Selasa, 27 Oktober 2020
INILAH CARA ATASI CEMBURU PADA PASANGAN
Minggu, 25 Oktober 2020
PIL KB MENYEBABKAN TROMBOSIS
Dewasa ini bangsa Indonesia lagi menggalakkan program KB. Program ini bertujuan untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah penduduk. Program KB hendak membatasi kepemilikan anak dalam rumah tangga yang hanya sebatas dua anak saja. Karena dorongan seks tak bisa dibatasi, maka dorongan seks, sebagai penyebab kehamilan yang berdampak pada penambahan jumlah penduduk, perlu dihalangi. Untuk menghalangi itu, pemerintah menawarkan metode kontrasepsi. Karena itulah, KB selalu diidentikkan dengan kontrasepsi, bukan pada BERENCANA-nya.
Di antara berbagai pilihan metode kontrasepsi, pil KB mungkin yang paling
popular selain kondom. Dokter sering menyarankannya karena memiliki efektivitas
yang sangat tinggi untuk mencegah kehamilan (hampir 100% untuk jenis pil
kombinasi). Wanita usia subur juga menyukainya karena praktis, tidak perlu ada
yang dikenakan atau dipasangkan. Selain itu pil KB memiliki manfaat lain
seperti mengurangi resiko pertumbuhan kista rahim dan tumor payudara serta
berdampak positif pada kulit dengan mengurangi jerawat dan memperhalus kulit.
Namun, di balik kelebihan-kelebihan tersebut, pil KB tampaknya perlu
diwaspadai. Pil KB dapat meningkatkan resiko thrombosis (pembekuan
darah), terutama yang memakai jenis drospirenon (progesteron
sintesis yang sangat mirip dengan progesteron alami). Thrombosis di pembuluh
darah berbahaya, bahkan berpotensi mematikan, karena dapat bermigrasi ke
paru-paru atau otak, yang menyebabkan embolisme paru dan stroke. Resiko
tertinggi terdapat pada wanita berusia di atas 35 tahun yang merokok. Faktor
resiko lainnya adalah obesitas dan riwayat keluarga thrombosis dan
tromboembolisme.
Keprihatinan mengenai kenaikan resiko thrombosis oleh pil KB berbasis drospirenon ini sebenarnya sudah cukup lama disuarakan, namun tampaknya baru mencapai puncaknya beberapa bulan terakhir ini. Setelah lebih dari 11.000 tuntutan hukum diajukan atas berbagai masalah kesehatan terkait kontrasepsi ini, badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (FDA), beberapa waktu lalu, memerintahkan agar setiap produk pil KB yang berbasis drospirenon memuat peringatan mengenai resiko tersebut dalam kemasannya.
TRANSPARANSI CEGAH KORUPSI
Banyak kasus korupsi terjadi karena pengelolaan uang yang tidak transparan. Lalu lintas keluar-masuk uang hanya diketahui satu atau doa orang saja. Orang lain tidak layak dan tidak boleh tahu. Bahkan orang yang seharusnya bisa tahu pun dicegah untuk tahu. Tak ada yang boleh/dapat tahu kecuali boss dan seorang “bendahara”-nya.
Saat ini korupsi sudah merasuk jiwa manusia. Akarnya adalah cinta akan uang
(bdk. 1Tim 6: 10). Di mana ada manusia, pasti ada korupsi. Lembaga apa pun,
sejauh dikelola oleh manusia, pasti akan tercemar korupsi. Jangankan lembaga
negara atau sipil-swasta, lembaga agama, seperti Gereja, juga sudah disusupi
budaya korup. Yayasan keagamaan, yayasan keuskupan atau keuskupan sendiri serta
paroki tak luput dari korupsi. Bukan cuma umat awamnya saja yang melakukannya,
tetapi juga para imamnya. Ini karena tak adanya sistem transparansi keuangan.
Paus Fransiskus pernah menyerukan transparansi, secara khusus di lingkungan
Gereja. Mungkin beliau sudah mencium aroma korup di Vatikan, secara khusus bank
yang dikelola Vatikan, yaitu Institut Kerja Religius (IOR). Sudah menjadi
rahasia umum kalau masalah duit sangat-sangat ditutup rapat. Dan sudah sejak
lama IOR mempunyai reputasi ketertutupan dan intrik. Paus Fransiskus tidak
menghendaki hal ini terus terjadi. Karena itu, didorong oleh rasa tanggung
jawab moral dan semangat Injili, ia menyerukan keterbukaan dalam hal keuangan.
Paus Fransiskus menghendaki supaya pusat kekuasaan agama Katolik itu transparan
soal dananya.
Menanggapi seruan Paus ini, maka dibentuklah suatu lembaga khusus untuk
mengaudit keuangan. Selain itu, dan ini yang terpenting, Bank Vatikan melakukan
transparansi keuangan. Pada awal Oktober lalu, Bank Vatikan mulai
mempublikasikan laporan keuangannya sebagai salah satu wujud transparansi. Ini
merupakan publikasi laporan keuangannya yang pertama sejak berdirinya 125 tahun
lalu.
Vatikan, yang merupakan pusat kekuasaan Gereja Katolik, sudah mencanangkan
dan melakukan transparansi pengelolaan keuangan. Bagaimana dengan yang di
bawahnya? Apakah keuskupan dan paroki sudah mulai melakukan transparansi
keuangan? Persoalannya ada di Uskup dan Pastor Kepala Paroki. Beranikah Pastor
Kepala Paroki membuka laporan keuangan kepada pastor pembantunya dan juga
kepada mereka yang ingin tahu? Maukah Pastor Kepala Paroki membuat
pertanggungjawaban keuangan kepada umat? Artinya, kebiasaan selama ini, di mana
soal uang hanya diketahui oleh Pastor Kepala Paroki dan
"bendahara"-nya saja, musti ditinggalkan.
Ajakan Paus Fransiskus ini hendaknya jangan hanya dilihat dalam lingkup
Vatikan saja, melainkan juga Gereja universal. Sudah saatnya para pastor transparan
dalam pengelolaan keuangan Gereja, baik di paroki maupun di komisi/lembaga yang
ditanganinya.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu