Maka
berkatalah para pemuka
yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang
manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti
engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami
tidak melihat kamu memikili sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami
menganggap kamu adalah orang pendusta. (QS 11: 27)
Dewasa kini, jika dikatakan Al-Qur’an tentulah orang
langsung memahaminya sebagai kitab suci umat islam yang bertuliskan bahasa
Arab, yang terdiri dari 114 surah. Harus diakui Al-Qur’an merupakan pusat
spiritualitas umat islam. Ia dipercaya sebagai wahyu Allah yang disampaikan langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Kepercayaan ini didasarkan pada perkataan Allah sendiri
yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Karena Allah itu
mahabenar, maka perkataan-Nya, yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah juga
benar. Hal inilah yang kemudian membuat Al-Qur’an dikenal sebagai kitab
kebenaran, meski kebenaran Al-Qur’an sungguh membingungkan bagi orang yang
terbiasa menggunakan akal sehat. Selain itu, Al-Qur’an juga dikenal sebagai
kitab yang jelas, karena bersumber dari Allah yang maha mengetahui. Jika
ditanya kepada umat islam kenapa Al-Qur’an merupakan kitab kebenaran dan kitab
yang jelas, pastilah mereka menjawab karena itulah yang dikatakan Al-Qur’an.
Berangkat dari premis bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu
Allah, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan berasal dari
Allah dan merupakan satu kebenaran. Apa yang tertulis pada kutipan di atas
(kecuali yang ada di dalam tanda kurung), semuanya diyakini merupakan kata-kata
Allah, yang kemudian ditulis oleh manusia. Seperti itulah kata-kata Allah
(sekali lagi minus yang di dalam tanda kurung), saat berbicara kepada Muhammad.
Di kemudian hari Muhammad meminta pengikutnya menulis apa yang dia dengar. Karena
surah ini masuk dalam kelompok surah Makkiyyah, maka bisa dipastikan bahwa Allah menyampaikan wahyu ini
saat Muhammad ada di Mekkah.
Jika membaca dengan perlahan dan sedikit merenungkannya,
maka dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas sebenarnya bukanlah
merupakan perkataan asli Allah, melainkan para pemuka orang kafir. Allah hanya sekedar mengutip kembali
apa yang dikatakan para pemuka kafir itu dan menyampaikannya kepada Muhammad.
Hanya itu saja. Hal ini membuat wahyu Allah dalam surah Hud: 27 menjadi menarik
untuk ditelaah. Kajian atas kutipan ayat Al-Qur’an di atas akan membongkar
premis-premis tentang Al-Qur’an.
Sebelum menelaah lebih lanjut ayat Al-Qur’an di atas, terlebih dahulu diberikan tafsiran atas ayat tersebut. Kalau membaca sekilas, bisa dikatakan bahwa kutipan ayat di atas mau bercerita tentang sikap orang kafir terhadap Muhammad. Memang dalam kutipan wahyu Allah di atas sama sekali tidak ada tertulis kata “Muhammad”. Namun, kata ganti “engkau” (2 kali) dan “kamu” (2 kali) merupakan kata ganti yang merujuk pada sosok Muhammad. Ada tiga sikap yang tersurat dalam wahyu Allah itu, yaitu [1] menganggap Muhammad sebagai manusia biasa; [2] merendahkan Muhammad (terlihat dari gambaran pengikutnya dan tidak ada kelebihan Muhammad; [3] menilai Muhammad sebagai pendusta. Secara tersirat, sikap orang kafir terhadap Muhammad dapat disederhanakan menjadi sikap menolak kenabian Muhammad.
Atas ketiga sikap orang kafir
terhadap Muhammad ini, dapatlah diajukan
beberapa pertanyaan. Namun, sebelum sampai ke sana, pertama-tama bisa dipertanyakan,
siapa yang dimaksud dengan “para pemuka yang kafir dari kaumnya”. Frase ini muncul sebanyak
7 kali dalam bentuk kata ganti orang “kami”. Akan tetapi, tidak jelas siapa
yang dimaksud dengan pemuka orang kafir ini. Ayat 27 ini sama sekali tidak ada
kaitannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya (ayat 26 dan 28). Sungguh lucu,
ayat sebelum dan sesudahnya berkisah tentang Nuh, namun dipotong oleh ayat 27
yang baru sama sekali. Dapatlah dipastikan bahwa ayat 27 sama sekali tidak
berkisah tentang Nuh, melainkan tentang Muhammad. Bagaimana mungkin ayat 26
berbicara tentang Nuh, namun tiba-tiba muncul tentang Muhammad dalam ayat 27
dan kembali kepada kisah Nuh (ayat 28). Hal ini hendak menunjukkan tidak
jelasnya jalan pikiran Allah.
Pertanyaan tentang siapa “para pemuka yang kafir dari kaumnya” tentulah menjadi
perdebatan. Berhubung wahyu Allah ini turun di Mekkah, ada beberapa kelompok
kaum kafir di sana. Ada orang Arab sendiri, orang Yahudi, orang Kristen dari
aliran Nestorian, yang telah dianggap sebagai bida’ah, dan masih banyak orang
kafir lainnya. Mereka semua sama-sama menolak Muhammad sebagai nabi. Nah, yang mana yang dimaksud dalam wahyu
Allah tersebut? Sungguh tidak jelas. Hal ini membuat premis yang mengatakan
Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas menjadi runtuh. Dan jika runtuh, maka
sumbernya pun, yakni Allah, patutlah dipertanyakan. Sungguhkah Allah yang berfirman?
Sekarang tiga sikap penolakan Muhammad sebagai nabi perlu
ditelaah. Ada dua alasan kenapa orang kafir menolak Muhammad sebagai nabi. Pertama, karena Muhammad tak jauh beda
dengan kaum kafir. Muhammad hanyalah manusia biasa. Dia tidak punya kelebihan,
sebagaimana dimiliki oleh orang yang dianggap sebagai nabi. Pada titik ini,
bisalah diperkirakan bahwa yang dimaksud dengan “para pemuka yang kafir dari kaumnya” adalah orang Yahudi atau
Kristen. Bagi orang Yahudi dan Kristen, sosok nabi memiliki keistimewaan, yang
membuatnya lain dari manusia biasa. Nah,
keistimewaan itu tak terlihat pada diri Muhammad. Para pengikutnya pun berasal
dari kalangan rendahan dan juga bodoh, yang mudah dibodoh-bodohi Muhammad.
Kedua, karena Muhammad adalah seorang penipu. Bagaimana orang
kafir bisa sampai pada kesimpulan ini? Berdasarkan kutipan wahyu Allah di atas,
dapatlah ditafsirkan bahwa kesimpulan orang kafir itu berangkat dari penilaian
mereka atas diri pengikut Muhammad. Dikatakan bahwa mereka itu “lekas percaya”.
Frase ini hendak menunjukkan kurangnya daya kritis. Lebih lanjut bisa dikatakan
bahwa orang yang lekas percaya adalah orang yang bodoh. Orang bodoh mudah
sekali dibodoh-bodohi, alias ditipu. Mereka tak mempunyai kemampuan bernalar.
Tentulah jika hanya berdasarkan ini, kesimpulan Muhammad sebagai penipu masih
terasa lemah. Harus ada pembuktian lain. Mungkin orang Kristen dan Yahudi
pernah mendengar warta Muhammad yang terasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah
Adam dan Hawa yang berada di surga bersama dengan iblis (QS al-Araf: 19 – 25),
atau warta tentang proses jadinya manusia (QS al-Mukminum: 12 – 14; QS Fatir:
11; QS Mukmin: 67).
Gelar Muhammad sebagai pembohong ternyata banyak
ditemukan pada surah-surah lain, yang masih satu kelompok dengan surah Hud.
Misalnya, dalam QS al-Furqan: 4 dan QS Saba: 43. Di sini dikatakan bahwa
Al-Qur’an yang diwartakan Muhammad hanyalah kebohongannya. Secara implisit mau dikatakan
bahwa Al-Qur’an hanyalah ciptaan Muhammad, bukan wahyu Allah.
Ada satu hal yang menarik dari kutipan wahyu Allah di
atas. Seperti yang telah dikatakan, kutipan ayat Al-Qur’an itu merupakan
pernyataan para pemuka kaum kafir yang dikutip Allah lalu disampaikan kepada
Muhammad. Model wahyu seperti ini jamak ditemukan dalam Al-Qur’an. Di sini
terlihat kalau Allah tidak mampu melahirkan wahyu sendiri, tetapi mengutip
pernyataan manusia lain. Yang membuat kutipan wahyu Allah di atas menjadi
menarik adalah Allah hanya sebatas mengutip dan menyampaikan kepada Muhammad.
Ini tidak seperti biasanya. Umumnya, Allah mengutip, menyampaikan kepada
Muhammad dengan tambahan pernyataan. Ambil contoh QS al-Furqan: 4; QS
al-Maidah: 18; QS al-Ankabut: 12, dan masih banyak contoh lainnya. Di sini,
Allah tidak hanya sekedar mengutip pernyataan dari kaum kafir, tetapi juga
menanggapinya.
Karena itulah, bisa diajukan pertanyaan, apa maksud wahyu
Allah ini? Apakah wahyu Allah ini hendak menegaskan Muhammad sebagai pendusta?
Apakah wahyu Allah ini sepakat dengan pernyataan “para pemuka yang kafir dari kaumnya”? Apakah bisa dikatakan
bahwa Allah juga sebenarnya menolak kenabian Muhammad? Sekali lagi ini bukti
betapa Al-Qur’an tidak jelas. Premis awal bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang
jelas, menjadi runtuh. Keruntuhan ini tentulah membuat orang mempertanyakan
keaslian wahyu Allah. Sungguhkah kutipan ayat di atas merupakan wahyu Allah,
atau rekayasa manusia, yang bernama Muhammad?
Dabo Singkep, 21 Okt 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar