Sigmund Freud, bapak pendiri psikoanalitik, menggolongkan insting manusia
ke dalam dua kelompok besar, yaitu insting hidup dan insting mati. Insting
mati, yang terkadang disebut juga dengan istilah insting merusak (destructive)
merupakan hasrat setiap manusia untuk mati. Kematian mendapat perhatian lebih
bagi Freud. Ia pernah berkata bahwa tujuan semua kehidupan adalah kematian.
Hasrat kematian itu bisa ditujukan keluar dari diri sendiri (external
object) seperti orang lain atau lingkungan (vandalism), bisa juga
terarah kepada diri sendiri (internal object). Salah satu derivatif
insting mati ini adalah benci. Kebencian selalu membawa dampak pada
kehancuran atau kerusakan. Misalnya, jika kita benci kepada seseorang, maka
kita dapat merusak orang itu, baik secara fisik (mencederainya atau bahkan
membunuh) maupun secara psikis (fitnah, menghina, dll).
Kebencian atau rasa benci kepada orang, entah itu diri sendiri maupun orang
lain, dan kepada lingkungan, bukanlah merupakan akar dari insting mati. Ada
banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya rasa benci ini. Salah satunya
adalah iri hati. Contohnya dalam kasus perseteruan antara Tuhan Yesus di satu
sisi dengan kaum Farisi, ahli Taurat dan para imam Yahudi di sisi lain. Mereka
sangat iri akan popularitas Yesus sehingga muncul hasrat untuk menyingkirkan
Yesus dari pengaruh sosial. Puncak perseteruan adalah penyaliban Tuhan Yesus di
Bukit Golgota.
Seperti insting mati, insting hidup juga dapat ditujukan keluar dari diri sendiri (external object) seperti orang lain atau lingkungan, dan bisa juga terarah kepada diri sendiri (internal object). Salah satu derivatif insting hidup ini adalah cinta. Jika rasa benci selalu membawa dampak pada kehancuran atau kerusakan, maka cinta membawa kehidupan. Ungkapan cinta dapat terlihat dari sikap-sikap seperti menghormati, menghargai, memelihara, merawat, perhatian, dll. Semua sikap ini akan menimbulkan efek harmoni, damai, hidup nyaman dan bahagia.
Bagi Freud, insting mati dan hidup dengan derivatifnya dapat bercampur,
saling menetralkan atau saling mengganti. Misalnya, hasrat hidup dikalahkan
oleh hasrat mati atau sebaliknya; cinta menggantikan kebencian, dan/atau
kebencian menggantikan cinta. Freud menilai bahwa hasrat mati lebih dominan
dari hasrat hidup. Hal ini ditunjang oleh fakta bahwa setiap orang pada
akhirnya pasti mati. Karena itu, dalam bukunya Beyond the Pleasure
Principle. In Standard edition. Vol 18, Freud berkata, “Tujuan semua
kehidupan adalah kematian.”
Dominannya insting mati ini membuat hidup hanya bersifat sementara dan
tiada bernilai. Orang seakan bertanya “buat apa hidup jika pada akhirnya mati.”
Karena itu, orang umumnya berusaha untuk memuaskan dan memenuhi hidup dengan
kenikmatan yang tanpa disadari berdampak pada kematian. Jadi, di balik pemuasan
hidup itu justeru terkandung hasrat kematian. Dengan kata lain, insting mati
berselubungkan hasrat hidup. Contohnya dapat dijumpai dalam kasus penyakit
akibat pola makan yang keliru atau dalam kasus narkoba.
Konsep pemikiran Freud ini bertentangan dengan apa yang pernah diajarkan
oleh Tuhan Yesus. Salah satu ajaran Yesus yang terkenal adalah cinta kasih.
Yesus bukan hanya sebatas menyampaikan ajaran tersebut lewat kata-kata saja,
melainkan nyata dalam perbuatan. Seperti yang dikatakan Freud, memang cinta
merupakan bagian dari insting hidup. Cinta membawa kehidupan. Dan Tuhan Yesus
datang membawa kehidupan. Dia menawarkan hidup yang merupakan ungkapan cinta-Nya.
“Yang makan tubuh-Ku dan minum darah-Ku, akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6: 51 – 56).
Puncak cinta Yesus terlihat dari pengorbanan-Nya di salib. Kematian Yesus
bukanlah wujud insting mati, melainkan wujud cinta yang adalah hidup. Hal ini
terbukti Ia bangkit dari mati setelah tiga hari di dalam kubur.
Cinta Allah kepada manusia yang tampak dalam diri Yesus Kristus hendak
mengatakan bahwa memang cinta membawa kehidupan. Dan Yesus berusaha menanamkan
budaya cinta ini dalam hidup manusia agar kehidupan terpelihara. Yesus sadar
betapa kebencian orang Israel terhadap bangsa Romawi dapat membawa kehancuran
terlebih bagi bangsa Israel sendiri. Yesus ingin menghindari hal itu dengan
menawarkan budaya cinta kasih. Cinta mengalahkan benci.
Dengan mengalahkan kebencian, maka akan tumbuhlah kehidupan. Akan tetapi
perlu disadari bahwa tujuan Yesus dengan budaya cinta ini bukan semata-mata
demi tumbuhnya kehidupan, melainkan membuat hidup itu lebih hidup. Jika dalam
hidup masing-masing orang menumbuhkan benih cinta, maka bukan saja akan ada
hidup, melainkan juga damai, harmoni dan nyaman. Hidup terasa indah. Dengan
cinta, orang membuat hidup itu berarti; dan inilah inti dari hidup semakin
hidup. Bagi Yesus, hidup yang hidup adalah ketika orang memberi hidup kepada
orang lain; atau dengan kata lain di saat orang bermakna bagi sesamanya.
Karena itu, ajaran Tuhan Yesus tentang cinta kasih sangat jelas, bukan saja
bertentangan melainkan berusaha mengubah cara pandang orang tentang hidup
sebagaimana yang sudah ditanamkan Freud. Hidup bukan untuk mati, melainkan
untuk hidup, baik untuk diri sendiri maupun sesama. Sekalipun orang pada
akhirnya mati, namun hidup yang dia berikan kepada sesama sewaktu hidup, yaitu
cinta kasih, membuat orang ini tetap hidup.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar