Immature
people falling in love destroy each other's freedom, create a bondage, make a
prison. Mature persons in love help each other to be free; they help each other
to destroy all sorts of bondages. And when love flows with freedom there is
beauty. When love flows with dependence there is ugliness (OSLO)
Kalimat
di atas sengaja ditampilkan untuk menimbulkan kontras dan keterkejutan terhadap
mereka yang selama ini menganggap cinta sebagai benda statik yang akan terus
begitu sepanjang masa atau sesuatu yang akan dicapai ketika menikah. Pengertian
ini telah membawa banyak kekecewaan dalam kehidupan berpasangan maupun
berkeluarga. Kekecewaan itu berujung pada perceraian. Hingga saat ini angka
perceraian masih cukup tinggi. Berbagai alasan yang melatarbelakangi
perceraian, mulai dari faktor cemburu, masalah ekonomi, ketidakharmonisan
hingga masalah politik yang rupanya kian turut berkontribusi dalam mencerai-beraikan
perkawinan.
Selain
itu, jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia dari tahun
ke tahun juga semakin meningkat, terlihat dari laporan dari berbagai daerah di
Indonesia, masing-masing menunjukkan peningkatan signifikan. Beberapa alasan
yang melatar-belakangi adalah faktor ekonomi, minuman keras, rendahnya tingkat pendidikan
serta faktor usia dini.
Faktor
penyebab adanya perkawinan di usia dini (13 – 18 tahun) adalah tradisi, masalah
sosial - ekonomi, perilaku seksual dan kehamilan yang tidak dikehendaki,
rendahnya pengetahuan tentang reproduksi, rendahnya pendidikan orangtua serta
lemahnya penegakkan hukum. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang terjadi
ketika mengawali sebuah hubungan? Apakah hubungan yang dilandasi oleh cinta
sudah pasti akan abadi? Apakah hubungan yang tidak abadi karena tidak ada
cinta? Pertanyaan semacam ini kerap muncul dalam pemikiran maupun
asumsi-asumsi. Marilah kita telaah bersama.
Ada
beberapa jenis cinta di dalam berbagai versi dan definisi para pakarnya yang
dapat diunduh maupun dipelajari lewat berbagai buku. Oleh karenanya, dalam
artikel ini kita tidak akan membahas jenis cinta maupun manifestasinya, namun akan membatasi pembahasan pada persoalan problem perkawinan.
It
needs love to make two become one
Kalimat
di atas bisa benar, tapi bisa pula keliru jika mengartikannya secara sempit dan
dangkal. Sebab, makna cinta tidak berhenti pada rasa senang terhadap sesuatu,
seseorang maupun lawan jenis (pacar, calon suami atau calon istri). CS. Lewis mengkategorikan
perasaan "senang dan suka" pada tingkat terbawah dari derajat
intensitas cinta; rasa senang dan suka ini muncul karena di antara kedua pihak
ada kesamaan, sama-sama senang nonton bioskop, menyukai group musik yang sama,
mempunyai tempat makan favorit yang sama, sedang menyukai kegiatan yang sama,
entah itu demonstrasi atau sama-sama ikut menjadi pendukung sebuah gerakan.
Kekuatan dan durasi perasaan suka ini sangat lemah karena sifatnya yang
situasional dan temporer; dan hubungan yang terbentuk atas dasar perasaan suka
ini pun rentan persoalan karena tidak punya fondasi yang kuat. Sementara banyak
orang yang mengambil keputusan untuk menikah atas dasar kuantitas kesamaan,
karena rasionalitas kedua pihak terhalang oleh emosi jiwa serta fantasi fairy tale "happily ever after".
Selama
ini banyak orang umumnya menganggap cinta adalah sebuah produk pabrikan dan
bersifat one for all. Ketika di
antara kedua manusia ada cinta, maka semua persoalan selesai atau akan selesai.
Sayangnya banyak pula yang lupa bahwa definisi cinta yang digunakan sebagai
acuan penilaian kualitas dan masa depan hubungan, adalah perasaan "suka
dan senang". Bagi Scott Peck dalam
bukunya The Roadless
Travelled, cinta bukanlah perasaan, melainkan tindakan nyata "The will to extend one's self for the
purpose of nurturing one's own or another's spiritual growth". Motivasi
dan tindakan untuk membuat diri sendiri dan orang lain yang
"dicintai" bertumbuh, menjadi pribadi yang punya identitas sejati dan
menggenapi panggilan hidupnya, itulah yang dinamakan cinta. Dan karena itulah,
cinta tidak mungkin bersifat mengekang, menjajah, menindas, membatasi,
memanipulasi, menghilangkan kemerdekaan apalagi menghilangkan kemanusiaan orang
yang dicintai. "It is about
giving the other person what they need to grow".
Kedewasaan
Pribadi, Kedewasaan Cinta
Dari
definsi cinta Scott
Peck terlihat bahwa orang yang bisa mencintai, tentunya bukan orang
yang masih terjebak dalam egosentrisme dan egoisme namun sudah mampu
berkeinginan dan berbuat untuk orang lain. Apabila orang menyatakan cinta,
namun dalam tindakan sehari-hari, banyak menuntut, mengekang, melarang,
memenjarakan kemanusiaan pasangan, maka itu bukanlah cinta, namun conditioning/pengkondisian agar orang memenuhi
kebutuhannya, entah itu kebutuhan fisik (makan, minum, seksual, dsb) maupun
psikologis (ingin diperhatikan, diakui, dikagumi, dipuja, dsb). Di sinilah
banyak terjadi kesalah-kaprahan, ketika pasangan bersikap nrimo, diam saja bahkan semakin takut dan
taat serta semakin "menderita demi cinta". Kesalah-kaprahan ini
membuat banyak penderitaan panjang terutama di sisi wanita (ada pula pria),
tidak hanya menghancurkan perkawinan itu sendiri, namun menghancurkan pula
jiwa-jiwa dan setiap pribadi yang ada di dalamnya, seperti dirinya sendiri
serta anak-anak (bagi yang telah punya anak). Cinta tidak menjajah.
Oleh
karena cinta bukanlah romantisme perasaan belaka, maka kedewasaan seseorang
akhirnya berperan dalam menentukan seperti apa cinta yang ia berikan kepada
orang lain, baik itu pasangan maupun komunitasnya. Semakin dewasa seseorang,
maka semakin dewasalah cintanya; sehingga untuk menghasilkan cinta yang dewasa
dan buah-buah cinta yang mendewasakan diri sendiri dan orang lain, maka
seseorang harus melalui proses pendewasaan. Scott Peck mengatakan
dalam The Roadless
Travelled, seseorang menjadi dewasa dan matang, melalui proses yang
bertahap dan semua itu menuntut latihan disiplin diri dalam beberapa elemen,
yakni :
1. Delaying gratification,
menunda kepuasan sesaat / saat ini demi kebaikan di masa mendatang.
Istilah Indonesia, sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Secara
kongkrit, setiap keputusan baik itu berpacaran (dengan segala tingkatannya dan
tindakannya) dan berkeluarga, didasarkan pada pertanyaan apakah yang menjadi
motivasinya. Apakah karena ingin segera memuaskan apapun desakan yang ingin
dipuaskan atau karena ada alasan rasional lain yang memang baik dan bermanfaat
besar bagi kedua belah pihak (yang menjadi ukuran adalah menumbuhkan dan
mendewasakan kedua pihak).
2. Acceptance of responsibility,
bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan diri sendiri. Apa yang termasuk di
dalamnya adalah menyadari bahwa setiap orang punya andil dalam menciptakan
problem yang sedang dihadapi, sudah dialami atau akan terjadi. Semua berawal
dari pilihan sikap diri. Padahal umumnya, ketika terjadi masalah cenderung
menyalahkan orang lain, persoalan, situasi dan kondisi daripada introspeksi
diri. Konsekuensi logisnya, menganggap diri sebagai korban keadaan yang
tidak berdaya untuk mengambil alih kendali hidup. Amat disayangkan karena
sebagian orang melihat proses ini sebagai suratan takdir dan nasib bahwa ia
terlahir untuk melayani dan menderita demi orang yang dikasihi. Padahal, takdir
cinta tidaklah demikian. Cinta itu membebaskan dan memerdekaan, seperti ungkapan Oslo, seorang
filsuf kontemporer, di atas tadi.
Menerima
tanggung jawab di sini mempunyai konsekuensi logis, untuk membuat setiap
pribadi berhati-hati, jangan sampai aplikasi dari memerdekakan diri menciptakan
penjajahan bagi pribadi lainnya. Mengutip Erich Fromm yang
mengatakan, no freedom without
responsibility, tidak ada kemerdekaan tanpa tanggung jawab. Jika ingin
berpacaran atau menikah, ingin bercerai atau bahkan ingin bertahan dalam
problema yang ada, maka setiap pemikiran, keputusan dan tindakan harus
dipikirkan sejauh mana kita mampu bertanggung jawab atas implikasinya, baik
bagi diri sendiri, keluarga, orangtua, anak, pasangan, mertua, tempat kerja
kita, dsb.
3. Dedication to the truth,
selalu mencari dan menemukan kebenaran. Mabuk kepayang maupun kepahitan, bisa
menjadi penghalang kejernihan dalam melihat kenyataan dan kebenaran. Konsep
diri yang negatif (menganggap diri tidak baik, buruk rupa, banyak dosa, tidak
berharga, tidak cantik, tidak beruntung, dsb) juga menjadi tembok penghalang
realitas karena kenegatifan itu sudah mewarnai cara pandang kita terhadap
dunia.
Kasus
KDRT yang berkepanjangan membuat pihak korban percaya bahwa dirinya pantas dan
layak dihina dan disia-siakan karena tidak berharga. Oleh sebab itu korban
tidak berani melepaskan diri dari abuser karena
tidak yakin ada tempat yang bisa menerima kehadirannya, atau tidak yakin
dirinya kuat hidup tanpa abuser. Scott Peck mengatakan,
jika jiwa manusia ingin bertumbuh, jauhkan diri dari prejudis, stereotype, prasangka negatif yang
mendistorsi kebenaran. Sikap terbuka, berani menatap kenyataan, bahkan menerima
bahwa ada kebenaran dan fakta lain yang bisa meruntuhkan keteguhan hati dan
keyakinan - mengapa kita takut jika hal itu justru memerdekakan kita. The truth will set you free.
4. Balancing & flexible,
menjadi lebih seimbang dan fleksibel. Kedewasaan dan kematangan akan dialami
ketika diri kita maju. Sebaliknya, segala sesuatu yang terlalu rigid, baik dalam
soal berpikir, berkeyakinan maupun berelasi, menghambat kemajuan diri sendiri
dan orang lain serta hubungan itu sendiri. Bayangkan saja hubungan yang penuh
dengan ketakutan, peraturan, larangan, batasan, kecurigaan, pengekangan,
penindasan, tidak akan menumbuhkan sesuatu yang baik; yang muncul adalah hal
negatif, seperti ketakutan, kemarahan, kepahitan, kebosanan, ketidakpuasan,
kesepian dan kekosongan yang melanda jiwa. Tidak akan ada kebahagiaan dalam
relasi yang rigid, namun sama
halnya dengan relasi yang tidak berakar dan berkomitmen, karena keduanya tidak
berdasarkan cinta, namun ketakutan.
Kembali
pada persoalan cinta yang berakhir duka nestapa, apalagi tragedi, dapat
disimpulkan kondisi itu disebabkan ketidakmatangan pribadi yang menganggap
bahwa memiliki, mengupahi, meladeni, membayari,
menafkahi, adalah cinta dan bukti cinta itu sendiri. Padahal,
silogisme-nya tidak demikian. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ungkapan
cinta dari Ibu Theresa
It is not how much we do,
but how much love we put in the
doing.
It is not how much we give,
but how much love we put in the
giving
Jadi
mari bertanya pada diri sendiri, apakah saya melakukan ini semua karena cinta?
Apakah yang kita lakukan selama ini sudah memerdekakan & menumbuhkan diri
kita dan orang yang kita cintai?
diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar