Rabu, 18 Juni 2014

Bahaya Gadget bagi Anak

GADGET SIAP MENGANCAM ANAK KITA
Anak-anak zaman sekarang merupakan generasi “jempol”. Bukan lantaran mereka itu hebat makanya dikatakan jempol, melainkan karena aktivitas mereka yang tak jauh dari jari jempol. Kapan saja dan di mana saja pasti kita temukan anak-anak tekun dengan jempolnya, menekan tuts-tuts yang ada di gadgetnya.

Karena terlahir di zaman jempol, maka tak heran bila para orang tua pun membiasakan anaknya dengan gadget. Anak seakan tak bisa dipisahkan dari gadget. Tapi, apakah orang tua sadar akan bahaya dari gadget itu bagi anak diusia belia?

Berikut ini kami sajikan beberapa tulisan dengan tema “Anak dan Gadget”. Semoga tulisan-tulisan ini memberi wawasan para orang tua demi keselamatan anak-anaknya.


Gadget, "Bom Waktu" Kesehatan Anak
Waspadalah, anak-anak menghadapi "bom waktu" kesehatan yang bisa meledak kapan saja. Peringatan ini dikeluarkan peneliti terkait masifnya penggunaan gadget di kalangan anak akhir-akhir ini. Penggunaan gadget dilaporkan menimbulkan sakit leher dan punggung anak.

Di Inggris, sedikitnya tiga dari empat anak usia sekolah dasar dan dua dari tiga anak usia sekolah menengah dilaporkan menderita sakit di leher dan punggung setiap tahunnya. Hasil ini tentu mengundang tanya, apakah penggunaan smartphone, tablet, dan game console mengganggu kesehatan anak?

Riset ini diprakarsai Abertawe Bro Morgannwg University (ABMU) Health Board, setelah jumlah anak yang dirawat akibat sakit leher dan tulang punggung meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu enam bulan. Dalam risetnya, peneliti menemukan, 64 persen dari 204 responden anak berusia 7-18 tahun, menderita sakit punggung. Namun, hampir 90 persen tidak mengatakan kepada siapa pun terkait sakit yang diderita. Sementara itu, 72 persen anak usia sekolah dasar mengakui mengalami sakit punggung.

Menurut fisioterapis, Lorna Taylor, keadaan ini merupakan dampak negatif peningkatan penggunaan teknologi dan perubahan gaya hidup. “Gadget, bagaimanapun telah merugikan perkembangan kesehatan otot dan tulang anak. Bila tidak diubah sedini mungkin, baik di rumah atau sekolah, akan sangat sulit mengatasi dampak ini bagi anak yang masih memiliki masa depan yang panjang,” ujarnya.

Menurut Taylor, tidak baik bila anak terus menderita sakit dan perkembangannya terbatas akibat gangguan yang sebetulnya bisa dicegah. Akan lebih baik bila anak bisa hidup nyaman, memiliki kebiasaan baik, mampu berkonsentrasi, mengembangkan potensi, serta bebas belajar dan bermain tanpa batasan sakit.

Riset yang dilakukan ABMU, bukan satu-satunya yang membuktikan buruknya gaya hidup tidak aktif atau sedentary bagi anak. Riset yang dilakukan British Chiropractic Association membuktikan, 45 persen anak menderita sakit tulang punggung saat berusia 11 tahun. “Memang ada banyak kelebihan dari perkembangan dunia dan teknologi. Namun dampak buruknya, kita jadi terpisah dengan keperluan menggunakan dan melatih tubuh setiap hari. Kita bahkan tidak perlu bergerak untuk membuktikan keberadaan,” kata kepala riset lembaga nirlaba BackCare, Adam al-Kash, pada Daily Telegraph.

Publikasi hasil riset ABMU bersamaan dengan peluncuran e-learning yang disebut Healthy Working MOVE. Sistem ini mengajari anak memperbaiki postur tubuh, dan menggunakan teknologi dengan benar dan aman.

Kenapa Balita Tak Boleh Akrab dgn "Gadget"?
Fakta menunjukkan, penggunaan gadget secara berlebihan di usia dini berpotensi menimbulkan efek buruk. Belum lama ini, seorang anak perempuan di Inggris, berusia 4 tahun, harus menerima perawatan dari psikiater karena mengalamai kecanduan Ipad. Bocah yang tidak disebutkan namanya ini pun tercatat menjadi pencandu Ipad termuda di Inggris.

Dari sudut pandang ilmu kesehatan jiwa, penggunaan gadget di usia yang terlalu dini tidak disarankan. Balita bahkan "dilarang" memiliki keterikatan dengan peralatan elektronik atau sejenisnya karena dikhawatirkan dapat memberi efek mengganggu proses tumbuh kembangnya secara alami. "Harusnya, pada usia balita, anak terikat dengan orang tua atau lingkungan sekeliling sehingga bisa belajar. Keterikatan pada gadget akan membatasi kesempatan anak untuk belajar dan berkembang," kata dr Tjhin Wiguna, SpKJ(K), dari Divisi Psikiater Anak dan Remaja Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (FKUI/RSCM) Jakarta.

Terbatasnya kesempatan untuk belajar, kata Tjhin, disebabkan gadget hanya berkomunikasi satu arah, yakni merespons kemauan pengguna dalam hal ini balita. Akibatnya, anak tidak dapat belajar secara alami bagaimana berkomunikasi dan sosialisasi. Anak juga tidak mampu mengenali dan berbagi aneka emosi, misal simpati, sedih, atau senang. Alhasil, menurut Tjhin, anak kurang mampu merespons apa yang terjadi di sekelilingnya, baik secara emosi maupun verbal. Terbatasnya respons anak akan mengganggu perkembangan kemampuannya untuk bergaul dan beradaptasi.

Kerugian lain dari keterikatan dengan gadget adalah gangguan pada kemampuan motorik kasar dan halus. Hal ini disebabkan anak hanya melakukan sedikit gerakan untuk menggunakan gadget. "Paling hanya duduk atau menggerakkan jari. Padahal, kalau bermain di alam bebas, semua anggota badan bergerak, termasuk koordinasi mata tangan untuk kematangan motorik halus," kata Tjhin. Karena itulah, Tjhin menyarankan sedapat mungkin menghindari keterikatan balita dengan gadget. Namun, bila keterikatan sudah terjadi, orang tua diharapkan segera membawa ke psikiater atau psikolog terdekat.

Menurut Tjhin, pertolongan yang diberikan sedini mungkin membantu mempercepat pemulihan pasien. Penderita gangguan keterikatan gadget pada usia balita lebih mudah ditolong daripada penderita usia dewasa. Hal ini disebabkan cara pandang balita lebih mudah diubah daripada dewasa. "Sehingga balita lebih mudah menerima terapi dibandingkan dewasa," kata Tjhin. Bentuk terapi yang diterima tiap pasien bisa jadi berbeda. Tjhin menerangkan biasanya pasien akan menerima terapi modifikasi perilaku. Namun, sebelumnya harus diketahui bagaimana pola asuh dan kebiasaan anak.

Selama terapi, perhatian anak akan dialihkan pada hal selain gadget. "Kita akan memperkenalkannya pada hal baru, atau sesuatu yang menarik perhatian di luar gadget. Karena itu harus diketahui bagaimana latar belakangnya," kata Tjhin.

Keterikatan bukan ketergantungan
Tjhin menerangkan, kasus anak sering bermain gadget lebih tepat disebut sebagai keterikatan dibanding ketergantungan. "Tumbuh kembang anak dan dewasa berbeda. Untuk anak, lebih tepat disebut terikat karena tidak memenuhi kriteria diagnostik," kata Tjhin. Kriteria diagnostik ini mencakup lamanya waktu bermain gadget. Balita biasanya tidak memainkan gadget lebih dari 5 jam. Hal ini berbeda pada orang dewasa yang bisa menghabiskan 24 jam dengan gadget-nya.

Walau demikian, keterikatan ini memunculkan efek psikologi yang merugikan. Tjhin mengatakan, anak akan merasa tidak nyaman tanpa gadget dan bisa "uring-uringan" sepanjang hari. Waktu yang dihabiskan juga semakin banyak demi menemukan rasa puas dan nyaman."Perlahan meningkat dari 1 jam, menjadi 4 jam, kemudian 5 jam. Hal ini disebut efek toleransi," kata Tjhin.

Timbulnya keterikatan, menurut Tjhin, disebabkan pembiasaan yang terus dilakukan orang tua terhadap anak, terkait penggunaan gadget. Dalam hal ini, orang tua mungkin sering menggunakan gadget dalam kesehariannya, misal mengalihkan perhatian anak ketika menangis. "Anak itu sebetulnya mudah dikondisikan. Bila yang sering dihadapi gadget, tentu dia lebih terbiasa menghadapi perangkat teknologi tersebut," kata Tjhin.

Tjhin memperingatkan orang tua untuk sedapat mungkin mencegah keterikatan anak dengan gadget. Orang tua perlu berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalkan penggunaan gadget dan mengajak anak bermain. Berbagai stimulasi yang diberikan saat bermain akan berguna untuk tumbuh kembangnya.


Jika Balita Akrab dengan iPad
Komputer tablet seperti iPad kini telah menjadi salah satu "mainan" yang digemari anak. Meski cukup banyak aplikasi permainan edukatif di dalamnya, namun bagaimana sebenarnya pengaruh iPad dan gadget serupa lainnya terhadap tumbuh kembang anak? Komputer tablet belum banyak dipakai tiga tahun lalu, sehingga belum ada data yang kuat mengenai efek gadget tersebut terhadap perkembangan anak.

Tim peneliti dari Barnard College, Center for Toddler Development, melakukan penelitian terhadap beberapa balita. Mereka ditempatkan dalam ruangan yang memiliki kaca sehingga perilaku mereka bisa dimonitor. Yang menjadi fokus penelitian adalah reaksi balita tersebut terhadap mainan tradisional dan iPad, serta apa reaksi mereka ketika iPad diambil. Tim peneliti menguji kemampuan distraksi anak dengan memanggil nama mereka satu persatu saat anak-anak itu sedang asyik bermain iPad. Ternyata kebanyakan anak terlalu asyik dengan "mainannya" sampai tidak merespon pada panggilan tim peneliti.

Salah satu balita yang memberi respon saat namanya dipanggil adalah anak yang bisa ngobrol dan bercerita dengan tim peneliti. Para peneliti mencatat, ketika iPad diambil, para balita tersebut berubah menjadi lebih verbal, mau bersosialisasi dengan temannya, dan lebih kreatif. Tovah Klein, pakar bidang perkembangan anak, mengatakan bahwa anak-anak menjadi lebih aktif ketika mereka sedang tidak bermain iPad. "Kosa kata mereka bertambah dan mereka mau berbicara satu sama lain," katanya.

Seperti halnya otot, imajinasi anak juga perlu dilatih sehingga kreativitas mereka berkembang. Anak-anak perlu didorong untuk lebih banyak bermain di dunia nyata. Klein menambahkan, jika orang tua terbiasa menggunakan iPad, smartphone, atau gadget lainnya untuk menenangkan anak, maka anak menjadi tidak bisa belajar bagaimana menenangkan diri sendiri secara alamiah. Dengan kata lain, anak jadi tak bisa belajar mengendalikan dirinya dari tantrum.

Penelitian sendiri menunjukkan menonton, baik TV atau komputer tablet, tidak banyak berpengaruh pada penglihatan anak. Tetapi pengaruh terbesarnya lebih pada perilaku. Karena itu para ahli dari American Academy of Pediatrics menyarankan agar orang tua membatasi waktu menonton "pasif" bagi anaknya. Tetapi komputer tablet tidak pasif, hampir seluruh aplikasinya bersifat interaktif. Malah sebuah riset Millennium Cohort Study, studi jangka panjang di Inggris yang mengikuti 19.000 anak yang lahir di tahun 2000 dan 2001, menunjukkan balita belajar banyak dari media interaktif.

Sesame Workshop, organisasi nonprofit yang menciptakan serial tv "Sesame Street", juga menciptakan aplikasi edukatif yang didesain secara interaktif. Aplikasi tersebut bukan hanya mengajarkan huruf dan angka, tapi juga interaksi sosial dengan karakter dalam Sesame Street. "Kami mencoba membuat konten yang mendorong orang tua berinteraksi lebih banyak dengan buah hatinya sehingga proses belajar menjadi lebih luas," kata Rosemari Tuglio, dari Sesame Workshop.

Kendati masih ada pro-kontra mengenai penggunaan komputer tablet di usia balita, namun sebagai orang tua Anda bisa memberikan batasan sehingga seluruh perhatian anak tidak tersedot oleh gadget. Berperan aktiflah saat anak asyik dengan gadget-nya. Jangan biarkan anak "diasuh" oleh peralatan elektronik.

Pentingnya Bermain Bebas bagi Anak
Dunia anak adalah dunia bermain. Tetapi masih banyak orang tua yang menilai bermain sebagai pemborosan waktu. Akibatnya permainan anak selalu disisipkan kegiatan "belajar" sehingga jauh dari menyenangkan. Para pakar bermain sudah menegaskan pentingnya bermain secara bebas bagi anak. Kegiatan itu antara lain penting untuk membangun kemampuan mengambil keputusan berimajinasi, meningkatkan kebugaran, mengembangkan otak, serta melatih koordinasi dan bekerja sama.

Dalam sebuah survei yang dilakukan di Amerika Serikat diketahui waktu bebas anak telah berkurang lebih dari 7 jam setiap minggu di tahun 1981 dan 1997, menjadi hanya 2 jam per minggu di tahun 1997 sampai 2003. Penelitian di Inggris yang dimuat dalam situs playday.org.uk juga menunjukkan dalam 20 tahun terakhir terjadi penurunan waktu bermain sampai 25 persen. Sementara itu kegiatan bermain di luar ruang juga turun sampai 50 persen. Penurunan aktivitas luar ruang itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain karena keterbatasan ruang bermain, ketergantungan pada orang dewasa yang membawa mereka bermain ke taman, atau karena minat anak-anak saat ini beralih ke gadget atau video games.

Pada anak yang lebih besar, waktu bebas mereka kebanyakan dihabiskan untuk mengerjakan tugas sekolah. Sementara pada anak perempuan yang lebih besar mereka juga memiliki tugas membersihkan rumah atau mengasuh adiknya. Pada tahun 2006 diketahui 87 persen anak di negara maju memiliki komputer di rumah, 62 persen memiliki televisi digital, dan 82 persen memiliki konsol permainan elektronik.

Bermain adalah bagian dari budaya yang berkembang seiring peradaban manusia. Itu sebabnya, sewaktu masyarakat menjadi modern, begitu pula dengan permainan yang ikut menjadi canggih. Sebagian ahli berpendapat teknologi modern akan meningkatkan kemampuan anak sehingga mereka lebih melek teknologi. Tetapi pihak yang kontra menilai penggunaan teknologi pada anak membuat mereka kurang aktif. Mereka juga menjadi kurang kreatif dan berimajinasi.

Gaya hidup kurang bergerak pada anak-anak juga meningkatkan risiko kegemukan. Pada anak-anak, risiko obesitas lebih berbahaya karena mereka masih dalam usia pertumbuhan. Gerakan untuk kembali kepada permainan tradisional, seperti galasin, petak umpet, loncat tali, atau permainan olahraga, kini makin gencar dilakukan di berbagai kota besar. Permainan fisik dianggap lebih mampu merangsang perkembangan otot-otot sehingga pertumbuhan lebih optimal. Gerak motorik kasar yang dilakukan di usia pertumbuhan ini sangat banyak manfaatnya, antara lain membuat tubuh lebih lentur, otot dan tulang semakin kuat, serta menjaga kebugaran.

Pilih Mainan Sesuai Usia Agar Anak Cerdas
Mainan menjadi salah satu bentuk stimulasi bagi anak. Memberi mainan yang tepat membantu memaksimalkan rangsangan bagi  kecerdasan anak. Sayangnya, tidak banyak orang tua yang menyadari bagaimana memilih mainan yang tepat bagi buah hatinya. Menurut dokter spesialis anak dr.Atilla Dewanti Sp.A(K), pemilihan mainan bergantung pada kemampuan dan kebutuhan anak.  Pada seminar Early Stimulation in Infant to Develop Multiple Inteligences di Jakarta, Atilla menganjurkan para orang tua untuk memilihkan mainan berdasarkan usia anak.

Pada usia 0-3 bulan, orang tua disarankan memilih mainan yang berwarna, cerah, datar, dan merangsang aktivitas motorik. Hal ini dikarenakan mata anak 0-3 bulan belum bisa melihat jelas. Pilihan warna yang cerah akan merangsang penglihatan dan membantunya melihat mainan dengan lebih jelas.

Beranjak usia 6 bulan, mainan yang bisa digigit (teethers) dapat menjadi pilihan. Mainan ini untuk merangsang pertumbuhan giginya. Orang tua juga bisa memilih mainan dengan tombol yang bisa ditekan atau bertekstur untuk merangsang kemampuan motoriknya. Pada usia ini, anak mulai suka mandi, orang tua bisa memberikannya mainan yang bisa mengapung untuk menemani aktivitas tersebut. "Kalau anaknya masih kecil, misalnya 6 bulan, jangan taruh mainan di atas tempat tidurnya. anak akan pusing apalagi bila mainannya bergerak," kata Atilla.

Memasuki usia 6-9 bulan anak bisa diberi mainan yang bisa bergulir, untuk merangsang kemampuan motoriknya. Pada usia 9-12 mainan yang merangsang interaksi, misal boneka tangan menjadi pilihan.  Melalui mainan, anak diajak berkomunikasi yang akan merangsang kemampuannya berbahasa dan mengekspresikan diri.

Pada usia 1 tahun orang tua mulai bisa memilihkan mainan outdoor, seperti kuda tunggang atau kolam renang mini. Mainan yang merangsang koordinasi mata tangan seperti organ kecil atau menara susun menjadi alternatif.

Buku dan puzzle mulai bisa dikenalkan pada usia 2 tahun. Puzzle ini tidak boleh lebih dari 10-15 keping. mainan yang merangsang imajinasi dan koordinasi mata tangan, misal boneka peri, traktor mini,  atau bowling monster bisa diberikan. Ketika anak memasuki usia 3 tahun, pinsil warna bisa menjadi pilihan. corat-coret menjadi kegiatan wajib yang merangsang kemampuan motorik halusnya. "Mainan harus sesuai dengan usia anak. Namun yang lebih penting pastikan orang tua selalu ada di dekat anak menemaninya bermain," kata Atilla.
edited by: adrian

Renungan Hari Rabu Biasa XI - Thn II

Renungan Hari Rabu Biasa XI, Thn A/II
Bac I    2Raj 2: 1, 6 – 14; Injil           Mat 6: 1 – 6, 16 – 18;

Hari ini Injil menampilkan pengajaran Tuhan Yesus tentang hidup keagamaan. Ada tiga bentuk keagamaan yang disorot, yaitu berderma (ay. 2 – 4), berdoa (ay. 5 – 6) dan berpuasa (ay. 16 – 18). Terhadap ketiga kegiatan keagamaan ini Tuhan Yesus meminta para pendengar-Nya untuk tidak pamer kepada orang lain. Aktivitas pamer memiliki maksud tersembunyi, yaitu kerinduan akan dipuji. Jadi, orang yang melakukan kegiatan keagamaan supaya dilihat orang memiliki tujuan untuk mendapat pujian. Sikap inilah yang dicela Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menghendaki agar pendengar-Nya melakukan hidup keagamaannya secara tersembunyi, hanya Allah saja yang tahu. Dengan kata lain, jika ingin pamer akan kegiatan keagamaan, pamerlah hanya kepada Allah. Inti dari pengajaran Yesus ini adalah membangun sikap rendah hati dalam hidup keagamaan.

Bacaan pertama menampilkan kisah perpisahan Nabi Elia dan Elisa. Dalam kisah tersebut terlihat aksi spektakuler dari Nabi Elia, yaitu membela sungai Yordan dengan jubahnya sehinga mereka berdua dapat berjalan di tanah yang kering (ay. 8), juga peristiwa naiknya Elia ke sorga dengan kereta berapi dengan kuda berapi dalam angin badai (ay. 11). Ada kesan kalau Elia pamer kekuasan rohani atau kesalehannya. Namun jika diperhatikan baik-baik, dalam tindakan spektakler itu, Elia sama sekali tidak membutuhkan pujian dari siapapun.

Manusia adalah makhluk sosial. Apa yang melekat dengannya memiliki dimensi sosial. Salah satunya adalah hidup keagamaan. Sebagai umat beragama, aktivitas keagamaan kita hendaklah nyata dalam kehidupan. Artinya, hidup keagamaan kita mau tidak mau akan dilihat oleh orang lain. Kegiatan keagamaan itu justru menjadi identitas kita. Akan tetapi hendaklah hidup keagamaan itu bukan bertujuan untuk mencari pujian diri, melainkan demi kemuliaan Allah. Inilah yang dikehendaki Tuhan melalui sabda-Nya hari ini. Tuhan menghendaki supaya kita tetap membangun sikap rendah hati dalam rohani dan kesalehan. Orang yang memiliki sikap rendah hati sangat jauh dari niat untuk mencari popularitas di balik hidup keagamaannya.

by: adrian