu:

MENGAJARI ANAK TENTANG SEKSUALITAS


Pendidikan seks mencakup pengajaran pengetahuan-pengetahuan yang berguna dan ketrampilan-ketrampilan yang berkaitan dengan masalah-masalah penting yang berhubungan dengan seksualitas, termasuk hubungan manusia, identitas seksual dan peran gender, anatomi reproduksi dan citra tubuh, pubertas dan proses reproduksi, aspek emosional dari pendewasaan, nilai dari meningkatnya kesadaran remaja yang belum aktif secara seksual, cara-cara pencegahan HIV/PMS (Penyakit Menular Seksual), dan akibat-akibat kesehatan dari tidak memakai kontrasepsi dan cara-cara pencegahan di antara remaja-remaja yang aktif secara seksual. Penelitian menunjukkan bahwa seksualitas remaja paling banyak dipengaruhi oleh orangtua, diikuti oleh teman-teman sekelompok, dan akhirnya, oleh apa yang dipelajari di sekolah.
Pendidikan seks berkembang sebagai tanggapan dari penelitian-penelitian yang menunjukkan angka keterlibatan seksual remaja yang tinggi (75% pada saat di perguruan tinggi) dan rendahnya penggunaan kontrasepsi dan pengetahuan tentang PMS. Lebih jauh lagi, penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa faktor situasional mendukung aktifitas beresiko ini di kalangan remaja - terutama kegagalan untuk merencanakan dari awal untuk aktivitas seksual (dengan asumsi bahwa merencanakan berhubungan seks akan merusak spontanitas dan keromantisan) dan penggunaan alkohol atau obat-obatan sebelum atau dalam berhubungan seks. Juga, kurangnya pemikiran mengenai akibat berhubungan seks sangat umum di kalangan remaja.
Tujuan utama dari pendidikan seks di sekolah adalah perkenalan pada kesehatan seksual. Untuk mencapai tujuan ini, kebanyakan program menyediakan informasi yang akurat tentang seksualitas manusia, kesempatan untuk klarifikasi nilai, ketrampilan untuk mengembangkan hubungan interpersonal, dan bantuan dalam mewujudkan kehidupan seksual yang bertanggung jawab, termasuk penerapan perilaku dan sikap yang sehat yang berhubungan dengan perilaku seksual. Penelitian tentang efektifitas pendidikan seks mempunyai hasil yang beragam. Umumnya, pendidikan seks telah berhasil meningkatkan pengetahuan remaja tentang masalah-masalah seksual, termasuk cara mengembangkan kemampuan interpersonal yang berkaitan dengan perilaku seksual, dan menerapkan nilai-nilai yang tepat, tapi hasilnya belum menggembirakan terutama berkaitan dengan perilaku seksual. Hasil terbaik ditemukan pada program pendidikan yang bekerjasama dengan klinik kesehatan di sekolah. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks efektif bila disampaikan sebelum aktivitas seksual muncul, dan pada saat ia menggabungkan masalah kesadaran dan kontrasepsi. Penelitian menolak anggapan bahwa pendidikan seks mendorong eksperimen seksual atau meningkatkan aktivitas seksual. Program yang menekankan masalah kesadaran juga terbukti tidak efektif dalam mengendalikan awal aktivitas seksual.

LOGIKA SESAT HUKUMAN MATI

Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. Hukuman mati dalam undang-undang hanya dikenakan kepada terpidana kasus narkoba dan kasus kejahatan kemanusiaan, seperti teroris. Pro kontra pada penerapan hukuman mati pun merebak. Mereka yang menentang hukuman mati mendasarkan alasannya pada aspek hak asasi manusia (HAM), sementara mereka yang mendukung diterapkannya hukuman mati didasarkan pada alasan efek jera. Mereka yang mendukung melihat bahwa dengan efek jera yang ditimbulkan oleh hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan, atau malah menghilangkannya.
Akan tetapi, haruskah pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman mati?
Logika Sesat
Seorang mantan hakim yang pernah menjatuhkan hukuman mati mengungkapkan alasan sederhananya mendukuing hukuman mati, yaitu bahwa rakyat mendukung. Ia mengambil contoh, ketika terhadap kejahatan berat dijatuhi hukuman bebas, maka rakyat akan marah; namun ketika dijatuhi hukuman mati maka rakyat diam saja. Diamnya rakyat dinilai sebagai bentuk persetujuan pada putusan tersebut.
Sungguh, ini merupakan suatu kesesatan berpikir. Pertama, contoh yang diambil terlalu hitam putih sehingga tidak memberi peluang pada warna lain. Mantan hakim itu hanya memberi putusan antara bebas dan hukuman mati, tanpa memberi kesempatan pada pilihan lain. Sehingga kalau tidak A, maka Z. Padahal antara A dan Z masih ada banyak pilihan. Antara putusan bebas dan hukuman mati, masih ada banyak hukuman lain, mulai dari ringan, agak ringan, agak berat, berat, sangat berat sampai pada hukuman seumur hidup.
Kedua, sekalipun hukum itu harus menyentuh rasa keadilan rakyat, namun suara hati tetap harus dijunjung tinggi. Diamnya rakyat terhadap putusan hukuman mati belum tentu berarti bahwa putusan itu sudah menjawab rasa keadilan rakyat. Harus bisa dibedakan antara rasa adil dan rasa puas. Kebanyakan orang baru merasa puas jika keinginannya terpenuhi. Orang masih hidup dalam jaman jahiliyah: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Jadi, bila ada keluarga saya mati, maka pelakunya juga harus mati. Di situlah saya baru puas; dan kepuasan inilah yang dikatakan keadilan.