Terorisme
dan radikalisme, dengan segala kekerasannya, sepertinya sudah melekat erat pada
islam. Setiap kali muncul aksi terorisme, radikalisme dan intoleransi selalu saja
nama islam islam terbawa, baik itu lewat para pelakunya maupun atribut-atribut
yang menyertainya. Memang banyak umat islam, termasuk tokoh agamanya, menolak
kaitan terorisme dan radikalisme dengan agama islam. Sering keluar pernyataan
bahwa islam itu agama damai dan terorisme itu bukan islam. Sayangnya, publik
tak bisa dibohongi. Semua orang tahu bahwa ajaran agama selalu mengacu pada
kitab suci. Dan banyak orang yang sudah membaca Al-Qur’an tidak serta merta
percaya bantahan tokoh-tokoh islam itu. Mereka lebih percaya kalau memang islam
itu agama teroris dan intoleran, karena ada begitu banyak perintah terkait
dengan hal tersebut yang tersebar dalam Al-Qur’an. Salah satu perintahnya
adalah perang.
Ada
cukup banyak “ayat-ayat perang” yang ada dalam Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan
“ayat-ayat perang” di sini adalah ayat dalam Al-Qur’an yang di dalamnya
terdapat kata dengan kata dasar “perang” dan “jihad”. Tentulah bukan hanya
terfokus pada 2 kata itu saja, tetapi juga kata-kata lain yang mengandung 2
kata tersebut. Misalnya seperti berperang, peperangan, perangilah, memerangi,
berjihad, dll. Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an ini didasarkan pada Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen
Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006.
Ayat-ayat yang ada ini berdasarkan hasil tangkapan mata manusiawi. Sadar akan kelemahan dan keterbatasan, tentu ada ayat yang terlewatkan. Inilah “ayat-ayat perang” Al-Qur’an.
Surah |
Ayat |
Jumlah |
QS
2 |
117, 190, 191, 193, 216, 217, 218,
244, 246, 273, 279 |
11 |
QS
3 |
13, 111, 123, 127, 140, 142, 146,
156, 161, 165, 167, 168, 172, 195 |
14 |
QS
4 |
24, 72, 74, 75, 76, 77, 84, 90, 91,
94, 95, 141 |
12 |
QS
5 |
24, 33, 35, 54, 64, |
5 |
QS
8 |
1, 16, 41, 57, 65, 69, 70, 72, 74,
75 |
10 |
QS
9 |
5, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 24, 25,
29, 36, 38, 39, 41, 43, 44, 49, 50, 73, 81, 83, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93,
94. 107, 111, 120, 122, 123 |
34 |
QS
16 |
81, 110 |
2 |
QS
21 |
80 |
1 |
QS
22 |
39, 78 |
2 |
QS
24 |
53 |
1 |
QS
27 |
33 |
1 |
QS
29 |
6, 69 |
2 |
QS
33 |
18, 20, 25, 50, 60 |
5 |
QS
47 |
4, 20, 21, 31 |
4 |
QS
48 |
16, 17, 19, 20, 22 |
5 |
QS
49 |
9, 15 |
2 |
QS
57 |
10 |
1 |
QS
59 |
11, 12, 14 |
3 |
QS
60 |
1, 8, 9 |
3 |
QS
61 |
4, 11 |
2 |
QS
63 |
8 |
1 |
QS
66 |
9 |
1 |
QS
73 |
20, |
1 |
QS
100 |
1 |
1 |
Tabel
– 9
Dari
tabel di atas terlihat jelas ada 24 surah yang memuat “ayat-ayat perang”, yang
tersebar di kelompok surah Makkiyyah maupun Madaniyyah. Dari 24 surah, “ayat-ayat
perang” terbanyak ada di kelompok surah Madaniyyah, yaitu 18 surah (sekitar 79%).
Jumlah ayat pada surah Madaniyyah yang berisi “ayat-ayat perang” ada 116 ayat. Sementara
itu, “ayat-ayat perang” pada surah Makkiyyah hanya 8 ayat. Dari keseluruhan
surah, “ayat-ayat perang” terbanyak terdapat pada surah at,-Taubah, yaitu
sebanyak 34 ayat. Tidak ada satu surah pun yang membuat “ayat-ayat perang”
hingga mencapai 15 ayat. Karena itu, surah at-Taubah ini dapat digelari sebagai
“surah perang”.
Jadi,
total “ayat-ayat perang” dalam Al-Qur’an ada sebanyak 124 ayat. Sebenarnya
jumlah ayat dan juga surah yang memuat “ayat-ayat perang” ini bisa bertambah
lagi. Ada beberapa kata yang memiliki makna sama seperti “perang”. Misalnya,
pertempuran, bertempur, serang, menyerang dan penyerangan. Namun semua
kata-kata tersebut tidak masuk dalam kategori demi menjaga konsistensi pilihan
(2 pilihan) sehingga sama seperti “ayat-ayat cinta”, yang juga terbatas pada 2
pilihan (cinta dan kasih).
Jika
membaca “ayat-ayat perang” dengan akal sehat yang jernih, maka kita dapat
menemukan beberapa poin penting.
1. Konteks waktu.
“Ayat-ayat perang” dalam Al-Qur’an mempunyai 2 jenis konteks waktu, yaitu masa
lampau dan masa kini. Yang dimaksud dengan masa kini bukan saat sekarang ini,
tetapi konteks zaman Muhammad, sedangkan masa lampau adalah konteks zaman
sebelum Muhammad. Setelah ditelaah “ayat-ayat perang” yang ada, maka akan
ditemukan ada sekitar 5 ayat dengan konteks lampau, 3 ayat di kelompok surah
Makkiyyah dan sisanya di surah Madaniyyah. Perang dalam kelima ayat ini terjadi
pada zaman Musa, Daud dan Sulaiman. “Ayat-ayat perang” dengan konteks zaman
Muhammad ada 119 ayat; dimana ada 5 ayat berada dalam kelompok surah Makkiyyah.
Jumlah yang banyak ini
hendak menegaskan betapa pesan perang itu sangat kuat dalam Al-Qur’an, dan
bukan tidak mustahil pesan tersebut menjadi pedoman bagi umat islam dewasa
kini. Hal ini tidak jauh berbeda dengan “ayat-ayat kafir” yang juga lebih
banyak konteks waktu kini ketimbang lampau.
2. Jenis ayat.
Dari 124 “ayat-ayat perang”, tidak semuanya mempunyai jenis yang sama. Kita
dapat membagi jenis “ayat-ayat perang” ke dalam beberapa kelompok, seperti perintah,
aktivitas atau kegiatan, keadaan atau situasi, dll. Jenis perintah di sini
berarti ada nada ajakan untuk berperang atau berjihad. Jenis aktivitas atau
kegiatan tampak pada kata-kata seperti “berperang”, “memerangi”, “diperangi”,
dll, sedangkan untuk jenis keadaan terlihat pada kata “peperangan”.
Dari penelusuran “ayat-ayat
perang”, jenis ayat perintah ada sebanyak 20
ayat. Karena Al-Qur’an itu merupakan wahyu Allah yang langsung, maka dapatlah
dikatakan bahwa perintah untuk berperang itu langsung berasal dari Allah.
Karena ini merupakan perintah, maka ia menjadi kewajiban. Jadi, umat islam
wajib untuk berperang. Hal ini ditegaskan kembali dalam QS al-Baqarah: 216.
3. Dampak/hasil perang.
Setiap perang pastilah menimbulkan dampak. Umumnya dampak yang dihasilkannya
adalah buruk. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an dapat ditemukan bahwa dampak perang
itu positif, sehingga perang dijadikan kewajiban. Ada beberapa surah yang
menegaskan bahwa perang atau jihad itu wajib bagi umat islam, dan itu langsung
berasal dari Allah, bukan manusia. Surah yang mewajibkan perang adalah QS al-Baqarah: 216, 246; QS an-Nisa: 77; QS al-Anfal: 72.
Dampak perang dalam
Al-Qur’an dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu dampak jangka pendek dan
jangka panjang (masa depan). Untuk jangka pendek, perang atau jihad dapat
menghasilkan rampasan perang. Rampasan perang dapat menjadi penghasilan yang
menghidupkan keluarga. Sekedar diketahui bahwa para pengikut Muhammad di Madina
tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang untuk menghidupkan diri dan
keluarga. Mereka tidak punya kebun, dan tak punya juga keahlian dalam berkebun.
Untuk menjawab tuntutan inilah Muhammad, dengan mengatas-namakan wahyu Allah,
akhirnya memutuskan untuk “merampok” kafilah-kafilah yang menuju/dari Mekkah.
Wahyu Allah tentang rampasan perang dapat dibaca dalam QS Ali Imran: 161; QS al-Anfal: 1, 41, 69; QS al-Fath: 19, 20.
Memang perang akan
menimbulkan kematian di kedua belah pihak. Kematian di pihak islam bukanlah
suatu kerugian, melainkan keuntungan yang selalu dikejar. Orang yang mati dalam
perang atau jihad mendapat jaminan masuk sorga dengan kenikmatan segala
kenikmatannya, termasuk kenikmatan seksual. Inilah dampak jangka panjang.
Perang atau jihad dilakukan bukan semata-mata karena kewajiban, tetapi juga
karena sorga yang dijanjikan. Ada banyak ayat yang menyatakan hal tersebut,
seperti QS Ali Imran:
195; QS an-Nisa: 95; QS at-Taubah: 111; QS al-Fath: 17.
4. Sasaran Perang.
Dalam buku-buku sejarah dipaparkan bahwa salah satu sasaran perang atau jihad
kelompok Muhammad adalah para kafilah. Tujuan penyerangan terhadap rombongan
kafilah ini adalah untuk mendapatkan harta rampasan yang bisa menghidupi
anggota kelompok Muhammad. Tujuan lain adalah untuk mematikan jalur ekonomi
Mekkah serta memberi pesan (psy-war)
kepada Mekkah.
Akan tetapi, hal ini
sepertinya tidak tampak dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an sasaran perang
kelompok Muhammad pertama-tama adalah kaum kafir. Allah sudah mengatakan bahwa
kaum kafir adalah musuh yang nyata bagi umat islam. Selain orang kafir, sasaran
perang kelompok Muhammad lainnya adalah kaum musyrikin dan kaum munafik.
5. Khas Madaniyyah.
Dari 124 “ayat-ayat perang”, sekitar 93,5% berada dalam kelompok surah
Madaniyyah. Menjadi pertanyaan, kenapa “ayat-ayat perang” jauh lebih banyak
berada pada kelompok surah ini? Dari uraian tentang nabi Muhammad terlihat
jelas bahwa saat berada di Madinah
kelompok Muhammad bukanlah kelompok kecil lagi seperti ketika masih berada di
Mekkah. Muhammad tidak hanya tampil sebagai nabi. Sejak saat itu dia tampil
juga sebagai pemimpin. Ada tanggung jawab sebagai pemimpin untuk menghidupi
kelompoknya; ada ambisi tersembunyi untuk menguasai Mekkah (ka’bah) dan menjadi
penguasa Arab. Untuk semua hal inilah maka diturunkanlah wahyu-wahyu yang
berisikan tentang perang dan jihad. Dengan kata lain, kata-kata “perang” dan
“jihad” baru muncul saat berada di Madinah. Selama berada di Mekkah Muhammad
disibukkan dengan membangun image
agar orang menerimanya sebagai nabi serta ajarannya.
Banyaknya “ayat-ayat perang”
yang berkonteks jaman Muhammad berada pada kelompok surah Madaniyyah membuat surah
Madaniyyah bisa disebut sebagai surah-surah perang. Malah kita dapat menjadikan
“ayat-ayat perang” sebagai salah satu tolok ukur atau kriteria untuk
menempatkan sebuah surah masuk ke dalam kelompok surah Makkiyyah atau
Madaniyyah. Hanya surah-surah yang di dalamnya terdapat 2 kata dasar “perang”
dan “jihad” dengan konteks jaman Muhammad, masuk ke dalam kelompok surah
Madaniyyah.
Akan tetapi, ada sedikit
persoalan kecil. Ada 3 surah, yang dalam pandangan umum masuk kelompok surah
Makkiyyah, namun di dalamnya terdapat “ayat-ayat perang”. Ketiga surah itu
adalah QS an-Nahl:
81, 110; QS al-Ankabut: 6,
69 dan QS al-Muzzammil:
20. Bagaimana menjelaskan ketiga surah ini?
Menyikapi ketiga surah ini,
setidaknya ada 2 pendapat yang bisa diajukan. Pertama, haruslah dikatakan bahwa ketiga surah tersebut bukan masuk
kelompok surah Makkiyyah, tetapi Madaniyyah. Dasarnya 2 surah, yaitu surah
an-Naml dan al-Muzzammil, menggambarkan situasi perang yang dapat dipastikan
tidak pernah terjadi di Mekkah (sebelum hijrah). Demikian pula dengan surah
al-Ankabut dimana kata “jihad”, yang dalam Al-Qur’an dapat dimaknai juga dengan
perang, baru mungkin muncul setelah hijrah. Surah an-Naml, selain kata “perang”
dan “jihad” ada indikasi kuat lain yang bisa menempatkannya pada kelompok surah
Madaniyyah, yaitu kata “hijrah” (ay. 110). Bagaimana mungkin muncul kata ini
selagi di Mekkah, sebelum hijrah dilakukan? Hanya mungkin ketika Muhammad
berada di Madinah (setelah hijrah).
Kedua,
jika ketiga sudah ini tetap diakui sebagai
kelompok surah Makkiyyah, maka haruslah dikatakan bahwa ayat-ayat yang memuat
“ayat-ayat perang” bukanlah bagian surah tersebut. Mungkin orang-orang dulu,
yang bertugas menulis wahyu-wahyu Allah, salah menempatkannya. Sekedar
diketahui, penempatan suatu wahyu ke dalam kelompok surah Makkiyyah atau
Madaniyyah bukanlah atas kehendak Allah, melainkan atas inisiatip manusia.
karena itulah, kekeliruan dalam penempatan bukan tidak mustahil bisa terjadi
mengingat setiap manusia mempunyai keterbatasan.
DEMIKIANLAH
5 poin penting hasil telaah atas “ayat-ayat perang”. Dari hasil telaah ini
dapatlah dikatakan bahwa islam adalah agama perang. Dasarnya, Al-Qur’an tidak hanya
untuk umat islam pada abad VI dan VII saja, tetapi berlaku hingga sepanjang
masa. Ada wahyu Allah yang penerapannya menuntut supaya umat islam, mau tidak
mau, harus berperang. Dengan kata lain, umat islam harus menciptakan perang
agar wahyu Allah tersebut menjadi relevan dan hidup. Jika tak ada perang maka
ayat Al-Qur’an menjadi mati. Tentulah hal ini berdampak bagi iman islam.
Tak
sedikit islam moderat berasionalisasi dengan mengatakan bahwa saat ini perang yang
dimaksud adalah perang melawan kemungkaran, seperti melawan kejahatan, korupsi,
prostitusi dan kemaksiatan lainnya. Akan tetapi, konteks yang ditawarkan ini
bertentangan dengan wahyu Allah dalam QS al-Baqarah:
216. Perang yang dimaksudkan Allah adalah perang yang sesungguhnya, dimana ada
bunuh-membunuh, yang tentu saja tidak menyenangkan sehingga banyak umat tidak
menyukainya. Sementara perang melawan kejahatan dan kemaksiatan tentulah sangat
disukai. Karena itulah, rasionalisasi umat islam tersebut jelas-jelas bertentangan
dengan kehendak Allah.
Bentuk
rasionalisasi umat islam lainnya adalah dengan mengatakan bahwa ayat perang itu
harus dipahami dalam konteks waktu. Artinya, perang yang dimaksud dalam
Al-Qur’an adalah perang pada zaman Muhammad, yang tidak lagi bisa diterapkan
pada masa sekarang. Jadi, ayat perang melawan kaum kafir harus dipahami pada
konteks dulu, orang kafir zaman dulu yang diperangi, bukan orang kafir dewasa
kini. Rasionalisasi ini pun sangat lemah. Jika pemahaman konteks seperti itu,
maka pengharaman babi sekarang tidak relevan. Ketika babi dikatakan kotor, itu
harus dilihat pada konteks dulu, sementara banyak babi sekarang bersih. Karena
itu, babi sekarang tidak haram. Selain itu, pemahaman konteks seperti itu
membuat wahyu Allah tidak lagi relevan.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar