Senin, 29 Desember 2014

Orang Kudus 29 Desember: St. Thomas Becket

SANTO THOMAS BECKET DARI CANTERBURY, USKUP & MARTIR
Thomas Becket lahir di London pada tahun 1118. Orangtuanya berkebangsaan Normandia. Semenjak kecilnya Thomas menunjukkan bakat-bakat yang luar biasa. Ia belajar di biara Merton di Surrey, kemudian di London dan Paris. Pada usia 21 tahun ia sudah berkecimpung di dunia politik di London. Kepandaiannya menarik hati Theobaldus, Uskup Agung Canterbury sehingga ia ditahbiskan menjadi diakon dan dibebani macam-maam tugas.

Akhirnya namanya yang harum itu terdengar juga oleh Raja Henry II. Atas rekomendasi Uskup Theobaldus, Raja Henry II mengangkat Thomas menjadi penasehatnya. Sebagai seorang abdi sekaligus sahabat raja, Thomas mendampingi raja dalam berbagai urusan kenegaraan. Ia menyusun dan mengatur perjanjian damai dengan Perancis pada tahun 1160. Sepeninggal Uskup Theobaldus pada tahun 1161, Raja Henry mengangkat dia menjadi Uskup Agung Canterbury karena ia membutuhkan seorang pendamping yang mampu membantunya dalam urusan-urusan kerajaan. Thomas sendiri sangat segan menerima jabatan mulia itu. Tetapi demi kelangsungan kepemimpinan di dalam Gereja, Thomas akhirnya dengan rendah hati menerima juga jabatan itu.

Setelah ditahbiskan menjadi Uskup Agung Canterbury, Thomas mengundurkan diri dari jabatan penasehat raja agar supaya ia lebih leluasa menjalankan tugas-tugas kegembalaan. Ia meninggalkan gelandang politik, meninggalkan segala kemewahan duniawi, lalu mulai lebih memusatkan perhatian pada bidang kerohanian, kasih amal dan studi teologi. Hidupnya ditandai dengan kesederhanaan. Ia gigih membela hak-hak Gerena dari rongrongan pihak manapun. Dengan tegas ia menolak menandatangani Konstitusi Klarendon, suatu dokumen yang memberikan hak kepada pemerintah untuk campur tangan di dalam urusan-rusan Gerejawi. Karena itu, Henry mulai mengambil tindakan keras terhadapnya.

Dalam suatu pertemuan di Northampton pada 13 Oktober 1164, Thomas secara terbuka menentang Henry dengan meninggalkan pertemuan itu. Ia naik banding kepada Paus dan mengasingkan diri ke Perancis. Raja Louis VII menyambut baik kedatangannya dan mengizinan dia tinggal di sana selama 6 tahun. Raja Henry mengambil alih seluruh kekayaan keuskupannya. Namun Paus tidak mengizinkan Thomas meletakkan jabatannya. Pada tahun 1170 Henry menawarkan perdamaian dengan Thomas dan mengizinkan dia kembali ke Inggris.

Pada bulan Desember 1170, Thomas kembali ke Ingris dan diterima dengan meriah oleh seluruh umat. Namun ia tidak mau mengampuni uskup-uskup yang memihak raja sebelum mereka bersumpah setia kepada Paus. Ia bahkan memanfaatkan izinan Paus Aleksander III yang diberikan pada tahun 1166 untuk mengekskomunikasikan uskup-uskup itu. Tindakan ekskomunikasi ini membuat raja sangat kesal dan marah. Empat orang perwiranya segera diperintahkan ke Canterbury untuk membunuh Thomas. Ketika itu Thomas sedang melakukan ibadat sore di dalam katedralnya. Empat perwira itu segera menyergap dan membunuh Uskup Thomas di depan Sakramen Mahakudus. Peristiwa sadis ini terjadi pada 29 Desember 1170.

Thomas dari Canterbury segera dihormati sebagai orang kudus oleh seluruh umat dan tempat di mana ia dibunuh dihormati sebagai tempat keramat. Raja Henry merasa puas dengan pembunuhan itu. Namun suara hatinya terus mengusik batinnya sehingga pada tahun 1172 ia membatalkan Konstitusi Klarendon dan melakukan pertobatan di hadapan seluruh umat. Pada 21 Februari 1173, Paus Aleksander III secara resmi mengumumkan kanonisasi Thomas. Tempat pembunuhannya menjadi salah satu tempat ziarah terkenal di Eropa sampai Raja Henry VIII membongkarnya dan mengambil alih kekayaannya pada tahun 1538. Kata-katanya terakhir sebelum menghembuskan nafasnya ialah, “Aku bersedian mati demi nama Yesus dan Gereja-Nya.”

sumber: Iman Katolik

Renungan Oktaf Natal V - B

Renungan Oktaf Natal V, Thn B/I
Bac I    1Yoh 2: 3 – 11; Injil              Luk 2: 22 – 35;

Hari ini merupakan oktaf natal yang kelima. Bacaan pertama hari ini diambil dari Surat Yohanes yang Pertama. Dalam suratnya ini, Yohanes mengungkapkan bahwa ada kaitan antara mengenal Allah dengan mengikuti perintah Allah. Bagi Yohanes, orang yang mengenal Allah adalah juga yang melakukan perintah Allah. Tidak mungkin orang mengaku kenal akan Allah, namun tidak pernah menuruti perintah-Nya. Orang seperti ini, menurut Yohanes, tak ubahnya sebagai pendusta.

Apa yang diungkapkan Yohanes dalam bacaan pertama, terlihat dalam keluarga Maria dan Yosef, sebagaimana diwartakan Injil hari ini. Dalam Injil dikisahkan bahwa keluarga Yosef dan Maria menyerahkan Bayi mereka, yaitu Tuhan Yesus, kepada Allah sesuai dengan perintah Tuhan. Dengan kata lain, mereka menuruti perintah Tuhan. Maka bisa dikatakan kalau keluarga ini mengenal Tuhan. Hal yang sama terjadi dengan Simeon. Ia hidup mengikuti perintah Tuhan, sehingga ia benar-benar mengenal Tuhan yang datang ke Bait Allah, dan ia berkesempatan melihat-Nya.

Sabda Tuhan hari ini mau menegaskan kepada kita tentang adanya kesesuaian antara perkataan dan tindakan. Tak sedikit orang mengaku mengenal Tuhan. Akan tetapi, perilaku hidupnya tidak mencerminkan pengenalannya akan Tuhan. Hidupnya tidak sesuai dengan perintah Tuhan. Inilah yang dikehendaki Tuhan melalui sabda-Nya. Tuhan meminta kita supaya pengenalan kita akan Tuhan diwujudkan juga dalam tindakan nyata berupa mengikuti perintah-Nya.

by: adrian

Minggu, 28 Desember 2014

Dilema Remisi: Antara Hak dan Rasa Keadilan

Sebagaimana biasanya, menyambut hari raya keagamaan, pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM, memberikan remisi kepada para narapidana yang merayakan hari raya itu. Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bisa dikatakan bahwa remisi itu diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.

Remisi adalah HAK para narapidana yang sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan. Hak itu didapat karena ia sudah memenuhi atau menjalani kewajibannya. Jadi, jika seorang terpidana telah menjalani kewajibannya, maka pihak yang bertanggung jawab atas remisi mutlak harus memberinya. Menahan remisi seseorang terpidana merupakan sebuah kejahatan dan pelanggaran.

Akan tetapi, di satu sisi pemberian remisi dinilai oleh sebagian orang sebagai tindakan yang melukai rasa keadilan publik. Hal inilah yang sedang hangat-hangatnya diberitakan. Menyambut hari raya Natal, Menteri Hukum dan HAM memberikan remisi kepada para narapidana. Di antaranya ada beberapa terpidana kasus korupsi. Sontak publik merasa gerah.
Sebenarnya tindakan memberi remisi ini, termasuk kepada terpidana korupsi, bukan baru kali ini saja. Awal Agustus lalu Kemenkum dan HAM juga memberi remisi kepada ratusan napi korupsi sebagai hadiah Idul Fitri.

Banyak orang melihat bahwa pemberian remisi tidak akan menimbulkan efek jera dalam melakukan tindak kejahatan, termasuk korupsi. Di samping itu, pengurangan masa hukuman telah melukai rasa keadilan masyarakat. Para terpidana telah melakukan kejahatannya dengan niat dan kesadaran, dan kejahatan mereka tentulah berdampak buruk bagi masyarakat. Semestinya mereka mendapat hukuman yang berat sehingga mereka bertobat.

Namun di sisi lain pemberian remisi adalah sebuah kewajiban karena remisi itu merupakan hak setiap narapidana yang dilindungi undang-undang. Tentu kemenkum dan HAM sadar akan hal ini. Sebagai orang hukum, ia musti taat pada ketentuan undang-undang. Adalah ironis jika ia menindak orang yang melanggar undang-undang sementara ia sendiri melanggar undang-undang.

Inilah dilema remisi. Ada pertentangan dan pertempuran antara HAK dan rasa keadilan. Dilema ini terjadi karena masing-masing pihak hanya melihat dari sudut pandangnya saja, dan melupakan titik temunya. Saya melihat bahwa titik temunya ada pada produk hukum yang berkaitan dengan sanksi hukum. Inilah yang mempertemukan antara HAK dan rasa keadilan. Pertemuan ini bisa menimbulkan gesekan sehingga terjadinya dilema, bisa juga menimbulkan kerukunan.

Produk hukum yang mengatur sanksi bagi terpidana yang berlaku saat ini masih sangat lemah atau ringan. Para koruptor hanya diganjar dengan hukuman ringan, biasanya kisaran 6 – 15 tahun; kecuali jika dikenakan pasal berlapis ada kemungkinan jumlah hukumannya bisa mencapai 30 tahun. Namun semua itu masih terasa ringan. Sekalipun terpidana korupsi diganjar hukuman maksimal, hukumannya masih terasa ringan. Ringannya hukuman ini tentu berdampak pada rasa keadilan andai terpidana menerima remisi.

Akan berbeda jika jumlah hukumannya terperberat. Misalnya, minimal 100 tahun dan maksimal 250 tahun. Dan pengurangan masa hukuman hanya bisa 1 atau 2 minggu dalam satu tahun. Saya yakin tidak akan ada muncul problematika seputar remisi. Para terpidana tetap mendapat haknya, masyarakat pun tak akan terlukai rasa keadilannya.

Yang menjadi persoalan, siapa yang mau membuat produk hukum sanksi seperti ini? Dan lagi-lagi, seperti masalah-masalah yang ada di negeri ini, semuanya tergantung pada kemauan politik para elite negeri ini.
Tanjung Pinang, 27 Desember 2014
by: adrian
Baca juga: