Senin, 02 Januari 2017

PERSOALAN NAMA BAPTIS

Setiap orang Katolik pasti mempunyai nama baptis. Nama itu bisa didapat dari nama orang kudus, atau nama tokoh-tokoh yang ada di dalam Kitab Suci, atau bisa juga nama yang menjadi kekhasan daerah yang sejalan dengan nilai-nilai kristiani. Hal ini sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam kan. 855 Kitab Hukum Kanonik.
Pemilihan nama orang kudus untuk nama baptis memiliki beberapa pertimbangan yang menjadi dasarnya. Ada orang memilih nama orang kudus tertentu karena tanggal kelahiran atau tanggal pembaptisan bertepatan dengan pesta atau peringatan orang kudus tersebut. Misalnya, si A lahir atau akan dibaptis pada 18 Oktober, sementara pada tanggal tersebut merupakan pesta St. Lukas Penginjil. Maka, nama Lukas dijadikan nama baptisnya.
Ada juga orang memilih nama orang kudus tertentu karena sudah mengidolakan dan sudah punya devosi khusus kepada orang kudus tersebut. Misalnya, ada orangtua yang mengidolakan Santo Fransiskus Xaverius; maka nama baptis anaknya adalah Fransiskus Xaverius. Atau ada orangtua yang punya devosi kepada Santo Antonius Padua, sehingga nama baptis anaknya adalag Antonius Padua.
Akan tetapi, dalam kehidupan seringkali nama orang kudus tidak sesuai dengan jenis kelamin orang yang mau dibaptis. Misalnya, putri pasangan Joko dan Jane lahir pada 7 Desember, bertepatan dengan peringatan St. Ambrosius, uskup dan pujangga Gereja. Atau, putra pasangan Yosef dan Maria lahir pada 15 Mei, bertepatan dengan peringatan St. Bertha, pengaku iman. Hal ini kerap menjadi persoalan, karena ada pastor yang menolak nama Ambrosiana atau Berto untuk dijadikan nama baptis.
Penolakan nama baptis seperti kasus di atas umumnya hanya dilandasi alasan sederhana, yaitu tidak ada orang kudus dengan nama tersebut. Misalnya, tidak ada Santa Ambrosiana atau Santo Berto. Demikian pula untuk contoh kasus lainnya seperti Valentina – St. Valentinus, atau Vinsensia – St. Vinsensius, atau Stefanie – St. Stefanus atau Roberta – St. Robertus, atau Natalius – St. Natalia, atau Mario – St. Maria, atau Kresensius – St. Kresensia, atau Angelus – St. Angela Merici, dll.
Menjadi pertanyaan, apakah penentuan nama baptis harus sesaklek itu. Artinya, pemilihan nama baptis harus disesuaikan dengan jenis kelamin orang kudusnya; orang kudus pria untuk nama baptis calon baptis pria, dan orang kudus wanita untuk nama baptis untuk calon baptis perempuan. Untuk bisa menjawab persoalan ini, terlebih dahulu kita melihat apa maksud pemilihan nama orang kudus sebagai nama baptis.
Umumnya orang memilih nama orang kudus sebagai nama baptis bukan sekedar memenuhi ketentuan hukum Gereja (Kan. 855). Pemilihan nama orang kudus itu memiliki maksud utama, pertama, agar mereka yang menggunakan nama orang kudus itu mendapat perlindungan dari orang kudus tersebut. Memang tidak menutup kemungkinan untuk tetap memohon perlindungan dari Yesus dan Bunda Maria. Jadi, orang yang nama baptisnya Ignasius Loyola, menjadi St. Ignasius dari Loyola sebagai pelindungnya.
Kedua, agar orang kudus, yang namanya dipakai sebagai nama baptis, menjadi teladan hidup dan iman bagi mereka yang menggunakan namanya sebagai nama baptis. Jadi, orang yang nama baptisnya Monika, terpanggil untuk menghidupi teladan hidup dan teladan iman St.Monika.
Dengan pendasaran ini (perlindungan dan teladan), maka tidak menjadi soal jika seseorang memilih nama orang kudus yang tidak sesuai dengan jenis kelamin calon baptis. Karena bukan soal namanya, melainkan perlindungan dan teladan hidupnya. Jadi, tidak jadi masalah seseorang memilih nama baptis Adriana karena ia berpelindungkan St. Adrianus dan menjadikan semangat hidup St. Adrianus sebagai semangat hidupnya. Atau putra pasangan Jono dan Joni, yang lahir pada 9 Jabuari diberi nama baptis Marsianus, karena tanggal tersebut adalah peringatan St. Marsiana. Dengan ini Marsianus berpelindungkan St. Marsiana dan berusaha mengikuti teladan hidupnya.
Koba, 28 Desember 2016
By: adrian
Baca juga tulisan lain:

Minggu, 01 Januari 2017

Memahami Maria sebagai Bunda Allah

Dalam Gereja Katolik, 1 Januari dirayakan bukan hanya sebagai tahun baru, melainkan juga, dan yang terutama, hari raya Santa Maria Bunda Allah. Bunda Allah merupakan salah satu gelar dari Maria. Saudara-saudara muslim sangat sinis dengan gelar ini. Sekalipun mereka mengakui dan menghormati Bunda Maria (ada satu surah dalam al quran, yaitu QS Al Mariyam), namun mereka tidak akan mau mengakui Maria sebagai Bunda Allah. Karena bagi mereka Bunda Maria hanyalah manusia biasa, sama seperti kita. Dia bukan Allah.

Memang sekilas penyebutan Maria sebagai Bunda Allah membuat Maria seolah-olah sebagai Allah. Padahal orang kristen sendiri tidak mengakui hal itu. Umat kristiani, khususnya Katolik, tetap mengakui bahwa Bunda Maria adalah manusia biasa. Dia bukan Allah. Lantas, kenapa gelar ini disematkan pada dirinya? Lebih lanjut tentang hal ini silahkan baca di: Budak Bangka: Memahami Maria sebagai Bunda Allah

Sabtu, 31 Desember 2016

Ketika Agama Menghalalkan Menghina Agama Lain


Bangsa Indonesia seakan menutup tahun 2016 ini dengan topik hangat soal penistaan agama. Setelah Basuki Tjahaya Purnama, atau biasa disapa Ahok, dilaporkan dan kini sedang menjalani proses persidangan, tiga hari lalu giliran Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Muhammad Rizieq Shihab, dilaporkan oleh Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia dan kelompok mahasiswa lintas agama. Titik persoalannya adalah pernyataan Habib Rizieq yang dinilai telah menista agama Kristen (protestan dan katolik).
Sempat pula beredar isu penggalangan massa untuk membela Yesus, sesuatu hal yang aneh bagi telinga umat kristiani. Karena agama Kristen, baik itu Protestan maupun Katolik, tidak pernah mengajarkan untuk membela Tuhannya atau agamanya dari penghinaan. Mengenai sikap orang kristiani dalam menghadapi penistaan agama, dapat dibaca di sini.
Memang Habib Rizieq membela dan menyatakan bahwa laporan dua kelompok mahasiswa itu salah alamat. Dengan kata lain, Habib Rizieq tidak melakukan penistaan agama. Habib Rizieq hanya menyampaikan ajaran agamanya. Karena itu, bisa dikatakan bahwa yang melakukan penistaan agama Kristen adalah ajaran islam, bukan Habib Rizieq. Inilah yang mau diangkat dalam tulisan di atas “Ketika Agama Menghalalkan Menghina Agama Lain”. Lebih lanjut mengenai ulasannya, silahkan baca di sini: Budak Bangka: Ketika Agama Menghalalkan Menghina Agama Lain
Masalah penistaan agama memang sedikit agak membingungkan. Karena itu, Tempo online pernah membuat polling dengan pertanyaan “Setujukah anda kalau pasal penistaan agama dihapus saja?” Karena, jika soal penistaan agama ini dilihat secara total (jangan hanya dari sudut islam saja), ada banyak penistaan agama yang terjadi. Dan itu bersumber dari ajaran agama. Bingung kan?