Kamis, 10 September 2020

JANGAN DIAM JIKA TAHU


Ada sebuah kapal penumpang. Kapten nahkoda kapal itu adalah Bapak Sailor. Ia menjadi nahkoda hanya karena punya ijasah nahkoda dan diangkat oleh sang pemilik kapal. Soal apakah ia paham dan mengerti seluk beluk perkapalan dan kenahkodaan, itu lain soal. Sebagai nahkoda ia adalah pimpinan alias boss. Siapapun yang ada di kapal itu harus tunduk dan memberitahu padanya.

Suatu ketika kapal hendak berlayar. Saat itu musim cuaca kurang bersahabat, namun ia tetap memutuskan berangkat. Sehari sebelum berangkat, nahkoda mengecek seluruh bodi kapal, perlengkapan dan kondisi ABK (Anak Buah Kapal). Ia menemukan banyak ketidakberesan, misalnya ada bodi kapal yang retak, beberapa baut mesin dan peralatan lain yang sudah lepas atau longgar, lampu suar yang tak berfungsi, dll. Namun semua itu diabaikan karena besok sudah mau berlayar. Bukankah perjalanan hanya semalam saja, pikirnya dalam hati. Besoknya bisa diperbaiki. Lagi pula penumpang sudah beli tiket.

ABK diam saja, karena boss sudah tahu. Bukankah semua keputusan ada di tangan nahkoda kapal, pikir mereka.

Kapal meninggalkan pelabuhan diiringi sorak sorai dan lambaian tangan penumpang dan pengantar. Langit cerah. Kapal melaju dengan tenang. Menjelang tengah malam badai menghadang.  Kapal bergoyang dihempas ombak dan gelombang. Retakan bodi kapal terkuak melebar karena hentakan ombak. Air laut memasuki kapal. Di ruang kontrol ada sinyal kerusakan bodi kapal dan air laut yang masuk. Tapi sang kapten tenang saja. Kapal tetap berjalan.

ABK lain ikut diam. Mereka menganggap nahkoda sudah tahu. Dan karena sudah tahu tentulah ada solusi yang jitu. Namun nahkoda tetap diam membisu. Sementara waktu terus berlalu. Air laut terus masuk sampai akhirnya kapal tenggelam.

Di penyelidikan, nahkoda dan ABK ditanyai oleh polisi.