Masih
segar diingatan kita kerusuhan di Tanjung Balai Asahan yang mengakibatkan sekitar 6 rumah ibadah rusak. Rumah-rumah
ibadah yang dirusak adalah vihara dan kelenteng. Selain rumah ibadah, massa
bringas, yang semuanya umat islam, merusak juga beberapa properti
pribadi warga. Peristiwa ini terjadi di penghujung bulan Juli 2016.
Akar
masalahnya adalah TOA, yang menimbulkan kebisingan. Keberadaan TOA di masjid
selalu membuat warga non muslim merasa tak nyaman. Orang merasa terganggu
dengan suara yang keluar dari TOA tersebut. Adalah ibu Meliana yang mencoba
memberanikan diri untuk meminta pengertian baik dari pengurus masjid Al Maksum
supaya volume TOA dikecilkan. Entah bagaimana, niat baik ibu Meliana ini diterjemahkan
sebagai larangan. Terjemahan inilah yang sampai ke telinga umat islam sehingga
membangkitkan kemarahan yang berujung pada anarki.
Sebenarnya
permasalahan TOA bukan hanya ada di Tanjung Balai Asahan saja, dan bukan baru
sekarang. Persoalan TOA yang menggangu ketenangan dan kenyamanan warga non
islam, tak ubahnya aksi para teroris, ada dimana-mana dan sudah ada sejak lama.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada bulan Juni 2015, pernah melarang masjid
memutar kaset mengaji karena menyebabkan “polusi suara”. Tapi kenapa masalah
TOA seakan tak pernah selesai?
Akan
tetapi, jika memang mengganggu ketenangan dan kenyamanan, kenapa umat non islam
tenang-tenang saja? Yang jelas dan pasti bahwa sikap tenang atau diam ini bukan
berarti setuju dengan keberadaan TOA itu. Sikap diam diambil mungkin karena
takut bila bereaksi yang seakan membangunkan
singa lapar.
Ada beberapa
pertanyaan penting. Apakah umat islam, secara khusus otoritas islam Indonesia
(MUI), sadar dan tahu bahwa TOA itu sungguh menggangu ketenangan dan kenyamanan
umat non islam? Apakah di masjid itu harus ada TOA? Apakah umat islam berdoa
wajib menggunakan TOA? Apa yang menjadi landasan umat islam harus memakai TOA?