DIALOG ANTARUMAT BERAGAMA &
BERKEPERCAYAAN
Dalam
membangun persaudaraan antarumat beragama dan berkepercayaan, membangun
toleransi dan mengembangkan inklusifitas sangat diperlukan. Sikap toleransi
harus mengarah kepada keberanian dan keterbukaan untuk memahami agama dan
kepercayaan lain melalui dialog, bukan dengan memakai asumsi-asumsi subyektif.
Dialog
berarti berbicara satu sama lain, bercakap-cakap dan bertukar pikiran. Dialog antarumat
beragama amat penting namun peka sekali. Karena itu, dibutuhkan keterbukaan dan
pengertian. Ada beberapa makna dan bentuk dialog:
(1) Dialog
antarumat beragama dapat mendiring orang untuk lebih memahami agamanya secara
tepat dan jernih
(2) Dialog
antarumat beragama menuntut orang mendengarkan, mempertimbangkan dan mau
menghormati pandangan pihak lain
(3) Dialog
antarumat beragama bukan bermaksud mempertobatkan pihak lain ke dalam
kepercayaan lain
Wujud
dialog dapat terlihat seperti:
a) Dialog
kehidupan: interaksi dengan anggota masyarakat agama lain dalam aneka kegiatan
b) Dialog
formal: interaksi dengan orang dari agama lain dalam pertemuan atau rapat
formal
c) Dialog
teologis: interaksi dengan orang dari agama lain untuk menemukan kejelasan
masalah keagamaan atau iman kepercayaan
d) Dialog
doa: kegiatan doa bersama dengan orang dari agama lain
Keempat
wujud dialog ini dapat dibedakan, tapi tak bisa dipisahkan. Dialog hendaknya
ditingkatkan dalam bentuk kerja sama nyata.
1.
Pengalaman
Berdialog Antarumat Beragama
Dialog
antarumat beragama masih merupakan pro dan kontra. Ada yang menerima, ada pula
yang menolak.
Ada beberapa tujuan
diadakannya dialog. Pertama, memberikan
solusi terhadap persoalan yang sedang terjadi dalam kehidupan. Kedua, menemukan kesamaan agar tumbuh kebersamaan.
2.
Hambatan
dalam Membangun Dialog Antarumat Beragama
Ada
beberapa cara beragama dari umat beragama, yaitu
(a) Tradisional, yaitu
cara beragama berdasarkan tradisi, kebiasaan nenek moyang atau orang-orang dari
angkatan sebelumnya. Orang tradisional sulit menerima hal-hal baru terkait
dengan keagamaannya
(b) Formal, yaitu
cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya. Orang
formal mudah mengubah cara beragama, bahkan agamanya, sejauh menguntungkan.
(c) Rasional, yaitu
cara beragama berdasarkan penggunaan rasio. Orang rasional berusaha memahami
dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan dan pengamalannya.
(d) Metode Pendahulu, yaitu
cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati di bawah wahyu. Orang ini
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, pengamalan
dan penyebaran.
Setiap agama punya dua
kecenderungan, yaitu pertama yang
bersifat tradisional, dogmatis, ritualistik, institusional dan legal. Agama
dengan tipe ini merupakan agama statis. Kedua
yang bersifat liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual dan
manusiawi. Agama dengan tipe ini lahir dari kedalaman hati manusia, dan biasa
disebut agama dinamis.
Beberapa aspek hambatan
dalam mengadakan dialog antarumat beragama:
a) Aspek
Tokoh Historis
(1) Fanatisme
dan sovinisme pemeluk agama membuat mereka melihat tokoh yang satu lebih unggul
dari yang lain
(2) Proses
pembodohan dalam kaderisasi dan propaganda dari pemuka agama sehingga umat
tidak memperoleh informasi yang benar dan utuh tentang tokoh historis dan
ajarannya
b) Aspek
Harta Milik
(1) Kekayaan
terkadang dipakai untuk menindas orang miskin
(2) Kekayaan
sering dipakai untuk provokasi agama dengan kekerasan
(3) Kekayaan
sering diperlakukan sebagai status simbol
c) Aspek
Pesan Universal
(1) Persepsi
yang berbeda dari masing-masing agama dan pemuka agama (bahkan dalam satu agama
yang sama) tentang pesan agamanya
(2) Ketertutupan
dan eksklusivitas para pemeluk agama
d) Aspek
Tujuan Hidup
(1) Solidaritas
eksklusif
(2) Adanya
persaingan tak sehat dalam mencapai tujuan hidup
(3) Matinya
dialog dan komunikasi
e) Aspek
Pandangan terhadap Kaum Miskin
(1) Adanya
kesenjangan social
(2) Adanya
budaya materialisme, konsumerisme, hedonisme bahkan darwinisme
(3) Pendiskreditan
terhadap kaum miskin
f) Aspek
Iman, Ibadat dan Kitab Suci
(1) Beriman
pada Tuhan yang sama, tapi perbedaan tradisi dibesar-besarkan
(2) Persaingan
dalam pembangunan rumah ibadat dan pendukungnya
(3) Alergi
membaca dan mempelajari Kitab Suci agama lain
Dari uraian di atas dapat
dikatakan bahwa faktor utama penghambat dialog adalah eksklusivisme. Hal ini ditunjukkan
dengan sikap tradisional dimana umat lain menjadi sasaran untuk ditobatkan.
Sikap ini ada hampir di semua agama, karena didasarkan pada ajaran
tradisionalnya. Hal ini berdampak:
(a) Saling
curiga dan memagari diri
(b) Saling
mengintip strategi dan metode ekspansi
(c) Berkembangnya
kelompok ekspansionis yang radikal dan intoleran
(d) Konflik
dan perang saudara
Secara tidak langsung mau
dikatakan untuk mewujudkan dialog sehingga terciptanya persaudaraan sejati,
tiap-tiap agama harus berani menanggalkan sikap eksklusivisme, termasuk
tradisional. Persoalan menjadi sulit dihadapi oleh agama-agama non katolik,
seperti protestan dan islam, karena tidak punya garis komando.
3.
Usaha
Mengatasi Hambatan dalam Berdialog Antarumat Beragama
Secara
sederhana, hambatan negatif-destruktif diubah ke arah yang positif dan
konstruktif.
a) Aspek
Tokoh Historis
(1) Tingkatkan
dialog interaktif tentang visi misi tokoh historis
(2) Jujur
memperkenalkan figure, visi misi tokoh historis
(3) Membangun
sikap inklusif
b) Aspek
Harta Milik
(1) Kekayaan
dipakai untuk melayani orang miskin
(2) Mengagendakan
“dakwah” dengan topic peranan harta bagi manusia
c) Aspek
Pesan Universal
(1) Mengungkap
nilai-nilai universal dalam ajaran agama
(2) Membangun
komunikasi, formal dan informal, untuk menyatukan persepsi tentang pesan
keselamatan universal
d) Aspek
Tujuan Hidup
(1) Membuka
dialog dan komunikasi yang manusiawi
(2) Membangun
solidaritas yang inklusif
(3) Merintis
kerjasama untuk mencapai tujuan hidup bersama
e) Aspek
Pandangan terhadap Kaum Miskin
(1) Membina
kerjasama dalam pengentasan kemiskinan
(2) Membuka
dialog terbuka
f) Aspek
Iman, Ibadat dan Kitab Suci
(1) Dialog
untuk memahami tradisi dan dinamika hidup beriman umat lain
(2) Dialog
dan kerjasana untuk studi Kitab Suci
Untuk membongkar
eksklusivitas dan membangun inklusivitas, opsi berikut dapat dilakukan oleh
umat kristiani:
(a) Sikap
Inklusif
1. Umat
kristiani dapat mempertahankan keunikan Kristus tapi membedakan antara Kristus
dengan agama Kristen. Karl Rahner berkata bahwa orang agama lain adalah orang
“Kristen anonim”. Referensinya: Mat 7: 21; 12: 50; Luk 9: 49 – 50.
2. Umat
islam, seperti kelompok Paramadina, memahami orang muslim sebagai “orang yang
berserah pada Tuhan” sehingga tak terbatas pada orang yang mengucapkan syahadat
iman.
3. Sikap
inklusif mampu membedakan yang mutlak (Kitab Suci) dari yang relative (institusi),
sehingga mampu bersikap positif terhadap agama lain tanpa merombak terlalu
banyak warisan teologi.
4. Sikap
inklusif kurang memperhitungkan aspek relasi dan komunitas
(b) Sikap Pluralitas
Indiferen
1. Menerima
dan menghormati agama lain sebagai sesame jalan menuju keselamatan. Orang
Kristen menerima Yesus sebagai jalan keselamatan, dan menghormati al-quran
sebagai jalan keselamatan bagi umat islam, Taurat bagi umat Yahudi, Buddha bagi
kaum Buddhis, dsb. Referensinya adalah Rom 11: 25 – 36.
2.
Pluralisme indiferen bersikap sangat terbuka dan simpatik terhadap agama lain,
menyadari kebesaran Allah di atas kebesaran agama, serta bersikap rendah hati,
menyadari keterbatasan agama sendiri.
3.
Pluralisme indiferen cenderung melakukan generalisasi, kurang sensitif terhadap
perbedaan visi, orientasi dan etika di antara agama-agama.
(c) Pluralisme Dialogis
1.
Pluralisme dialogis mengakui dan menghargai agama lain sebagai sesama untuk
mengenal Allah dan kehendak-Nya
2.
Pluralisme dialogis menegaskan keyakinan terhadap keunikan iman sendiri
berdasarkan pengalaman pribadi maupun bersama
3.
Pluralisme dialogis mengakui kelemahan, dosa dan keterbatasan iman sendiri
Implikasinya adalah:
1) Yakin
punya keutamaan iman untuk dibagikan dan disaksikan
2) Sadar
bahwa kemampuan menyaksikan Injil punya kekurangan dan keterbatasan
3) Bersaksi
bukan untuk menaklukkan tapi untuk membagikan
4) Bersaksi
bukan menghakimi tapi membukakan kebenaran
5) Bersaksi
bukan tindakan satu arah, tetapi interaktif. Artinya siap juga menerima
kesaksian pihak lain.
Untuk mendukung semua itu,
kita dapat merujuk pada nasehat Kitab Suci, seperti Yoh 4: 21 – 24; Mat 8: 10 –
12; Luk 10: 25 – 37; 2Kor 4: 6 – 7; Gal 1: 6 – 10; Yak 4: 12.
4. Teladan Yesus dalam Membangun Dialog
dengan Berbagai Pihak
#.
Yesus mengasihi semua orang, baik yang memilih-Nya maupun tidak, sebab kasih
itu tidak memilih apalagi mengecualikan orang lain. Yesus berkata, “Karena
dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga, yang menerbitkan matahari
bagi orang-orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi
orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5: 45) Kasih sejati adalah
kasih yang memberikan nyawanya untuk sahabatnya. “Tidak ada kasih yang lebih
besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15: 13).
#.
Yesus menerima orang berdosa yang selalu dikucilkan. Yesus berkata, “Bukan
orang sehat yang memerlukan dokter, tetapi orang sakit.” (Mrk 2: 17).
#.
Yesus menerima orang yang hidup dalam kekerasan, bahkan menjanjikan hidup
abadi. Ini dapat kita lihat ketika Yesus menerima perampok yang ikut disalibkan
bersama Dia (Luk 23: 42 – 43). Kuncinya ada pada pertobatan.
#. Yesus
menerima orang yang dipandang sangat hina. Salah satu contoh adalah ketika
Yesus membiarkan diri-Nya disentuh wanita pendosa (Luk 7: 36 – 50).
#.
Melalui perumpamaan anak yang hilang (Luk 15: 11 – 32) Yesus memberi pelajaran
bahwa kesalahan seberat apa pun, kita harus menerima sebagai manusia dengan
penuh kasih, seperti Allah sendiri. Penerimaan yang disertai sikap penuh kasih
justru memungkinkan orang berdosa kembali ke jalan yang benar.
#. Yesus
tidak menghakimi dan menjatuhkan hukuman. Misalnya ketika Yesus dihadapkan pada
perempuan yang kedapatan berzinah (Yoh 8: 2 – 11). Yesus mau menegaskan bahwa
Allah merindukan pertobatan bagi pendosa.
#.
Yesus mengajarkan untuk menerima dan berbuat baik kepada siapa saja tanpa
memandang latar belakangnya. Kisah orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25 –
37) menjadi rujukannya.
Sebenarnya masih banyak lagi
teladan Yesus terkait dengan upaya membangun inklusivitas demi terwujudnya
persaudaraan sejati. Semuanya ada dalam Kitab Suci.
sumber: Pendidikan Agama Katolik:
Menjadi Murid Yesus untuk SMA/K Kelas XII
baca
juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar