GADGET SIAP MENGANCAM
ANAK KITA
Anak-anak zaman sekarang merupakan generasi “jempol”. Bukan lantaran
mereka itu hebat makanya dikatakan jempol, melainkan karena aktivitas mereka
yang tak jauh dari jari jempol. Kapan saja dan di mana saja pasti kita temukan
anak-anak tekun dengan jempolnya, menekan tuts-tuts yang ada di gadgetnya.
Karena terlahir di zaman jempol, maka tak heran bila para orang tua pun
membiasakan anaknya dengan gadget. Anak seakan tak bisa dipisahkan dari gadget.
Tapi, apakah orang tua sadar akan bahaya dari gadget itu bagi anak diusia
belia?
Berikut ini kami sajikan beberapa tulisan dengan tema “Anak dan Gadget”.
Semoga tulisan-tulisan ini memberi wawasan para orang tua demi keselamatan
anak-anaknya.
Gadget, "Bom Waktu" Kesehatan Anak
Waspadalah,
anak-anak menghadapi "bom waktu" kesehatan yang bisa meledak kapan
saja. Peringatan ini dikeluarkan peneliti terkait masifnya penggunaan gadget di
kalangan anak akhir-akhir ini. Penggunaan gadget dilaporkan menimbulkan sakit
leher dan punggung anak.
Di Inggris, sedikitnya tiga dari empat anak usia
sekolah dasar dan dua dari tiga anak usia sekolah menengah dilaporkan menderita
sakit di leher dan punggung setiap tahunnya. Hasil ini tentu mengundang tanya,
apakah penggunaan smartphone, tablet, dan game console mengganggu
kesehatan anak?
Riset ini diprakarsai Abertawe Bro Morgannwg
University (ABMU) Health Board, setelah jumlah anak yang dirawat akibat sakit
leher dan tulang punggung meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu enam
bulan. Dalam risetnya, peneliti menemukan, 64 persen dari 204
responden anak berusia 7-18 tahun, menderita sakit punggung. Namun, hampir 90
persen tidak mengatakan kepada siapa pun terkait sakit yang diderita. Sementara
itu, 72 persen anak usia sekolah dasar mengakui mengalami sakit punggung.
Menurut fisioterapis, Lorna Taylor, keadaan ini
merupakan dampak negatif peningkatan penggunaan teknologi dan perubahan gaya
hidup. “Gadget, bagaimanapun telah merugikan perkembangan
kesehatan otot dan tulang anak. Bila tidak diubah sedini mungkin, baik di rumah
atau sekolah, akan sangat sulit mengatasi dampak ini bagi anak yang masih
memiliki masa depan yang panjang,” ujarnya.
Menurut Taylor, tidak baik bila anak terus menderita
sakit dan perkembangannya terbatas akibat gangguan yang sebetulnya bisa
dicegah. Akan lebih baik bila anak bisa hidup nyaman, memiliki kebiasaan baik,
mampu berkonsentrasi, mengembangkan potensi, serta bebas belajar dan bermain
tanpa batasan sakit.
Riset yang dilakukan ABMU, bukan satu-satunya yang
membuktikan buruknya gaya hidup tidak aktif atau sedentary bagi anak.
Riset yang dilakukan British Chiropractic Association membuktikan, 45 persen
anak menderita sakit tulang punggung saat berusia 11 tahun. “Memang ada banyak kelebihan dari perkembangan dunia
dan teknologi. Namun dampak buruknya, kita jadi terpisah dengan keperluan
menggunakan dan melatih tubuh setiap hari. Kita bahkan tidak perlu bergerak
untuk membuktikan keberadaan,” kata kepala riset lembaga nirlaba BackCare, Adam
al-Kash, pada Daily Telegraph.
Publikasi hasil riset ABMU bersamaan dengan peluncuran
e-learning yang disebut Healthy Working MOVE. Sistem ini mengajari anak
memperbaiki postur tubuh, dan menggunakan teknologi dengan benar dan aman.
Kenapa
Balita Tak Boleh Akrab dgn "Gadget"?
Fakta
menunjukkan, penggunaan gadget secara berlebihan di usia dini
berpotensi menimbulkan efek buruk. Belum lama ini, seorang anak perempuan di
Inggris, berusia 4 tahun, harus menerima perawatan dari psikiater karena mengalamai kecanduan Ipad. Bocah yang tidak disebutkan namanya ini pun tercatat
menjadi pencandu Ipad termuda di Inggris.
Dari sudut pandang ilmu
kesehatan jiwa, penggunaan gadget di usia yang terlalu dini tidak
disarankan. Balita bahkan "dilarang" memiliki keterikatan dengan
peralatan elektronik atau sejenisnya karena dikhawatirkan dapat memberi efek
mengganggu proses tumbuh kembangnya secara alami. "Harusnya, pada
usia balita, anak terikat dengan orang tua atau lingkungan sekeliling sehingga
bisa belajar. Keterikatan pada gadget akan membatasi kesempatan anak
untuk belajar dan berkembang," kata dr Tjhin Wiguna, SpKJ(K), dari Divisi
Psikiater Anak dan Remaja Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (FKUI/RSCM) Jakarta.
Terbatasnya kesempatan
untuk belajar, kata Tjhin, disebabkan gadget hanya berkomunikasi satu
arah, yakni merespons kemauan pengguna dalam hal ini balita. Akibatnya, anak tidak
dapat belajar secara alami bagaimana berkomunikasi dan sosialisasi. Anak juga
tidak mampu mengenali dan berbagi aneka emosi, misal simpati, sedih, atau
senang. Alhasil, menurut Tjhin, anak kurang mampu merespons apa yang terjadi di
sekelilingnya, baik secara emosi maupun verbal. Terbatasnya respons anak akan
mengganggu perkembangan kemampuannya untuk bergaul dan beradaptasi.
Kerugian lain dari
keterikatan dengan gadget adalah gangguan pada kemampuan motorik kasar
dan halus. Hal ini disebabkan anak hanya melakukan sedikit gerakan untuk menggunakan
gadget. "Paling hanya duduk atau menggerakkan jari. Padahal,
kalau bermain di alam bebas, semua anggota badan bergerak, termasuk koordinasi
mata tangan untuk kematangan motorik halus," kata Tjhin. Karena itulah, Tjhin
menyarankan sedapat mungkin menghindari keterikatan balita dengan gadget.
Namun, bila keterikatan sudah terjadi, orang tua diharapkan segera membawa ke
psikiater atau psikolog terdekat.
Menurut Tjhin,
pertolongan yang diberikan sedini mungkin membantu mempercepat pemulihan
pasien. Penderita gangguan keterikatan gadget pada usia balita lebih
mudah ditolong daripada penderita usia dewasa. Hal ini disebabkan cara pandang
balita lebih mudah diubah daripada dewasa. "Sehingga balita lebih mudah
menerima terapi dibandingkan dewasa," kata Tjhin. Bentuk terapi yang
diterima tiap pasien bisa jadi berbeda. Tjhin menerangkan biasanya pasien akan
menerima terapi modifikasi perilaku. Namun, sebelumnya harus diketahui
bagaimana pola asuh dan kebiasaan anak.
Selama terapi,
perhatian anak akan dialihkan pada hal selain gadget. "Kita akan
memperkenalkannya pada hal baru, atau sesuatu yang menarik perhatian di luar gadget.
Karena itu harus diketahui bagaimana latar belakangnya," kata Tjhin.
Keterikatan bukan ketergantungan
Tjhin menerangkan,
kasus anak sering bermain gadget lebih tepat disebut sebagai
keterikatan dibanding ketergantungan. "Tumbuh kembang anak dan dewasa
berbeda. Untuk anak, lebih tepat disebut terikat karena tidak memenuhi kriteria
diagnostik," kata Tjhin. Kriteria diagnostik ini
mencakup lamanya waktu bermain gadget. Balita biasanya tidak memainkan
gadget lebih dari 5 jam. Hal ini berbeda pada orang dewasa yang bisa
menghabiskan 24 jam dengan gadget-nya.
Walau demikian,
keterikatan ini memunculkan efek psikologi yang merugikan. Tjhin mengatakan,
anak akan merasa tidak nyaman tanpa gadget dan bisa
"uring-uringan" sepanjang hari. Waktu yang dihabiskan juga semakin
banyak demi menemukan rasa puas dan nyaman."Perlahan
meningkat dari 1 jam, menjadi 4 jam, kemudian 5 jam. Hal ini disebut efek
toleransi," kata Tjhin.
Timbulnya keterikatan,
menurut Tjhin, disebabkan pembiasaan yang terus dilakukan orang tua terhadap
anak, terkait penggunaan gadget. Dalam hal ini, orang tua mungkin
sering menggunakan gadget dalam kesehariannya, misal mengalihkan
perhatian anak ketika menangis. "Anak itu
sebetulnya mudah dikondisikan. Bila yang sering dihadapi gadget, tentu
dia lebih terbiasa menghadapi perangkat teknologi tersebut," kata Tjhin.
Tjhin memperingatkan
orang tua untuk sedapat mungkin mencegah keterikatan anak dengan gadget.
Orang tua perlu berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalkan penggunaan
gadget dan mengajak anak bermain. Berbagai stimulasi yang diberikan saat
bermain akan berguna untuk tumbuh kembangnya.
sumber: http://health.kompas.com/read/2013/05/01/14171091/Kenapa.Balita.Tak.Boleh.Akrab.dengan.Gadget.
Jika Balita Akrab dengan iPad
Komputer tablet
seperti iPad kini telah menjadi salah satu "mainan" yang digemari
anak. Meski cukup banyak aplikasi permainan edukatif di dalamnya, namun
bagaimana sebenarnya pengaruh iPad dan gadget serupa lainnya terhadap tumbuh
kembang anak? Komputer tablet belum
banyak dipakai tiga tahun lalu, sehingga belum ada data yang kuat mengenai efek
gadget tersebut terhadap perkembangan anak.
Tim peneliti dari
Barnard College, Center for Toddler Development, melakukan penelitian terhadap
beberapa balita. Mereka ditempatkan dalam ruangan yang memiliki kaca sehingga
perilaku mereka bisa dimonitor. Yang menjadi fokus penelitian adalah reaksi
balita tersebut terhadap mainan tradisional dan iPad, serta apa reaksi mereka
ketika iPad diambil. Tim peneliti menguji
kemampuan distraksi anak dengan memanggil nama mereka satu persatu saat
anak-anak itu sedang asyik bermain iPad. Ternyata kebanyakan anak terlalu asyik
dengan "mainannya" sampai tidak merespon pada panggilan tim peneliti.
Salah satu balita yang
memberi respon saat namanya dipanggil adalah anak yang bisa ngobrol dan
bercerita dengan tim peneliti. Para peneliti mencatat,
ketika iPad diambil, para balita tersebut berubah menjadi lebih verbal, mau
bersosialisasi dengan temannya, dan lebih kreatif. Tovah Klein, pakar
bidang perkembangan anak, mengatakan bahwa anak-anak menjadi lebih aktif ketika
mereka sedang tidak bermain iPad. "Kosa kata mereka bertambah dan mereka
mau berbicara satu sama lain," katanya.
Seperti halnya otot,
imajinasi anak juga perlu dilatih sehingga kreativitas mereka berkembang.
Anak-anak perlu didorong untuk lebih banyak bermain di dunia nyata. Klein menambahkan, jika
orang tua terbiasa menggunakan iPad, smartphone, atau gadget lainnya untuk
menenangkan anak, maka anak menjadi tidak bisa belajar bagaimana menenangkan
diri sendiri secara alamiah. Dengan kata lain, anak jadi tak bisa belajar
mengendalikan dirinya dari tantrum.
Penelitian sendiri
menunjukkan menonton, baik TV atau komputer tablet, tidak banyak berpengaruh
pada penglihatan anak. Tetapi pengaruh terbesarnya lebih pada perilaku. Karena
itu para ahli dari American Academy of Pediatrics menyarankan agar orang tua
membatasi waktu menonton "pasif" bagi anaknya. Tetapi komputer tablet
tidak pasif, hampir seluruh aplikasinya bersifat interaktif. Malah sebuah riset
Millennium Cohort Study, studi jangka panjang di Inggris yang mengikuti 19.000
anak yang lahir di tahun 2000 dan 2001, menunjukkan balita belajar banyak dari
media interaktif.
Sesame Workshop,
organisasi nonprofit yang menciptakan serial tv "Sesame Street", juga
menciptakan aplikasi edukatif yang didesain secara interaktif. Aplikasi
tersebut bukan hanya mengajarkan huruf dan angka, tapi juga interaksi sosial
dengan karakter dalam Sesame Street. "Kami mencoba
membuat konten yang mendorong orang tua berinteraksi lebih banyak dengan buah
hatinya sehingga proses belajar menjadi lebih luas," kata Rosemari Tuglio,
dari Sesame Workshop.
Kendati masih ada
pro-kontra mengenai penggunaan komputer tablet di usia balita, namun sebagai
orang tua Anda bisa memberikan batasan sehingga seluruh perhatian anak tidak
tersedot oleh gadget. Berperan aktiflah saat anak asyik dengan gadget-nya.
Jangan biarkan anak "diasuh" oleh peralatan elektronik.
Pentingnya Bermain Bebas bagi Anak
Dunia anak
adalah dunia bermain. Tetapi masih banyak orang tua yang menilai bermain
sebagai pemborosan waktu. Akibatnya permainan anak selalu disisipkan kegiatan
"belajar" sehingga jauh dari menyenangkan. Para pakar bermain
sudah menegaskan pentingnya bermain secara bebas bagi anak. Kegiatan itu antara
lain penting untuk membangun kemampuan mengambil keputusan berimajinasi,
meningkatkan kebugaran, mengembangkan otak, serta melatih koordinasi dan
bekerja sama.
Dalam sebuah survei
yang dilakukan di Amerika Serikat diketahui waktu bebas anak telah berkurang
lebih dari 7 jam setiap minggu di tahun 1981 dan 1997, menjadi hanya 2 jam per
minggu di tahun 1997 sampai 2003. Penelitian di Inggris
yang dimuat dalam situs playday.org.uk juga menunjukkan dalam 20 tahun
terakhir terjadi penurunan waktu bermain sampai 25 persen. Sementara itu
kegiatan bermain di luar ruang juga turun sampai 50 persen. Penurunan aktivitas
luar ruang itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain karena keterbatasan
ruang bermain, ketergantungan pada orang dewasa yang membawa mereka bermain ke
taman, atau karena minat anak-anak saat ini beralih ke gadget atau video games.
Pada anak yang lebih
besar, waktu bebas mereka kebanyakan dihabiskan untuk mengerjakan tugas
sekolah. Sementara pada anak perempuan yang lebih besar mereka juga memiliki
tugas membersihkan rumah atau mengasuh adiknya. Pada tahun 2006
diketahui 87 persen anak di negara maju memiliki komputer di rumah, 62 persen
memiliki televisi digital, dan 82 persen memiliki konsol permainan elektronik.
Bermain adalah bagian
dari budaya yang berkembang seiring peradaban manusia. Itu sebabnya, sewaktu
masyarakat menjadi modern, begitu pula dengan permainan yang ikut menjadi
canggih. Sebagian ahli
berpendapat teknologi modern akan meningkatkan kemampuan anak sehingga mereka
lebih melek teknologi. Tetapi pihak yang kontra menilai penggunaan teknologi
pada anak membuat mereka kurang aktif. Mereka juga menjadi kurang kreatif dan
berimajinasi.
Gaya hidup kurang
bergerak pada anak-anak juga meningkatkan risiko kegemukan. Pada anak-anak,
risiko obesitas lebih berbahaya karena mereka masih dalam usia pertumbuhan. Gerakan untuk kembali
kepada permainan tradisional, seperti galasin, petak umpet, loncat tali, atau
permainan olahraga, kini makin gencar dilakukan di berbagai kota besar.
Permainan fisik dianggap lebih mampu merangsang perkembangan otot-otot sehingga
pertumbuhan lebih optimal. Gerak motorik kasar
yang dilakukan di usia pertumbuhan ini sangat banyak manfaatnya, antara lain membuat
tubuh lebih lentur, otot dan tulang semakin kuat, serta menjaga kebugaran.
Pilih Mainan Sesuai Usia Agar Anak Cerdas
Mainan menjadi
salah satu bentuk stimulasi bagi anak. Memberi mainan yang tepat membantu
memaksimalkan rangsangan bagi kecerdasan anak. Sayangnya, tidak banyak
orang tua yang menyadari bagaimana memilih mainan yang tepat bagi buah hatinya. Menurut dokter
spesialis anak dr.Atilla Dewanti Sp.A(K), pemilihan mainan bergantung pada
kemampuan dan kebutuhan anak. Pada seminar Early Stimulation in
Infant to Develop Multiple Inteligences di Jakarta, Atilla
menganjurkan para orang tua untuk memilihkan mainan berdasarkan usia anak.
Pada usia 0-3 bulan,
orang tua disarankan memilih mainan yang berwarna, cerah, datar, dan merangsang
aktivitas motorik. Hal ini dikarenakan mata anak 0-3 bulan belum bisa melihat
jelas. Pilihan warna yang cerah akan merangsang penglihatan dan membantunya
melihat mainan dengan lebih jelas.
Beranjak usia 6 bulan,
mainan yang bisa digigit (teethers) dapat menjadi pilihan. Mainan ini
untuk merangsang pertumbuhan giginya. Orang tua juga bisa memilih mainan dengan
tombol yang bisa ditekan atau bertekstur untuk merangsang kemampuan motoriknya.
Pada usia ini, anak mulai suka mandi, orang tua bisa memberikannya mainan yang
bisa mengapung untuk menemani aktivitas tersebut. "Kalau anaknya
masih kecil, misalnya 6 bulan, jangan taruh mainan di atas tempat tidurnya.
anak akan pusing apalagi bila mainannya bergerak," kata Atilla.
Memasuki usia 6-9 bulan
anak bisa diberi mainan yang bisa bergulir, untuk merangsang kemampuan
motoriknya. Pada usia 9-12 mainan yang merangsang interaksi, misal boneka
tangan menjadi pilihan. Melalui mainan, anak diajak berkomunikasi yang
akan merangsang kemampuannya berbahasa dan mengekspresikan diri.
Pada usia 1 tahun orang
tua mulai bisa memilihkan mainan outdoor, seperti kuda tunggang atau
kolam renang mini. Mainan yang merangsang koordinasi mata tangan seperti organ
kecil atau menara susun menjadi alternatif.
Buku dan puzzle
mulai bisa dikenalkan pada usia 2 tahun. Puzzle ini tidak boleh lebih dari
10-15 keping. mainan yang merangsang imajinasi dan koordinasi mata tangan,
misal boneka peri, traktor mini, atau bowling monster bisa diberikan. Ketika anak memasuki
usia 3 tahun, pinsil warna bisa menjadi pilihan. corat-coret menjadi kegiatan
wajib yang merangsang kemampuan motorik halusnya. "Mainan harus sesuai
dengan usia anak. Namun yang lebih penting pastikan orang tua selalu ada di
dekat anak menemaninya bermain," kata Atilla.
edited by: adrian