Islam adalah agama yang
diturunkan oleh Muhammad SAW pada abad VII. Salah satu syarat utama untuk
menjadi penganut agama islam adalah dengan mengucapkan syahadat "AsshHaduala ilahailallah wa
AsshHaduana muhammadurrasulullah", yang artinya: aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Orang yang
menganut agama islam sering disebut muslim.
Tentu sebagian besar
orang langsung kaget dengan judul tulisan ini. Bagi orang kristiani, Yesus
adalah peletak dan dasar bagi iman dan ajaran agama kristen. Diketahui bahwa Yesus
sudah ada jauh sebelum Muhammad lahir dan menjadi rasul Allah. Selisihnya
sekitar 6 abad. Jika demikian bagaimana mungkin Yesus disebut sebagai seorang
muslim tanpa menyebut wa AsshHaduana
muhammadurrasulullah?
Agar tidak bingung dan
dapat memahami judul di atas, maka terlebih dahulu kita harus memahami arti dan
makna kata “islam”. Kata ini tak bisa dipisahkan atau dilepaskan dari kata “muslim”.
Keduanya berkaitan erat. Muslim adalah orang yang memeluk agama islam. Jadi, muslim
itu sama artinya dengan orang islam; atau dengan kata lain, muslim itu
merupakan ungkapan lain untuk istilah/frase orang islam. Dan itulah Yesus. Kalau
begitu, apa arti islam?
Secara
etimologis kata “islam” berasal dari bahasa Arab, yang diambil dari kata salima
dengan arti selamat. Dari kata salima
itu terbentuk kata aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan
patuh/taat. Kata ini terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 112: “Bahkan,
barangsiapa menyerahkan diri (aslama) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan,
maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak pula bersedih hati.”
Selain dua
kata itu, Al-Quran juga memakai kata kerja “islam” dengan kata yuslim
yang berarti tunduk atau menyerah/berserah diri kepada Allah. Tentang makna
penyerahan diri secara total, kita dapat menemukan akar kata “islam” pada kata istalma
mustaslima. Ini seperti
terdapat dalam QS Ash-Shaffat ayat 26: ”Bahkan mereka pada hari itu menyerah
diri.” Karena itu, menjadi muslim berarti
beriman kepada Allah dengan tunduk kepada kehendak-Nya dan melaksanakan
perintah-Nya. Mungkin dengan ketaatan ini maka datanglah selamat atau
keselamatan.
Selain
berarti berserah diri, tunduk/taat, akar kata “islam” juga memiliki arti
menyelamatkan orang lain. Ini dapat ditemukan pada kata sallama. Kata ini tentu tak bisa dilepaskan
dari kata salima yang berarti
selamat. Maka orang muslim berarti orang yang sallama, menyelamatkan orang lain.
Sampai di
sini kita menemukan dua makna besar dari kata “islam”, yaitu berserah diri
sebagai ungkapan ketaatan atau kepatuhan dan menyelamatkan atau keselamatan. Orang
islam, atau seorang muslim dituntut untuk berserah diri kepada Allah. Sikap berserah
diri ini terlihat dari membiarkan kehendak Allah yang terjadi pada dirinya.
Seorang muslim wajib taat pada kehendak Allah sekalipun kehendak Allah itu
bertentangan dengan harapan dan keinginan dirinya. Selain itu juga, seorang
muslim terpanggil untuk menyelamatkan orang lain (umat manusia). Menyelamatkan
manusia ini tidak boleh mengikuti kehendak pribadi, melainkan kehendak Allah.
Jadi, ada kaitan erat antara menyelamatkan (orang) dengan sikap tunduk dan
berserah diri kepada Allah.
Gambaran
muslim itu terlihat dalam diri Yesus. Semasa hidup-Nya, Yesus melaksanakan apa
yang diperintahkan Allah. Bahkan kematian Yesus di kayu salib mengungkapkan ketaatan
pada kehendak Allah. Yesus tahu bahwa dengan kematian-Nya di kayu salib, yang
merupakan ungkapan ketaatan atau penyerahan total diri-Nya pada kehendak Allah,
maka datanglah keselamatan bagi umat manusia. Maka dari itu, pantaslah dikatakan
bahwa Yesus itu adalah orang islam sejati. Dia benar-benar melaksanakan apa
yang ada di dalam Al-Quran: berserah diri dan taat pada perintah Allah.
Demikianlah
alasan kenapa Yesus dikatakan sebagai orang islam. Dia berserah diri secara
total dan patuh setia pada kehendak Allah hingga wafat di kayu salib demi
keselamatan umat manusia. Semua yang dilakukan Yesus adalah gambaran dari kata
“islam”, baik dalam pengertian etimologis maupun biblis. Namun ironisnya
Al-Quran malah menolak kematian Yesus di kayu salib. Di satu sisi Al-Quran
menyarankan agar umat muslim berserah diri dengan tunduk pada kehendak Allah,
namun ketika ada orang yang berserah diri dengan taat pada kehendak Allah
(yaitu Yesus Kristus), malah ditolak. Al-Quran, dalam surah al-Nisa’ ayat 157, tidak mengakui bahwa yang tergantung di
kayu salib itu adalah Yesus Kristus. Dan ini menjadi kepercayaan orang islam
hingga kini.
Apa yang dilakukan Al-Quran terhadap
Yesus dapat diperbandingkan demikian. Seorang dokter mengatakan kepada
pasiennya bahwa dia hanya bisa sembuh jika A, B, C dan D. Karena memang ingin
sembuh, maka pasien itu pun melakukan A, B, C dan D; persis seperti yang
diperintahkan dokter padanya. Namun pada akhirnya dokter mengatakan kepadanya
bahwa dirinya tidak sembuh, tanpa memberikan alasan. Tentulah pasien itu amat
kecewa atas ketidak-konsistenan si dokter.
Akan tetapi, kematian Yesus di kayu
salib bukan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang islam. Kematian-Nya
hendak mengungkapkan kesetiaan dan kepatuhan pada kehendak Allah demi karya
penebusan. Kematian Yesus merupakan ungkapan cinta-Nya yang tanpa pamrih kepada
umat manusia. Di sini Yesus mau mengajari kita untuk taat pada kehendak Allah,
sekalipun kehendak Allah itu bertentangan dengan harapan dan keinginan. Yesus juga
menghendaki agar kita meneladani cinta-Nya, mencintai orang lain hingga
pengorbanan. Ketaatan pada Allah dan cinta pada sesama bukan pertama-tama bertujuan
untuk mendapatkan pengakuan.
Ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan Al-Quran
dapat berdampak pada kebingungan orang yang beritikad baik. Karena, ketika ia
hendak berserah diri kepada Tuhan, patuh dan setia melaksanakan perintah Tuhan,
ia akan dihadapkan pada “penolakan” Al-Quran. Yesus sudah mengalaminya. Di satu
sisi Yesus terlihat sebagai seorang muslim sejati (menurut Al-Quran) dengan
berserah diri dan taat pada kehendak Allah sampai wafat di kayu salib, namun di
sisi lain Al-Quran sendiri menolak sikap dan tindakannya yang sudah sesuai
dengan Al-Quran.
Jakarta, 24 April 2014
by: adrian
sumber:
3. Louay Fatoohi, The Historical Jesus. Bandung: Mizan, 2013
Baca juga:
Tolong dibedakan antara muslim sebelum Nabi Muhammad, SAW dan sesudahnya. Sebelum Nabi mereka tetap muslim sekalipun tidak mengucapkan syahadad. Misalnya, Adam dan Hawa, Musa dan Ibrahim itu adalah orang islam. Sesudah Nabi, orang diwajibkan mengucapkan syahadad sebagai syarat untuk menjadi muslim.
BalasHapusDemikian tanggapan saya.
Terima kasih atas tanggapan sekaligus masukannya. Kami hanya berargumen dari makna kata "islam" yang kemudian dikenakan pada pribadi Yesus Kristus.
HapusMenarik membaca artikel ini dan tanggapan di atas. Ada satu persoalan yang masih mengganjal di otak saya. Kenapa dalam syahadat itu orang musti wajib menyebut nama Muhammad? Tidak cukupkah orang sampai pada pengakuan tiada Tuhan selain Allah?
BalasHapusMengapa ini mengganjal otak saya? Muhammad dalam berbagai risalah, baik di Quran maupun hadis, mengaku bahwa dirinya adalah manusia biasa. Memang dia adalah nabi, tapi tidak berbeda dari lainnya. Nah, ada begitu banyak nabi dalam islam, bahkan jauh lebih hebat darinya (seperti Musa), tapi tak satu pun mewajibkan umatnya untuk mengucapkan pengakuan dirinya sebagai syahadat. Ada kesan pengkultusan diri seperti Hitler (bukan maksud saya menyamakan Muhammad dengan Hitler). Sidartha Buddha Gautama saja, yang sangat disanjung dan dihormati, tidak berbuat demikian.
Analisa kecil saya, semoga keliru, Muhammad hanya mau menyamakan dirinya dengan Yesus, dimana Yesus meminta murid-muridNya untuk membaptis orang dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Atau pernyataan lain dimana Yesus berkata siapa yang tidak percaya kepadaKu tidak masuk ke dalam sorga.
Demikianlah tanggapan kecil saya. Terima kasih.
Hmmm...
BalasHapus