BUNDA MARIA SEBAGAI
TELADAN IMAN
Dalam
Gereja Katolik, bulan Mei selalu dipersembahkan kepada Bunda Maria. Karena itu,
bulan Mei dikenal juga sebagai Bulan Maria. Salah satu harapan Bapa-bapa
Gereja, dengan penetapan bulan Mei sebagai Bulan Maria, adalah agar umat
semakin mendekatkan diri pada Bunda Maria. Umat diajak menimba berbagai teladan
hidup Bunda Maria. Salah satunya adalah teladan iman.
Secara
sederhana iman dapat dipahami sebagai sikap berserah diri kepada kehendak
Allah. Apapun yang terjadi, semuanya sesuai dengan kehendak Allah. Dan inilah
yang terlihat dalam diri Bunda Maria.
Bila
diperhatikan kehidupan Bunda Maria, kita dapat melihat sikap imannya itu. Dari awal
perkenalan akan rencana keselamatan (warta gembira) hingga akhir (wafat Sang
Putera), Bunda Maria menunjukkan sikap iman itu. Pada waktu menerima kabar
sukacita dari Malaikat Gabriel, Bunda Maria sadar akan konsekuensi dari
keputusannya. Akan tetapi semuanya diserahkan kepada Allah. “Terjadilah padaku
menurut perkataan-Mu itu.”
Dalam
tradisi Gereja, pernyataan Bunda Maria kepada Malaikat Gabriel kembali terulang
ketika ia menerima jenasah Puteranya yang baru diturunkan dari salib. Dikatakan
bahwa setelah menurunkan tubuh Yesus dari salib, Yusuf dari Arimatea meletakkan
jenasah itu ke pangkuan Bunda Maria. Inilah yang melahirkan figur patung pieta. Setelah menerima jenasah
puteranya, Bunda Maria berkata, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut
kehendak-Mu.”
Bunda
Maria tidak berontak atau protes atas apa yang terjadi pada dirinya, sekalipun
semua itu tidak sesuai dengan keinginannya. Tentu dia tidak ingin hamil sebelum
menikah. Bunda Maria sadar betul konsekuensi bagi seorang perempuan jika
ketahuan hamil sebelum menikah. Tentulah ia akan dituduh berzinah. Dan orang
yang berzinah akan dihukum rajam. Tapi karena semua itu merupakan kehendak
Allah, Bunda Maria menerimanya dengan takwa.
Demikian
pula ketika puteranya dijatuhi hukuman mati dengan cara disalib. Bunda Maria
tidak protes atau berontak atas apa yang menimpa puteranya sekalipun dia tahu
tidak ada kesalahan pada puteranya. Bunda Maria tidak menuntut Pilatus atau
Kayafas. Dengan tenang Bunda Maria menerima semuanya itu dengan penuh iman.
“Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”
Sikap
iman Bunda Maria ini mirip dengan sikap iman Abraham. Seperti yang sudah
diketahui, Abraham mengikuti saja perintah Allah, termasuk mempersembahkan
Ishak, anaknya yang tunggal. Ishak didapat dengan susah payah, butuh waktu yang
lama. Ishak merupakan wujud janji Allah kepada Abraham tentang keturunannya.
Abraham tidak protes atau berontak kepada Allah. Ia berserah kepada kehendak
Allah, sehingga ia mau mempersembahan putera tunggalnya. Karena itulah Abraham
dikenal sebagai Bapa Kaum Beriman.
Pengalaman
hidup yang dialami Bunda Maria bisa saja sering kita alami. Bukan tidak
mungkin, dalam kehidupan kita sering mengalami persoalan hidup atau peristiwa
yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Pasti dalam hidup kita pernah
mengalami kegagalan, kesedihan, kekecewaan dan lain sebagainya. Tak jarang
kebanyakan kita menyikapinya dengan marah, berontak lari dari masalah atau
putus asa.
Bunda
Maria adalah contoh teladan iman. Dari padanya umat dapat menimba teladan
imannya. Menghadapi persoalan-persoalan hidup yang sering tidak sesuai dengan harapan
dan keinginan pribadi, kita diajak untuk menyerahkannya kepada kehendak Allah.
“Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” Kita diajak untuk berserah diri kepada
Tuhan. Di balik semua peristiwa hidup, ada rencana Tuhan atas diri kita.
Memang
hal ini tidaklah mudah. Menuntut sikap berserah sesuai kehendak Allah, sementara
kehendak Allah itu bertolak belakang dengan keinginan kita, terasa amat sangat
sulit. Namun bukan lantas berarti kita langsung menyerah. Sikap menyerah
berarti kalah. Sementara dalam sikap berserah ada secercah harapan. Untuk ini
kita sebenarnya mempunyai banyak saksi, seperti yang diutarakan penulis Kitab
kepada Orang Ibrani (Ibr 11 – 12).
Saya
cukup tersentuh dengan pernyataan iman seorang ibu tua di Jakarta ketika
menghadapi peristiwa duka. Suaminya yang tercinta dipanggil Tuhan. Ibu itu
sudah lama menderita sakit stroke,
sementara suaminya masih segar bugar. Tapi jalan hidup manusia tidak ada yang
tahu. Tuhan memanggil sang suami lebih dahulu. Tentu kebanyakan orang, termasuk
ibu itu, akan berpikir kenapa bukan ibu itu yang lebih dahulu meninggal.
Bukankah dia sudah sakit-sakitan.
Ketika
saya menyalaminya dan mengucapkan belasungkawa, ibu itu berkata, “Tuhan
menghendaki demikian.” Dia sedih tapi menyerahkankan semuanya kepada Tuhan. Terus
terang saya cukup kaget mendengar pernyataan ibu itu. Awalnya saya berpikir dia
akan berkata, “Kenapa bukan saya yang dipanggil?”
Batam, 30 April 2015
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar