"Salam Kasih Kristus,
Saya
dengar keuskupan Pangkalpinang mau mendirikan seminari menengah. Memang awalnya
saya menolak ide tersebut. Penolakan saya bukan tanpa dasar. Namun, setelah
saya membaca Peraturan Pemerintah no 55 Thn 2007, tentang pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan, saya sedikit mendukung gagasan tersebut. Bagi saya ini
adalah kesempatan emas untuk membangun umat. Bukan tidak mustahil, seminari itu
bisa “menciptakan” kader-kader atau umat yang cerdas baik dalam pengetahuan
umum juga pengetahuan iman.
Kenapa
saya katakan “sedikit”, ini lantaran masih harus ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Hal-hal itu antara lain:
1. Sesuai dengan PP tadi, seminari harus berada di bawah
DEPAG. Meski untuk itu, kita tetap bernegoisasi tentang pengadaan kelas KPB
(dan KPA?). Juga soal nama sekolah. Kita harus “rela” tidak menggunakan istilah
seminari, walau ke dalam istilah itu yang kita munculkan. Dan mengenai ada
tidaknya kelas KPB dan/atau KPA kiranya perlu dibahas secara internal.
2. Harus sudah siapkan sarana gedung dan fasilitas
penunjang. Inipun perlu pembahasan internal untuk menentukan gedung-gedung apa
saja yang dibutuhkan agar tidak mubasir kemudian. Satu hal yang perlu
diperhatikan, pembangunan sarana itu tidak perlu menggunakan tender segala. Saya
pikir, kita sendiri bisa merancangnya. Saya tidak mau kesalahan rancangan Puri
Sadhana terulang lagi. Dalam pikiran saya, agar tidak makan tempat, dibuat
lantai dua. Ruang kelas di bawah, di atas kamar Pembina. Kecuali asramanya.
3. Tentukan lokasinya. Saya berharap lokasinya jauh dari
keramaian. Kebun Sahang lumayan juga. Namun perlu dipertimbangkan dengan tenaga
guru dari luar yang mengajar.
4. Sosialisasi ide ini kepada umat. Tujuannya agar umat
juga tahu dan menyadarinya sehingga muncul kesadaran dalam diri mereka bahwa
seminari ini juga merupakan milik mereka. Bukan tidak mungkin mereka akan
mengirimkan anak mereka ke seminari. Yang sering terjadi adalah banyak program
keuskupan bersifat Top down. Umat
yang memikulnya. Ini mirip dengan kritik Yesus terhadap kaum Farisi dan ahli
taurat. Jadi, soal jadi tidaknya, saya berharap umat juga didengarkan suaranya.
Kalau mayoritas umat tidak setuju, lebih baik kita jangan memaksakan ide kita.
Masih banyak program yang belum terlaksana.
5. Siapkan tenaga SDM-nya mulai sekarang. Jangan tunggu
mau jalan dulu baru sibuk cari SDM. Persiapan diri memudahkan mereka untuk
menyiapkan materi ajar.
6. Mengingat keuskupan menyelenggarakan sekolah sendiri,
maka harus ada jalinan kerjasama dengan yayasan bidang pendidikan. Tujuannya,
agar suatu saat anak-anak yang keluar dapat melanjutkan sekolah di sekolah
yayasan.
Demikianlah
enam pokok penting yang perlu diperhatikan. Dan itu juga yang menjadi dasar
mengapa tadi saya katakan kalau saya “sedikit” mendukung. Ini hanya sumbang
saran. Untuk itu, di kalangan imam harus satu suara. Kiranya perlu diundang
ahli hukum, bpk Stef Agus untuk dengar pendapat. Mungkin ada masukan dari
mereka.
Saya
mengusulkan agar nama seminarinya yaitu seminari menengah Mario Jhon Bun. Bersama
surat ini, saya mengirim rancangan kurikulum seminarinya."
Mengenai kurikulum silahkan baca di sini. Baca juga soal pelajaran seminari serta kalender akademiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar