Rabu, 17 September 2014

Orang Kudus 17 September: St. Robertus Bellarminus

SANTO ROBERTUS BELLARMINUS, USKUP & PUJANGGA GEREJA
Robertus Bellarminus lahir di Montepulciano, dekat Siena, Italia, pada tanggal 4 Oktober 1542. Oleh ibunya, adik Sri Paus Marsellus II, Robertus memperoleh pendidikan dasar yang sangat baik. Di kolese Yesuit setempat, Robertus terkenal cerdas dan ramah. Semua guru dan kawannya senang padanya. Ia senang berorganisasi dan menghimpun kawan-kawannya untuk mendiskusikan berbagai persoalan penting. Sastera Latin sangat digemarinya sehingga kadang-kadang ia semalaman sibuk mengarang dan membaca.

Ayahnya menginginkan dia menjadi dokter agar kelak dapat merawat para raja dan pangeran. Semua angan-angan ayahnya seolah sirna seketika pada waktu dia menyatakan keinginannya untuk menjalani hidup membiara dalam Serikat Yesus. Dengan tegas ayahnya menolak cita-citanya itu. Sebaliknya ibunya sangat mendukung bahkan menghendaki agar kelima anaknya menjadi imam dalam Serikat Yesus. Dengan berbagai cara ayahnya menghalangi dia. Robertus tetap tenang menghadapi ayahnya. “Aku rasa, tugas seorang imam pun tak jauh berbeda dengan tugas seorang dokter. Bukankah banyak orang membutuhkan pertolongan seorang imam? Lihat! Betapa banyak orang yang terlantar jiwanya karena kekurangan imam,” demikian kata-kata Robertus kepada ayahnya. Mendengar pernyataan anaknya itu, sang ayah pun menjawab, “Baiklah Robert, kalau itulah yang kau kehendaki. Ayah tidak bisa menghalang-halangi kehendak Tuhan atas dirimu.”

Pada tanggal 19 September 1560 Robertus meninggalkan Montepulciano menuju Roma. Ketika itu ia berumur 18 tahun. Setiba di Roma, ia menghadapi Pater Laynez, Jenderal Serikat Yesus masa itu. Pater Laynez menerima dia dengan senang hati dalam pangkuan Serikat Yesus. Ia diizinkan menjalani masa novisiat bersama rekan-rekannya yang lain. Masa novisiat ini dipersingkat karena kepintaran dan kepribadiannya yang mengesankan. Ia lalu disuruh belajar Filsafat di Collegium Romanum di Roma selama tiga tahun dan belajar Teologi di Universitas Padua selama dua tahun.

Karya imamatnya dimulai dengan mengajar Teologi di Universitas Louvain, Belgia. Di sini ia meningkatkan pengajaran Bahasa Hibrani dan mempersiapkan perbaikan terjemahan Alkitab Vulgata. Dari universitas ini pula ia melancarkan perlawanan gencar terhadap ajaran protestan dengan menerbitkan bukunya yang berjudul Disputationes. Dari Louvain, Pater Robertus dipindahkan ke Collegium Romanum, alma maternya dahulu. Di sana ia diangkat menjadi pembimbing rohani, rektor sekaligus Provinsial Yesuit. Di kalangan istana kepausan, Robertus dikenal sebagai penolong dalam memecahkan berbagai persoalan iman dan soal-soal lain yang menyangkut keselamatan umum. Ia juga biasa diminta nasehat oleh Sri Paus dan dipercayakan menangani perkara-perkara Gereja yang penting.

Menyaksikan semua prestasinya, Sri Paus Klemens VIII (1592 – 1605) mengangkatnya menjadi kardinal pada tahun 1599 dan tak lama kemudian ia ditahbiskan menjadi Uskup Capua. Tugas baru ini dilaksanakannya dengan mengadakan kunjungan ke semua paroki yang ada di dalam keuskupannya. Tugas sebagai mahaguru ditinggalkannya. Masa kerja di Capua tidak terlalu lama, karena dipanggil oleh Paus Paulus V (1605 – 1621) ke Roma untuk menangani beberapa tugas yang penting bagi Gereja. Di sana ia mulai kembali menekuni kegemarannya menulis buku-buku rohani. Tahun-tahun terakhir hidupnya diisinya dengan menulis tafsiran Kitab Mazmur dan “Ketujuh Sabda Terakhir” Yesus sebelum wafat di kayu salib. Dua buku katekismus yang dikarangnya sangat laris dan beredar luas di kalangan umat sebagai bahan pengajaran bagi para katekumen. Buku terakhir yang ditulisnya ialah Ars Moriendi yang melukiskan persiapannya menghadapi kematiannya yang sudah dekat. Buku ini ditulis pada saat-saaat terakhir hidupnya di novisiat St. Andreas di Roma.

Setelah membaktikan seluruh dirinya demi kepentingan Gereja, Robertus Bellarminus menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 17 September 1621 di novisiat St Andreas di Roma. Beliau dikenal luas sebagai seorang ahli teologi yang sangat gigih membela Gereja dan jabatan kepausan dalam kemelut zaman reformasi protestan. Ia hidup sederhana dan suci serta mempunyai pengaruh yang sangat besar. Ia dinyatakan sebagai ‘beato’ oleh Paus Pius XI (1922 – 1939) pada tanggal 13 Mei 1923, dan sebagai ‘santo’ pada tanggal 29 Juni 1930; lalu sebagai ‘Pujangga Gereja’ pada tanggal 17 September 1931.

Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Kanak-kanak

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSEP-DIRI YANG UMUM PADA AKHIR MASA KANAK-KANAK
Kondisi Fisik
Kesehatan yang buruk dan cacat-cacat fisik menghalangi anak untuk bermain dengan teman-teman dan menyebabkan anak merasa rendah diri dan terbelakang.

Bentuk Tubuh
Anak yang terlalu gemuk atau terlalu kecil menurut usianya tidak mampu mengikuti teman-temannya sehingga mengakibatkan perasaan rendah diri.

Nama dan Julukan
Nama yang mengakibatkan cemoohan atau yang menggambarkan status kelompok minoritas dapat mengakibatkan perasaan rendah diri. Julukan yang diambil dari kelucuan fisik atau sifat kepribadian dapat menimbulkan rendah diri dan dendam.

Status Sosial Ekonomi
Kalau anak merasa bahwa ia memiliki rumah yang lebih baik, pakaian yang lebih bagus dan alat-alat bermain yang lebih baik daripada apa yang dimiliki teman-teman sebayanya, ia akan merasa lebih tinggi. Sebaliknya, kalau anak merasa bahwa status sosial ekonominya lebih rendah daripada teman-teman sebayan, ia cenderung merasa rendah diri.

Lingkungan Sekolah
Penyesuaian diri yang baik didukung oleh guru yang kompoten dan yang penuh pengertian. Sedangkan guru yang menerapkan disiplin yang dianggap tidak adil oleh anak atau yang menentang anak akan member pengaruh yang berbeda.

Dukungan Sosial
Dukungan atau kurangnya dukungan dari teman-teman mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk. Yang paling terpengaruh adalah anak yang sangat popular dan anak yang terkucil.

Keberhasilan dan Kegagalan
Berhasil menyelesaikan tugas-tugas memberikan rasa percaya diri dan menerima diri sendiri, sedangkan kegagalan menyebabkan timbulnya perasaan kurang mampu. Semakin hebat kegiatannya, semakin besar pengaruh keberhasilan atau kegagalan terhadap konsep diri. Kegagalan yang berulang-ulang menimbulkan akibat yang merusak pada kepribadian anak.

Seks
Anak perempuan menyadari bahwa peran seks yang harus dijalankan lebih rendah daripada peran anak laki-laki, dan kesadaran ini menyebabkan menurunkan penilaian diri. Anak menerima penilaian masyarakat terhadap perannya sebagai sesuatu yang lebih rendah sehingga anak menilai dirinya kurang.

Inteligensi
Inteligensi yang sangat berbeda dari yang normal akan memberikan pengaruh buruk kepada kepribadian. Anak yang inteligensinya kurang dari rata-rata merasakan kekurangannya dan merasakan adanya sikap yang menolak dari kelompok. Akibatnya anak menjadi malu, tertutup dan acuh tak acuh atau anak menjadi agresif terhadap teman-teman yang menolak dirinya. Anak dengan tingkat keceerdasan yang sangat tinggi juga cenderung mempunyai konsep diri yang buruk. Ini sebagian karena orang tua mengharapkan terlalu banyak dari anak sehingga ia merasa gagal, dan sebagian lagi karena sikap teman-teman yang kurang baik karena ia sering kali menjadi sombong dan kurang sabar terhadap teman-teman yang kurang pandai.

sumber: Elizabeth B. Hurlock, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (edisi 5). Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 173.

Renungan Hari Rabu Biasa XXIV - Thn II

Renungan Hari Rabu Biasa XXIV, Thn A/II
Bac I    1Kor 12: 31 – 13: 13; Injil               Luk 7: 31 – 35;

Dalam Injil hari ini Tuhan Yesus mau memberi gambaran situasi umat manusia pada waktu itu. Satu kata untuk menggambarkan mereka adalah ketidak-pedulian. Umat manusia pada masa itu hanya sibuk dengan urusannya sendiri tanpa peduli dengan orang lain. Tuhan Yesus memberi perbandingan dengan anak kecil yang meniup seruling tapi tak ada yang menari, menyanyikan lagu duka tapi tak ada ratap tangis. Seruling adalah ungkapan rasa gembira yang diperlihatkan dengan menari; demikian pula lagu duka sebagai ungkapan rasa sedih yang ditampilkan dengan menangis. Akan tetapi, yang terjadi adalah tidak ada reaksi apa-apa. Orang sudah mati rasa.

Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, yang menjadi bacaan pertama hari ini, mengajak umat untuk membangkitkan rasa. Lewat kidung kasihnya, Paulus meminta umat untuk peka akan situasi yang terjadi di sekitarnya: bersukacita akan kebenaran dan berdukacita akan ketidak-adilan. Roh dari kepekaan rasa ini adalah kasih. Sekalipun orang menunjukkan kepeduliaannya kepada sesama yang menderita, namun jika tanpa kasih, tindakan itu tak ada artinya. Karena bisa saja tindakan itu demi popularitas diri.

Kemarin telah dikatakan bahwa korupsi sudah mewabah dewasa ini. Korupsi menjadi budaya, bukan saja di lembaga sekuler, tetapi juga di Gereja. Pelaku korupsi bukan lagi dominan pejabat pemerintahan, tapi juga pejabat Gereja seperti uskup dan imam. Korupsi merupakan salah satu bentuk ketidak-pedulian. Koruptor adalah orang yang menari di atas penderitaan orang lain. Dan sekalipun kritik atas koruptor ini terus didentangkan, tetap saja korupsi merajalela. Orang sudah kehilangan rasa. Bahkan ada koruptor menunjukkan seakan peduli pada sesamanya; terlihat memberi bantuan dan sumbangan. Namun tindakannya itu tanpa roh kasih. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk membangun rasa kepekaan dan kepeduliaan. Tuhan menghendaki kita peka pada situasi sesama. Rasa kepekaan ini mengajak kita untuk berani menanggalkan egoisme kita.

by: adrian