Al-Qur’an
adalah kitab suci umat islam, yang diyakini langsung berasal dari Allah SWT.
Apa yang tertulis di dalamnya dipercaya merupakan kata-kata Allah sendiri.
Karena Allah itu maha benar, maka benar-lah juga Al-Qur’an. Dalam surah
al-Haqqah ayat 59 dikatakan bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran yang meyakinkan.
Oleh karena itu, umat islam menerima begitu saja apa yang tertulis di dalam
Al-Qur’an tanpa ada upaya penelaahan, apalagi secara kritis. Belum ada usaha
dari umat islam sendiri untuk mengkritisi Al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi
karena upaya pengkritisan itu bisa dilihat sebagai usaha meragukan kebenaran
Al-Qur’an; dan ini secara tidak langsung melecehkan Al-Qur’an itu sendiri.
Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama artinya dengan pelecehan terhadap Allah; dan
orang yang melakukan hal itu wajib dibunuh berdasarkan perintah Allah (QS
al-Maidah: 33).
Jika
dilakukan penalaran sederhana terhadap Al-Qur’an, dapat dipastikan orang akan
meragukan Al-Qur’an itu wahyu Allah. Sebagai contoh, jika memakai cara pikir
umat islam dalam menilai Alkitab, dimana dikatakan Alkitab sudah tak asli lagi,
maka kesimpulan yang sama juga akan terjadi pada Al-Qur’an. Dasar penilaian
umat islam tentang ketidak-aslian Alkitab adalah adanya ayat yang berubah-ubah.
Nah, dengan cara yang sama harus juga
dikatakan Al-Qur’an sudah tak asli lagi karena ada ayat yang berubah-ubah.
Jadi, dengan cara berpikir umat islam dalam menilai Alkitab, orang bisa
mengatakan Al-Qur’an sudah dipalsukan.
Contoh keraguan lain bisa dilihat dengan menggunakan perbandingan. Tentulah umat islam yakin Allah itu maha sempurna. Jika Allah itu sungguh maha sempurna, maka apa yang dihasilkan-Nya pun adalah sempurna. Pertanyaannya, sungguhkah Al-Qur’an kitab yang sempurna? Secara kasat mata saja langsung ditemukan tambahan-tambahan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang berada dalam tanda kurung. Tambahan ini bukan dari Allah, melainkan dari manusia, yang berfungsi untuk penjelasan (membuat menjadi jelas). Tanpa tambahan itu, dapat dipastikan Al-Qur’an menjadi tidak jelas. Karena itu, Ali Sina mengatakan bahwa Al-Qur’an “adalah buku yang membingungkan, tulisannya kacau balau, penuh khayalan dan pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal.” Dan J.K Sheildlin, berkata bahwa Al-Qur’an merupakan “pikiran orang bingung yang dituliskan di atas kertas.” Dengan demikian Al-Qur’an bukanlah kitab yang sempurna. Dan karena tidak sempurna, haruslah dikatakan dia bukan wahyu Allah.
Dua
penalaran sederhana di atas dapat menjadi dasar untuk meragukan Al-Qur’an
sebagai wahyu Allah. Dengan dasar inilah umat islam semestinya mencoba
mengadakan kajian lebih lanjut terhadap Al-Qur’an. Secara sederhana harus
dikatakan Al-Qur’an harus dikritisi. Dengan perkataan lain dapat dikatakan umat
islam mesti melakukan “pembedahan” terhadap Al-Qur’an. Upaya pembedahan ini
bukanlah suatu bentuk pelecehan, tetapi sebagai usaha pemurnian pemahaman akan
Al-Qur’an. Orang-orang Kristen melakukan hal tersebut terhadap Alkitabnya,
demikian pula orang Yahudi.
Ada
beberapa orang, yang notabene non
muslim, melakukan pembedahan terhadap Al-Qur’an. Salah satunya adalah Ibn
Warraq. Dalam bukunya “Membedah Asal Usul Al-Qur’an” Ibn Warraq mengatakan
bahwa seluruh isi Al-Qur’an tidak murni berasal dari Allah, melainkan dari
banyak sumber rujukan. Dari hasil penelitiannya ditemukan 10% isi Al-Qur’an
berasal dari Kitab Talmud Babilonia, 5% dari potongan Injil yang diselewengkan,
25% dari Hindu, 10% dari keperceyaan animisme Arab dan
40% dari khayalan Muhammad. “Potongan Injil yang diselewengkan” dapat dimaknai
dengan injil apokrif. Ada ahli juga mengatakan bahwa gambaran surga dalam
Al-Qur’an tak jauh berbeda dengan gambaran taman firdaus dalam kesusastraan
Persia, yang sudah ada jauh sebelum adanya islam.
Kami
sendiri, yang sebelum membaca Al-Qur’an sudah berkenalan dengan aliran-aliran
seperti Gnostisisme dan Nestorianisme, ketika membaca Al-Qur’an langsung
merasakan adanya pengaruh kedua aliran tersebut. Kebetulan kedua aliran ini
sudah ada jauh sebelum kelahiran Muhammad. Dengan kata lain, aliran-aliran
tersebut sudah ada sebelum munculnya islam. Dan dapat dipastikan aliran-aliran
itu ada dan tumbuh di jesirah Arab (konon yang menikahkan Muhammad dan Kadijah
adalah seorang pendeta Nestorian). Pengaruh Gnostisisme dan Nestorianisme
(kebetulan keduanya terkait erat) terhadap Al-Qur’an bisa ditemukan dalam
penggambaran-penggambaran tentang Isa Almasih.
Seperti
yang telah dikatakan di atas, Al-Qur’an merupakan kitab suci (agama) umat
islam. Namun jika dibuat perbandingan dengan kitab suci-kitab suci agama lain, misalnya
dengan kitab suci Yahudi dan Kristen, maka langsung ditemukan kejanggalan dalam
Al-Qur’an. Kalau membaca kitab suci Yahudi, maka kita akan menemukan warta dan
kisah tentang orang Yahudi. Isinya tentang sejarah keselamatan Allah. Karena
itu, nabi-nabi yang dikisahkan adalah nabi-nabi orang Yahudi. Demikian pula
kitab suci Kristen. Ini kitab suci Kristen ada pada kisah sengsara, wafat dan
kebangkitan Yesus Kristus sebagai penebusan dosa manusia. Kisah inilah yang
diwartakan para rasul (sebagian besar isi dari Perjanjian Baru). Pencantuman
kisah-kisah Yahudi, yang merupakan kitab suci Yahudi (Perjanjian Lama) hanya
mau menunjukkan sejarah keselamatan Allah yang terpenuhi dan berpuncak pada
Yesus.
Bagaimana
dengan Al-Qur’an? Ada banyak kisah dari kitab suci Yahudi dan Kristen dicatut
dalam Al-Qur’an, dan sayangnya banyak yang salah atau keliru. Misalnya warta
tentang Adam dan Hawa. Dalam Al-Qur’an dikatakan mereka ada dalam surga,
sementara dua kitab lainnya bilang di bumi. Hal ini bukannya tanpa masalah
terhadap iman. Jika surga diyakini bersifat kekal (sebagaimana dikatakan Allah
sendiri dalam Al-Qur’an), kisah keluarnya Adam dan Hawa dari surga menunjukkan
ketidak-kekalan surga itu sendiri (dan ini bertentangan dengan wahyu Alllah
sendiri). Kisah tentang Musa, Nuh dan lainnya pun tidak sejalan dengan tradisi
Taurat dan Alkitab. Karen Armstrong, dalam bukunya “Sejarah Tuhan” mengatakan dalam
Al-Qur’an banyak ditemui kekacauan dalam urutan kronologis tentang kisah-kisah
para nabi yang ada dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Seperti
apa sebenarnya isi Al-Qur’an itu sendiri? Pembedahan berikut ini mencoba
mencari isi Al-Qur’an yang murni islam. Sebagaimana diketahui Al-Qur’an tersusun dari 114 surah dengan total ayatnya berjumlah 6.236. Dari semua
ayat itu, ada sekitar 1.300 ayat yang berkisah tentang kisah-kisah yang ada
dalam kitab suci Yahudi dan Kristen. Dengan kata lain, ada sekitar 1.300 ayat
Al-Qur’an yang merupakan jiplakan dari kitab suci lain sehingga semua itu tidak
murni islam. Paling banyak adalah kisah nabi Musa. Kisah-kisah tersebut
kebanyakan diulang-ulang. Namun sayangnya, ada banyak kisah jiplakan itu yang
tidak sesuai dengan aslinya.
Dengan demikian, hanya ada sekitar 4.936 ayat yang khas islam. Kira-kira
apa saja wahyu Allah yang khas islam itu? Ada beberapa poin kekhasan wahyu
Allah yang islami:
1. Ayat perang.
Wahyu Allah ini berkisah tentang kisah-kisah peperangan dan pembunuhan serta
perintah untuk berperang dan membunuh. Ada sekitar 500 – 600 ayat yang termasuk
kategori ayat perang ini.
2.
Ayat
kafir. Di sini wahyu Allah berkisah seputar orang
kafir, kekafiran dan juga pengkafiran. Jumlahnya sekitar 600 – 750 ayat.
3.
Ayat
neraka. Wahyu Allah ini memberikan gambaran tentang
neraka dan siapa saja yang akan masuk ke sana. Jumlah ayat neraka jauh lebih
banyak dari ayat surga. Ayat neraka berjumlah sekitar 350 – 475 ayat.
4.
Ayat
surga. Di sini wahyu Allah menggambarkan soal surga
dan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Jumlahnya sekitar 300 – 400 ayat.
5.
Ayat
cinta. Wahyu Allah yang membahas tema cinta
ternyata jauh lebih sedikit ketimbang tema perang. Ayat cinta hanya sekitar 180 – 250 ayat saja.
6.
Ayat
tauhid. Islam dikenal sebagai agama tauhid. Dasarnya
adalah wahyu Allah dalam Al-Qur’an. Jumlah ayat tauhid ada sekitar 70 – 150
ayat. Namun ayat-ayat tauhid ini masih menimbulkan tanda tanya, karena
penelaahan atas ayat ini justru menemukan pertentangan dengan konsep tauhid itu
sendiri.
7.
Ayat
predestinasi. Agama islam ternyata menganut paham
predestinasi atau biasa disebut juga dengan istilah fatalisme. Paham ini
berdasarkan wahyu Allah. Ada sekitar 50 – 100 ayat Al-Qur’an yang bermakna
predestinasi.
8.
Ayat
resek. Kata “resek” biasa dimaknai sebagai tindakan
usil, suka mencampuri urusan orang lain. Dan ternyata Allah SWT mempunyai sifat
resek. Dia suka mencampuri urusan orang lain. menjadi persoalan, yang dicampuri
itu adalah pandangan keliru atau juga pandangan murahan. Dalam Al-Qur’an ada
sekitar 20 – 50 ayat jenis ini.
DEMIKIANLAH
kekhasan wahyu Allah yang islami. Memang apa yang khas itu tidak sepenuhnya
juga khas. Misalnya, wahyu tentang gambaran surga, hampir bisa dipastikan
mengadopsi dari gambaran firdaus yang ada dalam kesusastraan Persia. Demikian
pula wahyu tentang konsep predestinasi hampir bisa dipastikan berasal dari
ajaran-ajaran Hindu. Yang sungguh-sungguh islami adalah wahyu tentang perang
dan juga wahyu resek.
Lingga,
31 Mei 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar