Jumat, 13 Oktober 2017

SURAH TĀHĀ: 7 DAN TOA

Masih segar diingatan kita kerusuhan di Tanjung Balai Asahan yang mengakibatkan  sekitar 6 rumah ibadah rusak. Rumah-rumah ibadah yang dirusak adalah vihara dan kelenteng. Selain rumah ibadah, massa bringas, yang semuanya umat islam, merusak juga beberapa properti pribadi warga. Peristiwa ini terjadi di penghujung bulan Juli 2016.
Akar masalahnya adalah TOA, yang menimbulkan kebisingan. Keberadaan TOA di masjid selalu membuat warga non muslim merasa tak nyaman. Orang merasa terganggu dengan suara yang keluar dari TOA tersebut. Adalah ibu Meliana yang mencoba memberanikan diri untuk meminta pengertian baik dari pengurus masjid Al Maksum supaya volume TOA dikecilkan. Entah bagaimana, niat baik ibu Meliana ini diterjemahkan sebagai larangan. Terjemahan inilah yang sampai ke telinga umat islam sehingga membangkitkan kemarahan yang berujung pada anarki.
Sebenarnya permasalahan TOA bukan hanya ada di Tanjung Balai Asahan saja, dan bukan baru sekarang. Persoalan TOA yang menggangu ketenangan dan kenyamanan warga non islam, tak ubahnya aksi para teroris, ada dimana-mana dan sudah ada sejak lama. Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada bulan Juni 2015, pernah melarang masjid memutar kaset mengaji karena menyebabkan “polusi suara”. Tapi kenapa masalah TOA seakan tak pernah selesai?
Akan tetapi, jika memang mengganggu ketenangan dan kenyamanan, kenapa umat non islam tenang-tenang saja? Yang jelas dan pasti bahwa sikap tenang atau diam ini bukan berarti setuju dengan keberadaan TOA itu. Sikap diam diambil mungkin karena takut bila bereaksi yang seakan membangunkan singa lapar.
Ada beberapa pertanyaan penting. Apakah umat islam, secara khusus otoritas islam Indonesia (MUI), sadar dan tahu bahwa TOA itu sungguh menggangu ketenangan dan kenyamanan umat non islam? Apakah di masjid itu harus ada TOA? Apakah umat islam berdoa wajib menggunakan TOA? Apa yang menjadi landasan umat islam harus memakai TOA?