Indonesia termasuk salah
satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. Hukuman mati dalam
undang-undang hanya dikenakan kepada terpidana kasus narkoba dan kasus
kejahatan kemanusiaan, seperti teroris. Pro kontra pada penerapan hukuman mati
pun merebak. Mereka yang menentang hukuman mati mendasarkan alasannya pada
aspek hak asasi manusia (HAM), sementara mereka yang mendukung diterapkannya
hukuman mati didasarkan pada alasan efek jera. Mereka yang mendukung melihat
bahwa dengan efek jera yang ditimbulkan oleh hukuman mati dapat mengurangi
tingkat kejahatan, atau malah menghilangkannya.
Akan tetapi, haruskah
pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman mati?
Logika Sesat
Seorang mantan hakim yang pernah
menjatuhkan hukuman mati mengungkapkan alasan sederhananya mendukuing hukuman
mati, yaitu bahwa rakyat mendukung. Ia mengambil contoh, ketika terhadap
kejahatan berat dijatuhi hukuman bebas, maka rakyat akan marah; namun ketika
dijatuhi hukuman mati maka rakyat diam saja. Diamnya rakyat dinilai sebagai
bentuk persetujuan pada putusan tersebut.
Sungguh, ini merupakan suatu
kesesatan berpikir. Pertama, contoh yang diambil terlalu hitam
putih sehingga tidak memberi peluang pada warna lain. Mantan hakim itu hanya
memberi putusan antara bebas dan hukuman mati, tanpa memberi kesempatan pada
pilihan lain. Sehingga kalau tidak A, maka Z. Padahal antara A dan Z masih ada
banyak pilihan. Antara putusan bebas dan hukuman mati, masih ada banyak hukuman
lain, mulai dari ringan, agak ringan, agak berat, berat, sangat berat sampai
pada hukuman seumur hidup.
Kedua, sekalipun hukum itu harus menyentuh rasa keadilan rakyat, namun
suara hati tetap harus dijunjung tinggi. Diamnya rakyat terhadap putusan
hukuman mati belum tentu berarti bahwa putusan itu sudah menjawab rasa keadilan
rakyat. Harus bisa dibedakan antara rasa adil dan rasa puas. Kebanyakan orang
baru merasa puas jika keinginannya terpenuhi. Orang masih hidup dalam jaman
jahiliyah: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Jadi, bila ada keluarga saya mati,
maka pelakunya juga harus mati. Di situlah saya baru puas; dan kepuasan inilah
yang dikatakan keadilan.
Memang hukum harus berpihak
pada rasa keadilan rakyat. Namun hakim adalah penengah. Ia tidak memihak pada
rakyat dan juga terhukum. Oleh karena itulah hakim selalu disimbolkan dengan
dewi keadilan yang matanya tertutup. Dia memutuskan perkara dengan mendengarkan
suara hatinya.
Orang sering mengatakan
bahwa hukuman mati dapat menimbulkan efek jera. Sampai saat ini belum terbukti
korelasinya. Negara China yang selalu menjadi rujukan pun tidak dapat
membuktikan korelasi antara hukuman mati dan efek jera. Malahan di
negara-negara yang tidak ada hukuman mati justru tingkat kejahatannya minim.
Ada kesesatan dalam logika
bahwa hukuman mati berdampak pada efek jera. Efek jera siapa yang mau
dibangkitkan dengan hukuman mati? Sanksi hukum yang diberikan kepada terhukum memang
harus memiliki efek jera agar terhukum tidak mengulangi lagi kejahatan. Jadi
efek jera itu tertuju kepada terhukum. Nah, jika terhukumnya diberi hukuman
mati, bagaimana bisa muncul efek jera karena yang bersangkutan sudah mati.
Dengan hukuman mati terhukum sama sekali tidak diberi kesempatan untuk jera
atau tobat. Dengan hukuman mati berarti si terhukum bukan hanya tidak
mengulangi kejahatannya, melainkan sama sekali tidak pernah lagi melakukan
kejahatan lainnya.
Kesesatan lain lagi adalah
soal lemahnya sistem hukum dan penjara kita. Lemahnya dua hal ini menyebabkan
pelaku kejahatan masih bisa menjalankan bisnisnya dari dalam penjara. Sehingga
dengan demikian dapat terlihat bahwa kejahatan masih marak, malah bertambah.
Hukum tidak menimbulkan efek jera; itulah kesimpulannya. Jelas sekali
kesimpulan ini sesat. Yang salah adalah sistem hukum dan penjaranya. Oleh
karena itu, dua hal itulah yang harus ditangani, bukan melimpahkannya kepada
pelaku kejahatan.
Tolak Hukuman Mati
Saya menolak hukuman mati.
Terhadap kejahatan apapun, saya tidak mendukung diterapkannya hukuman mati.
Orang selalu berkata bahwa dengan hukuman mati akan menimbulkan efek jera.
Karena jera, maka orang tidak akan melakukan lagi kejahatan. Efek jera
berdampak pada kurangnya tingkat kejahatan dalam masyarakat.
Jera bisa dimengerti dengan
istilah takut. Jera atau takut merupakan dimensi psikis. Oleh karena itu, untuk
membangkitkan dimensi ini, orang harus disentuh aspek psikisnya. Sentuhan fisik
juga bisa menimbulkan rasa takut atau jera. Misalnya, ketika anak di rumah
berbuat salah dan oleh orang tuanya dipukul atau dijewer telinganya. Peristiwa
ini membuat anak takut untuk melakukan kesalahan yang sama.
Hukuman mati berarti kita
telah mengambil hidupnya. Orang tidak pernah lagi merasakan efek jera tersebut.
Oleh karena itu, saya mau mengatakan kepada para pengambil kebijakan, untuk
para pelaku kejahatan, hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil nyawanya.
Ada tiga sebab mengapa saya
tidak setuju dengan hukuman mati. Pertama, kita hendaknya
memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan. Tentu ada yang mengatakan bahwa
sudah diberi kesempatan kedua tapi tetap saja melakukannya. Bagi saya, hal itu
terjadi karena hukumannya tidaklah terlalu berat dan pelaksanaannya pun tidak
tegas.
Di samping itu harus
disadari bahwa hidup itu adalah hak Tuhan. Inilah alasan kedua.
Kita manusia tidak berhak atas hidup manusia, sekalipun dia telah melakukan
kejahatan. Sejahat apapun tindakannya, kita tidak boleh menghilangkan hidup
seseorang. Yang dapat kita lakukan adalah mengekang hidupnya dengan
sanksi-sanksi, bukan menghilangkan hidupnya.
Karena jika ternyata dalam
perjalanan waktu terbukti bahwa terhukum tidak bersalah, kita masih bisa
merehabilitasi nama baiknya. Namun jika dihukum mati, tentulah kita tak akan
bisa mengembalikan hidupnya. Ada banyak kasus terpidana yang dihukum mati, tapi
dikemudian hari terbukti tidak bersalah.
Alasan ketiga,
hukuman mati tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat, kecuali rasa puas. Ada
bahaya jika penegak hukum bertindak hanya untuk memuaskan keinginan rakyat. Hal
ini dapat menjerumuskan bangsa kita menjadi bangsa biadab. Karena itu, saya
lebih cenderung menerapkan sanksi hukum yang sangat berat yang menimbulkan rasa
takut dan mendatangkan manfaat bagi rakyat.
Hukuman 3 in 1: Sebuah Solusi
Tidak adanya rasa takut dan
malu dalam diri koruptor ini disebabkan karena hukum yang dikenakan kepada
mereka masih terbilang amat sangat ringan, malah menyenangkan. Selama ini kita
sering saksikan bahwa para pelaku kasus korupsi dan narkoba mendapatkan vonis
hukuman yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat
perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara (misalnya kasus Atalyta Suryani)
serta hak istimewa seperti remisi (misalnya kasus Aulia Pohan) atau keluar dari
tahanan tanpa pengawalan. Malah para penjahat narkoba masih bisa menjalani
bisnisnya dari dalam penjara.
Beratnya hukuman itu bukan
hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang berat itu
bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera itu
berkaitan dengan masalah psikologi.
Seperti apa hukuman berat
itu? Saya memberikan satu
jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus menjadi
satu kesatuan. Istilahnya three in one law. Setiap pelaku
tindak kejahatan yang sudah divonis bersalah oleh hakim, wajib dikenakan tiga
sanksi ini dalam satu waktu.
Tindakan pertama adalah hukuman
kurungan. Hukuman penjara buat para koruptor harus lama: minimal 60 tahun
dan maksimal 85 tahun. Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun, karena
remisi itu adalah hak setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan korupsi
hanyalah remisi dan grasi. Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah
di penjara atau kemudahan keluar dari tahanan. Demikian pula untuk kejahatan
narkoba dan teroris atau pembunuhan berencana. Kepada mereka harus diberi
sanksi minimal 75 tahun dan maksimal seumur hidup.
Tindakan kedua adalah penyitaan
dan ganti rugi. Kepada para pelaku kejahatan serius (narkoba dan korupsi)
harus kekenakan sanksi denda atau ganti rugi sebesar, misalnya 500 kali lipat
dari nilai nominal kejahatan mereka. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan
korupsi sebesar 1 miliyar, maka mereka harus dikenakan denda 500 miliyar. Untuk
kasus kejahatan narkoba denda 500 kali lipat dari nilai nominal barang yang
disita. Misalnya, seseorang membawa 1 kg pil ekstasi dengan nilai jual 2
miliyar, maka dendanya adalah 1 triliun. Selain itu, harta milik mereka harus
juga disita.
Tindakan ketiga adalah kerja
sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju
belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial
dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran kali.
Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi
kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu
dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk
menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan
waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas
memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.
Dengan adanya sanksi sosial
ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat efek jera dan
tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi sosial mereka.
Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah masyarakat,
sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan kejahatan. Kehadiran
mereka dengan pakaian khusus akan menjadi alarm bagi warga: “kamu pun bisa
begini!” Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan.
Penutup
Dari beberapa tulisan
seputar wacana ini saya lihat bahwa sebenarnya para pemerhati dan pejabat
pemerintah tahu bahwa sistem hukum dan penjara kita bermasalah. Nah, kenapa
tidak sistem hukum dan penjaranya saja yang dibenahi. Kenapa kesalahan pada
“pihak” lain ditimpakan pada pelaku kejahatan?
Jika ingin membenahi, maka
mungkin solusi saya soal 3 in 1 law bisa menjadi bahan
pertimbangan. Solusi yang saya berikan di atas itu berangkat dari dua
pemikiran, pertama, hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil hidupnya;
dan kedua, hukuman bukan hanya jera untuk pelaku kejahatan tetapi
juga orang lain selain bermanfaat bagi orang lain.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar