Dunia lagi heboh. Titik episentrum kehebohan itu adalah pernyataan Presiden Perancis, Emmanuel Macron yang dinilai telah melecehkan nabi Muhammad SAW. Sebenarnya pernyataan Macron sendiri tidak terkait langsung terhadap penistaan Muhammad. Akar persoalan adalah kartun karikatur nabi Muhammad yang diperkenalkan seorang guru (Samuel Paty) di ruang kelas kebebasan berekspresi. Kartun itulah yang dinilai menghina nabi Muhammad. Samuel Paty yang menampilkan kartun itu akhirnya dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya oleh seorang muslim.
Menanggapi
tragedi inilah Macron akhirnya membuat pernyataan bahwa Perancis tidak akan
menutup atau menghapus karikatur tersebut. Ada kesan bahwa Macron membela dan
membiarkan kartun tersebut tetap tampil di depan publik. Jadi, bisa dikatakan
bahwa pernyataan Macron itu untuk menanggapi sikap biadab umat islam yang
membunuh guru yang menunjukkan karikatur nabi Muhammad, yang diambil dari
Majalah Charlie Hebdo terbitan tahun 2015. Karikatur itu bukanlah hasil karya Samuel
Paty, tapi karya orang lain yang dimuat di sebuah majalah. Samuel Paty kemudian
mengambilnya untuk menjadi bahan pelajaran. Namun kebiadaban seorang muslim
telah mengakhiri nyawanya, sementara yang menciptakan karya itu masih tetap
hidup.
Menanggapi
pernyataan tersebut umat islam dunia bangkit menentang dan mengecam. Hal ini
bukan hal baru. Sudah tradisi. Mereka marah karena Macron telah melecehkan
Muhammad SAW, atau setidak-tidaknya dia membiarkan pelecehan itu terus terjadi.
Demo dan kemarahan umat islam hanya tertuju kepada pernyataan Macron yang
dinilai telah menghina islam, sementara guru yang dipenggal kepalanya oleh
seorang muslim diabaikan.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) juga tak mau ketinggalan. Pada 30 Oktober lalu, MUI
mengeluarkan surat pernyataan dengan nomor Kep-1823/DP-MUI/x/2020.
Surat ini ditanda-tangani oleh Sekretaris Jenderal Anwar Abbas dan Wakil Ketua
Umum Muhyiddin Junaidi. Ada 7 poin pernyataan sikap terkait penghinaan umat
islam dan penghinaan nabi Muhammad. Dari 7 poin tersebut, sama sekali tidak
disinggung soal pemenggalan kepala Samuel Paty oleh seorang muslim, yang
menjadi akar persoalan.
Berikut ini kami sajikan ketujuh poin tersebut, yang sebagian besar kami ambil dari Patroli Post. Kami tidak hanya sekedar menampilkan poin-poin pernyataan tersebut, melainkan juga memberikan catatan kritis atasnya sehingga pembaca dapat lebih cerdas menyikapinya.
Pertama,
memboikot semua produk yang berasal dari negara Perancis serta mendesak
Pemerintah Indonesia untuk melakukan tekanan dan peringatan keras kepada
Pemerintah Perancis serta mengambil kebijakan untuk menarik sementara waktu
Duta Besar Republik Indonesia di Paris hingga Presiden Emmanuel Macron mencabut
ucapannya dan meminta maaf kepada umat islam se-dunia.
Pada
poin pertama ini, terlihat jelas bahwa MUI tidak bisa membedakan persoalan.
Perlu disadari bahwa persoalan Macron itu adalah persoalan antara Pemerintah
Perancis dengan umat islam se-dunia, termasuk Indonesia, bukan dengan Pemerintah Indonesia. MUI harus ingat
bahwa negara Indonesia bukan negara berdasarkan agama; penduduk Indonesia tidak
hanya umat islam saja. Hubungan diplomasi Indonesia – Perancis adalah hubungan
untuk kepentingan seluruh warga. Kalau mau boikot, ya silahkan umat islam
sendiri melakukannya, jangan mendesak pemerintah ikut-ikutan sibuk dengan
urusan ini yang ujung-ujungnya merugikan juga umat lainnya yang sama sekali
tidak berkaitan dengan kartun Muhammad.
Kedua, umat
islam Indonesia tidak ingin mencari musuh. Umat islam hanya ingin hidup
berdampingan secara damai dan harmonis. Namun jikalau yang bersangkutan sebagai
kepala negara Perancis tidak menginginkan dan tidak mau mengembangkan sikap
bertoleransi saling menghormati, maka umat islam terutama umat islam Indonesia
yang juga punya harga diri dan martabat untuk membalas sikap dan tindakan
dengan memboikot semua produk yang datang dari Perancis.
Nah,
sikap inilah yang masuk akal. Di sini terlihat jelas bahwa umat islam
menghadapi sendiri permasalahannya dengan Presiden Macron tanpa membuat umat
agama lain dirugikan. Akan tetapi, MUI harus juga berefleksi diri. Jangan hanya
menuntut Macron mengembangkan sikap bertoleransi saling menghormati, tapi MUI harus
juga menuntut umat islam untuk mengembangkan sikap bertoleransi saling
menghormati. Sudahkah islam memiliki sikap toleran dan saling menghormati?
Untuk
mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut, silahkan baca: QS 109: 6 dan BulanRamadhan, Wisata Halal, Penghinaan Agama dan Intoleransi, Tak Ada Toleransi dalam Islam, Benarkah Islam Menghormati Perbedaan.
Ketiga, menghentikan
segala tindakan penghinaan dan pelecehan terhadap nabi Muhammad, termasuk
pembuatan karikatur dan ucapan kebencian dengan
alasan apapun juga.
Sebenarnya
semua orang sepakat bahwa pelecehan dan penistaan agama dengan alasan apapun
harus dihentikan. Hal ini pernah disuarakan oleh Paus Fransiskus dan Ahmed
el-Tayeb lewat Dokumen Abu Dhabi. Apa yang terjadi di Perancis adalah contoh
penistaan agama atas nama kebebasan berekspresi. Lewat poin tiga ini terlihat
MUI tampil bijaksana. Tapi kita bisa menemukan ketidak-konsistenan sikap MUI
ini. Terhadap penistaan agama atas nama kebebasan berekspresi yang menyentuh
islam MUI bersikap tegas mengecam, namun terhadap penistaan agama atas nama
aqidah (ajaran agama) yang menyentuh agama lain, MUI malah mendukung. Tentu
kita ingat akan kasus UAS dengan pernyataan “Jin kafir pada salib”, yang
dinilai telah menghina umat kristiani. Akan tetapi, kala itu MUI justru berada
di belakang UAS dan mendukung serta membelanya. (untuk membaca tulisan-tulisan yang mengulas kasus UAS, silahkan baca di sini)
Karena
itulah, di sini terlihat bahwa MUI tidak konsisten dengan prinsipnya sendiri.
Ada kesan, hanya penghinaan terhadap islam tidak boleh dilakukan dengan alasan
apapun, sementara islam boleh menghina agama lain. Hal ini sejalan dengan azas “Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tapi aku
boleh menghina agamamu, dan kamu tidak boleh menghina agamaku.”
Keempat, mendukung
sikap Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang telah memboikot produk negara
Perancis. Ada beberapa negara yang telah melakukan hal tersebut, seperti Turki,
Qatar, Kwait, Pakistan dan Bangladesh.
Memperhatikan
fenomena negara-negara OKI yang memboikot produk Perancis, kita jadi ingat
penyataan Sayyid Mahmoud al-Qimni, “Jika identitas Mesir berdasarkan pada
Arabia dan persekutuan islamiah, maka orang muslim Mesir lebih merasa
bersaudara dengan muslim Bosnia dibandingkan dengan orang Mesir Kristen Koptik.
Dengan begitu, mencurahkan darah orang Mesir Koptik dianggap halal, dan orang
Mesir Kristen ini dibunuh karena apa yang terjadi terhadap Muslim di Bosnia dan
Hursik.” Dalam pernyataan al-Qimni ini tampak jelas kalau umat islam itu picik.
Mereka tidak peduli dengan umat agama lainnya sekalipun mereka satu negara.
Umat islam hanya peduli dengan umat islam.
Pernyataan
dukungan MUI terhadap sikap OKI ini bisa bermakna ganda. Di satu sisi hendak
ditujukan kepada umat islam Indonesia, namun di sisi lain mau ditujukan kepada
pemerintah Indonesia. Ada kesan MUI mau mengajak pemerintah Indonesia untuk
mengikuti sikap yang dilakukan oleh negara Turki, Qatar, Kwait, Pakistan dan
Bangladesh.
Kelima, mendesak
kepada Mahkamah Uni Eropa untuk segera mengambil tindakan dan hukuman kepada
Perancis atas tindakan dan sikap Presiden Emmanuel Macron yang telah menghina
dan melecehkan nabi Muhammad.
Tak
puas mendesak pemerintah Indonesia, kini MUI mendesak juga Mahkamah Uni Eropa
untuk memberi tekanan kepada Perancis. Tak bisa menghadapi sendiri, MUI mencari
dukungan lain. Padahal pihak lain tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Selain itu, seharusnya MUI sadar diri kalau semangat menghina agama lain itu ada
dalam inti agama islam sendiri, yaitu Al-Qur’an. MUI sendiri belum bisa
bersikap tegas terhadap penghinaan agama yang dilakukan UAS, koq malah meminta pihak lain bertindak
tegas atas penistaan terhadap islam.
Keenam, menghimbau
semua khatib, dai, mubaligh agar menyampaikan pesan materi khutbah Jumat untuk
mengecam dan menolak terhadap penghinaan atas diri nabi Muhammad.
Bukan
tidak mungkin pesan ini akan meluas. Tidak hanya sebatas mengecam dan menolak.
Bisa saja masing-masing pihak yang dihimbau MUI itu mengembangkan gagasan ini
dengan mencari dasar untuk bersikap terhadap penghinaan terhadap nabi Muhammad.
Misalnya, dengan menggunakan QS al-Ahzab: 60 – 61, bisa saja orang menjadikan
dasar untuk membunuh orang yang menghina nabi Muhammad. Selain Al-Qur’an, bisa
juga pendasarannya ditemukan dalam hadis, misalnya seperti kasus pembunuhan
atas 3 penyair yang berani mengkritik Muhammad. Karena tidak bisa pergi ke
Perancis, maka bisa saja sasarannya orang Perancis yang ada di Indonesia. Jika
hal ini terjadi, siapakah yang bertanggung jawab?
Ketujuh, menghimbau
kepada umat islam Indonesia agar kiranya dalam menyampaikan aspirasi hendaknya
dilakukan secara damai dan beradab.
Pernyataan
terakhir ini sungguh terkesan bijak. Namun bisa saja pernyataan ini untuk mengantisipasi
kejadian buruk yang ditimbulkan akibat pengembangan dan perluasan pesan dari
pernyataan nomor 6. Karena itu, jika akhirnya nanti umat islam marah dan
menemukan dasar tindakannya dalam Al-Qur’an dan hadis sehingga melakukan
tindakan nekat, MUI bisa cuci tangan. Kan
sudah dihimbau untuk berlaku damai dan beradab.
DEMIKIANLAH
7 poin pernyataan MUI beserta tanggapan kritisnya. Dari semua poin itu, sama
sekali tidak menyinggung sedikitpun kasus pembunuhan secara biadab yang dilakukan
seorang muslim terhadap Samuel Paty. Kita bisa bertanya, apakah tindakan
membunuh itu sudah sesuai dengan ajaran islam sehingga sama sekali tidak
dilihat sebagai bentuk penghinaan terhadap islam? Kalau ditelaah dengan nalar
sehat, maka dapatlah dikatakan bahwa tindakan pembunuhan itu sejalan dengan
ajaran islam, karena jika tidak maka hal tersebut bisa dinilai menodai islam.
Dari
semua poin tersebut, satu hal yang menarik adalah sikap MUI yang tidak
konsisten berhadapan dengan penistaan agama. Jika penghinaan itu terjadi kepada
agama islam, maka MUI bersikap tegas, tapi jika penghinaan itu terjadi kepada
agama lain, dan pelakunya umat islam, MUI bungkam dan malah membela. Tentulah kita
masih ingat akan kasus UAS. Dalam kasus tersebut UAS malah memberi klarifikasi
di kantor MUI dan didampingi pengurus MUI. Malah MUI turut melobi pimpinan
gereja-gereja (PGI dan KWI) agar kasus UAS tidak dilanjutkan ke ranah hukum,
sekalipun UAS tidak mau minta maaf karena apa yang dilakukannya sudah sesuai
dengan aqidah. Terkait dengan masalah UAS, silahkan baca Kasus UAS Buktikan 3 Hal Ini; Kasus UAS dan Cermin Agama Islam; Kasus UAS dan Puncak Gunung Es Penistaan Agama oleh Islam; Ini Yang Perlu Diketahui Umat Islam tentang Kasus UAS.
Sekalipun
tulisan ini mengkritisi pernyataan MUI menanggapi Presiden Macron, bukan lantas
berarti tulisan ini membela Macron. Kami punya sikap bahwa agama tidak boleh dihina dengan alasan apapun.
Dabo
Singkep, 2 Nov 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar