Rabu, 28 April 2021

IMAN KEPADA YESUS TIDAK HANYA DILABELI "KAFIR", TAPI JUGA DIMUSUHI


 

Yesus, dalam Injil, sudah menyatakan bahwa tidaklah mudah untuk menjadi murid atau pengikut-Nya. Orang harus memikul salibnya setiap hari. Dengan kata lain, orang musti menderita. Dan tentang penderitaan ini juga Yesus sudah menegaskannya. “Karena Aku, kamu...” akan dibenci, disiksa dan dianiaya bahkan dibunuh (Mat 10: 22; 21: 12; Mrk 13: 13; Luk 21: 12; 21: 17). Kematian menjadi dampak terburuk mengikuti Yesus.

Oleh karena itu, ada begitu banyak martir dalam Gereja Katolik. Mereka ini mati demi imannya kepada Yesus. Martir pertama yang dicatat dalam Kitab Suci adalah Santo Stefanus. Dia terpaksa meregangkan nyawanya demi Yesus Kristus. Semua martir ini menerima kematiannya tanpa ada perasaan dendam kepada para pembunuhnya. Malahan, mengikuti Sang Gurunya, mereka mengampuni. Sekalipun diiringi dengan penderitaan, bahkan kehilangan nyawa, Yesus menghibur supaya tidak perlu takut. “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan mendapatkannya.” (Mat 10: 39; 16: 25; Mrk 8: 35; Luk 9: 24).

Derita para pengikut Yesus terus berlanjut hingga kini. Ada banyak umat yang kehilangan hak-haknya, karena imannya pada Yesus. Pembangunan gedung gereja, tempat umat beribadah, selalu dipersulit dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Bahkan ada umat, sebagaimana para martir, yang akhirnya tewas lantaran mempertahankan imannya. Contoh kasus terakhir adalah Haroon, pemuda yang bertugas di sebuah Islamic Centre di Lahore, Pakistan. Pakistan adalah salah satu negara dengan penduduknya mayoritas beragama islam.

Haroon ditembak mati oleh seorang satpam beragama islam bernama Umar Farooq, yang adalah juga rekan kerjanya. Peristiwa itu terjadi pada 16 April 2014, dua hari sebelum Jumat Agung. Umar selalu meminta Haroon untuk meninggalkan keyakinannya dan beralih ke islam. Bahkan Umar menjanjikan kehidupan yang mewah. Akan tetapi, Haroon selalu menolak permintaan Umar. Kepada umat ia nyatakan bahwa dirinya adalah seorang pengikut Yesus Kristus yang sejati. Karena permintaannya selalu ditolak, Umar menjadi kesal. Ia menembaki Haroon di kepalanya sehingga ia tewas di tempat.

Selasa, 27 April 2021

INI SIKAP GEREJA TERHADAP SAKSI YEHOVA


 

Di kalangan Gereja-gereja sendiri ada anggapan bahwa ada kelompok tertentu di negeri ini, walaupun mengaku sebagai bagian dari umat Kristen, patut dilarang kehadirannya, sebab beberapa dari kelompok tersebut memiliki pengajaran yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Salah satu kelompok tersebut yang kini menjadi perhatian adalah Saksi-Saksi Yehova (SSY).

Menanggapi hal itu, pada Kamis (05/01) di Ruang Sidang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Salemba 10, Jakarta 10, diadakan Diskusi Awal Tahun 2012. Seperti dirilis pada situs resmi PGI, Acara Diskusi Awal Tahun 2012 ini dihadiri oleh kalangan akademik dan teolog, ANBTI dan Sinode GKI. Diskusi ini membahas perkembangan situasi bangsa Indonesia yang menyangkut kebebasan beribadah, kasus kekerasan yang semakin marak dan mengenai Saksi-Saksi Yehuwa (SSY) yang bernama resmi Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI).

Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang melalui makalahnya yang berjudul ‘Gereja dan Kebebasan Beragama di Indonesia’ menuangkan beberapa poin penting terkait SSY yang disampaikannya kepada forum. Ia mengatakan walaupun konstitusi negara menjamin hak dan kebebasan setiap orang atau tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, warga negara tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan undang-undang termasuk juga SSY. “Berdasarkan UUD itu kita bisa menyoroti realitas beragama di negara kita ini, apakah hak dan kebebasan itu sudah ditegakkan, atau yang lebih ditekankan justru adalah pembatasannya” tulisnya.

Sikap Gereja kepada Saksi Yehuwa

Walau tidak dihadiri perwakilan SSY yang telah diundang sejak 21 Desember 2011 lalu. Diskusi tersebut mendapat enam hal penting yang dirangkum sebagai catatan kepada Gereja-gereja dan PGI dalam menyikapi SSY; diantaranya.

Pertama, Gereja-gereja maupun PGI tidak berhak membubarkan SSYI, seandainya pun sebagian besar ajarannya sangat berbeda dari ajaran Gereja-gereja yang sudah lebih dulu ada. Sehingga Gereja-gereja maupun PGI juga tidak pada tempatnya meminta pemerintah untuk membubarkan SSYI, kecuali kalau SSYI nyata-nyata melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Sedang terkait kunjungan mereka ke rumah-rumah, bila itu dilakukan dengan sopan dan tidak memaksa, dan selama penghuni rumah tidak menyatakan diri terganggu lalu mengadukan mereka ke polisi, maka tindakan mereka itu tidak dapat dikategorikan sebagai penyebab keresahan.

Senin, 26 April 2021

MENGENAL JENIS PENDISIPLINAN ANAK


 

Memiliki anak adalah dambaan setiap pasangan suami istri. Anak bisa menjadi jawaban atas setiap doa yang selalu dipanjatkan segera setelah menikah. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa menjadi orangtua tidak hanya sebatas mendapatkan anak, tetapi juga harus ditindak-lanjutnya dengan merawat, menjaga, membesarkan dan terutama mendidik anak. Salah satu jenis pendidikan anak adalah pendisiplinan. Perlu diketahui bahwa anak sejak diri harus sudh dibiasakan dengan disiplin. Akan tetapi, pendisiplinan anak beda dengan pendisiplinan remaja.

Dilansir dari Elizabeth B. Hurlock, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (edisi 5). Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 122, orangtua harus mengetahui metode-metode apa saja yang cocok untuk mendisiplinkan anak. Berikut ini beberapa metode pendisiplinan pada anak.

Disiplin Otoriter

Ini merupakan bentuk disiplin tradisional dan yang berdasarkan pada ungkapan kuno yang mengatakan bahwa ‘menghemat cambukan berarti memanjakan anak.’ Dalam disiplin yang bersifat otoriter, orang tua dan pengasuh yang lain menetapkan peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Tidak ada usaha untuk menjelaskan pada anak, mengapa ia harus patuh dan padanya tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya peraturan-peraturan atau apakah peraturan-peraturan itu masuk akal atau tidak. Kalau anak tidak mengikuti peraturan, ia akan dihukum yang seringkali kejam dan keras dan yang dianggap sebagai cara untuk mencegah pelanggaran peraturan di masa mendatang. Alasan mengapa pelanggaran peraturan oleh anak tidak pernah dipertimbangkan adalah bahwa ia mengetahui peraturan itu dan sengaja melanggarnya, juga tidak perlu diberikan hadiah karena telah mematuhi peraturan. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya dan tiap pemberian hadiah dipandang dapat mendorong anak untuk mengharapkan sogokan agar melakukan sesuatu yang diwajibkan masyarakat.

Disiplin yang lemah