Ketika Paus Benediktus XVI menyatakan pengunduran dirinya pada tanggal 28
Februari 2013, sontak dunia merasa terkejut. Ada perasaan aneh dan tak percaya
pada berita dan keputusan itu. Orang merasa aneh karena mereka jarang menemukan
peristiwa seperti itu. Dalam catatan sejarah memang jarang sekali Pimpinan
Tertinggi Gereja Katolik ini mengundurkan diri. Tercatat ada tiga Paus yang
mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Pertama sekali adalah Paus Selestinus V
(1294) diikuti Paus Gregorius XII (1415) dan yang terakhir adalah Benediktus
XVI. Umumnya pergantian pimpinan ini terjadi karena kematian. Contoh terakhir
adalah peralihan dari Yohanes Paulus II ke Benediktus XVI. Terpilihnya Paus
Benediktus XVI karena takhta kosong setelah kepergian Yohanes Paulus II, yang
meninggal dunia pada 2 April 2005.
Hal ini juga yang membuat orang merasa tak percaya. Orang melihat bagaimana
Yohanes Paulus II “mempertahankan” jabatan kepausannya hingga akhir hayatnya.
Sekalipun berbagai penyakit menderanya, tatap saja beliau bertahan di Takhta
Santo Petrus. Hanya kematian saja yang menghentikannya. Kebanyakan orang
berpikir bahwa Paus Benediktus XVI akan mengikuti langkah beliau dalam
mempertahankan jabatan. Ternyata keputusannya lain.
Mundur dari jabatan, khusus pimpinan tinggi, juga bukan menjadi sesuatu
yang baru dalam sejarah Gereja Keuskupan Pangkalpinang. Sejak berstatus
Prefektur Apostolik Bangka Belitung hingga berstatus Keuskupan Pangkalpinang,
dominasi mundur sangat dominan. Berawal dari Mgr. Theodorus Herkenrath, sebagai
Prefektur Apostolik yang pertama. Dialah pimpinan tinggi Gereja Keuskupan
Pangkalpinang yang mengundurkan diri dari jabatannya (tahun 1926 mengajukan
permohonan, 1928 permohonan mundur dikabulkan). Posisi beliau diganti Mgr.
Vitus Bouma, yang meninggal dunia sebagai tawanan perang. Masa jabatan Mgr.
Bouma sebenarnya masih panjang, namun dihentikan oleh kematian.
Untuk mengisi kekosongan jabatan ini, Vatikan memilih Mgr. Marcellinus van Soest sebagai Administrator Apostolik. Jabatan Administrator Apostolik hanyalah bersifat sementara hingga muncul pejabat resminya. Artinya, jika suatu saat Gereja Keuskupan Pangkalpinang sudah mempunyai pimpinan barunya, maka Mgr. van Soest mundur secara otomatis. Itulah yang terjadi ketika Vatikan memilih Gabriel van der Westen sebagai Vikaris Apostolik Pangkalpinang. Ini sebagai konsekuensi atas perubahan status dari Prefektur Apostolik ke Vikaris Apostolik.
Setelah kurang lebih 28 tahun berkarya, dan meskipun waktu pensiunnya masih
panjang, Mgr. van der Westen memilih mundur dari jabatannya. Sekali lagi kasus
seperti Mgr. van Soest terjadi lagi. Vatikan memilih Rolf Reichenbach sebagai
Administrator Apostolik. Posisi Mgr. Reichenbach segera berhenti sejak
terpilihnya Hilarius Moa Nurak sebagai Uskup Keuskupan Pangkalpinang. Hingga
saat ini Gereja Keuskupan Pangkalpinang masih dipimpin oleh Mgr. Hilarius.
Tercatat empat tahun lagi beliau memasuki usia pensiun. Artinya, empat tahun
lagi beliau masih akan memimpin keuskupan ini lalu berhenti.
Jadi, keputusan mundur dari jabatan bukanlah sesuatu hal yang baru dalam
sejarah Gereja Keuskupan Pangkalpinang. Malah bisa dikatakan bahwa keputusan
mundur lebih dominan. Bagaimana dengan uskup sekarang ini? Apakah empat tahun
lagi baru berhenti atau dalam masa empat tahun ini beliau memilih mundur? Hanya
Tuhan dan beliau saja yang tahu.
Ada banyak alasan kenapa orang berusaha mempertahankan jabatannya. Selain
karena kenyamanan dengan jabatan itu, mundur juga dilihat sebagai keputusan
seorang pengecut. Banyak orang berpikir bahwa keputusan mundur akan
mendatangkan aib. Makanya banyak orang Indonesia, entah di lembaga sipil
pemerintahan maupun Gereja, malu untuk menyatakan mundur dari jabatan. Inilah
yang selalu ada dalam alam pikiran orang Indonesia.
Mundur dari jabatan memang membutuhkan jiwa besar. Ada beberapa alasan
kenapa orang memilih untuk mundur. Pertama, karena kegagalan
dalam memimpin. Keputusan mundur dilihat sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Hanya orang yang berjiwa besar yang memiliki rasa tanggung jawab moral
ini. Kedua, keterbatasan diri. Orang rendah hati dapat melihat
dan menyadari kemampuannya yang terbatas dalam memimpin sebuah institusi. Hanya
orang yang berjiwa besar yang memiliki sifat rendah hati. Inilah yang terjadi
pada Paus Benediktus XVI, Mgr. Herkenrath dan Mgr. van der Westen. Mereka mau mengakui
keterbatasan kemampuan mereka. Ketiga, memberi kesempatan luas
terjadinya suksesi kepemimpinan.
Dapatlah dikatakan bahwa orang yang berani mengambil keputusan mundur dari
jabatannya adalah orang yang TAHU DIRI. Mereka tahu kalau
dirinya telah gagal dalam memimpin. Pernyataan gagal ini benar-benar didapat
dari hasil refleksi pribadi yang mendalam. Mereka tahu kalau
dirinya memiliki keterbatasan. Ada banyak hal yang membatasi diri orang dalam
memimpin. Misalnya faktor usia yang membuat daya kritis seseorang menurun
sehingga ia tidak bisa lagi memberi penilaian yang bijaksana. Mereka juga tahu kalau
jabatan bukanlah miliknya selamanya. Jabatan hanyalah sebuah amanah yang
dipercayakan kepadanya.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar