Di kalangan Gereja-gereja sendiri ada anggapan bahwa ada kelompok tertentu
di negeri ini, walaupun mengaku sebagai bagian dari umat Kristen, patut
dilarang kehadirannya, sebab beberapa dari kelompok tersebut memiliki
pengajaran yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Salah satu kelompok tersebut
yang kini menjadi perhatian adalah Saksi-Saksi Yehova (SSY).
Menanggapi hal itu, pada Kamis (05/01) di Ruang Sidang Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia (PGI), Salemba 10, Jakarta 10, diadakan Diskusi Awal Tahun
2012. Seperti dirilis pada situs resmi PGI, Acara Diskusi Awal Tahun 2012
ini dihadiri oleh kalangan akademik dan teolog, ANBTI dan Sinode GKI. Diskusi
ini membahas perkembangan situasi bangsa Indonesia yang menyangkut kebebasan
beribadah, kasus kekerasan yang semakin marak dan mengenai Saksi-Saksi Yehuwa
(SSY) yang bernama resmi Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI).
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang melalui makalahnya yang berjudul ‘Gereja
dan Kebebasan Beragama di Indonesia’ menuangkan beberapa poin penting terkait
SSY yang disampaikannya kepada forum. Ia mengatakan walaupun konstitusi negara
menjamin hak dan kebebasan setiap orang atau tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, warga negara tersebut wajib
tunduk pada pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan undang-undang termasuk
juga SSY. “Berdasarkan UUD itu kita bisa menyoroti realitas beragama di negara
kita ini, apakah hak dan kebebasan itu sudah ditegakkan, atau yang lebih
ditekankan justru adalah pembatasannya” tulisnya.
Sikap Gereja kepada Saksi Yehuwa
Walau tidak dihadiri perwakilan SSY yang telah diundang sejak 21 Desember
2011 lalu. Diskusi tersebut mendapat enam hal penting yang dirangkum sebagai
catatan kepada Gereja-gereja dan PGI dalam menyikapi SSY; diantaranya.
Pertama, Gereja-gereja maupun PGI tidak berhak
membubarkan SSYI, seandainya pun sebagian besar ajarannya sangat berbeda dari
ajaran Gereja-gereja yang sudah lebih dulu ada. Sehingga Gereja-gereja maupun
PGI juga tidak pada tempatnya meminta pemerintah untuk membubarkan SSYI,
kecuali kalau SSYI nyata-nyata melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku di negeri ini.
Sedang terkait kunjungan mereka ke rumah-rumah, bila itu dilakukan dengan sopan dan tidak memaksa, dan selama penghuni rumah tidak menyatakan diri terganggu lalu mengadukan mereka ke polisi, maka tindakan mereka itu tidak dapat dikategorikan sebagai penyebab keresahan.
Kedua, walaupun Gereja-gereja menilai bahwa
sebagian besar ajaran SSYI berbeda atau bertentangan dengan ajaran dan
keyakinan Gereja-gereja di Indonesia, mereka itu tidak bisa begitu saja dicap
sebagai bidat atau pengajar sesat, sebab bisa saja tuduhan yang sama
dialamatkan penganut agama lain kepada Gereja-gereja.
Dan perbedaan ajaran itu juga tidak boleh menjadi alasan atau dasar
pertimbangan bagi pemerintah untuk melarang SSYI ataupun komunitas religius
lainnya. Sebagai gereja kita tidak setuju atas tindakan pemerintah sekarang ini
terhadap Jemaah Ahmadiyah; karena itu sikap yang sama juga perlu kita
perlihatkan sehubungan dengan keberadaan SSYI.
Ketiga, bila Gereja-gereja menilai bahwa ajaran
SSY bertentangan dengan ajarannya dan berbahaya bagi iman warganya, yang harus
dilakukan oleh Gereja-gereja adalah mendidik, membina sekaligus membentengi
iman warganya dengan memberikan pembekalan yang intensif, tak kalah intensifnya
dari SSY, agar warga gereja tidak terpengaruh oleh beranekaragam ajaran yang
berbeda dari ajaran resmi Gereja.
SSY hanyalah satu di antara sekian banyak aliran atau ajaran yang berbeda
dari ajaran Gereja; tidak mungkin Gereja melarang semua itu, atau meminta
pemerintah melarangnya. Tidak baik bila Gereja meminjam tangan atau kuasa
pemerintah untuk membasmi ajaran tertentu. Sebab bisa saja pihak lain meminjam
tangan pemerintah untuk melarang gereja, seperti yang terlihat dalam kasus GKI
Taman Yasmin, hal yang pasti tidak disetujui Gereja-gereja.
Keempat, sebelum kita menyatakan SSY ataupun
ajaran lain menyimpang atau sesat, sebaiknya kita mendalami ajaran mereka dari
sumber primer, yaitu tulisan-tulisan yang mereka hasilkan sendiri.
Kiranya kita tidak menilai SSY atau siapa pun berdasarkan sumber-sumber
sekunder, tertier, dst. Banyak literatur yang berisi kecaman dan tuduhan kepada
SSY, termasuk dalam bahasa Indonesia, yang tidak didasar-kan pada sumber resmi,
sehingga pihak SSY dengan mudah akan menyanggahnya.
Kelima, kita mengundang dan terus melakukan
pendekatan dan menyampaikan ajakan kepada SSYI agar ambil bagian dalam
pertemuan-pertemuan antar organisasi keagamaan, sehingga mereka tidak
memencilkan diri atau merasa dipencilkan dari pergaulan antar sesama umat
beragama.
Harus diakui, selama ini tidak mudah mengajak dan menghadirkan mereka dalam
pertemuan seperti itu; mereka mengemukakan macam-macam alasan untuk menolak.
Kita ingatkan mereka bahwa kehadiran mereka justru untuk kebaikan mereka, untuk
menepis atau mengurangi prasangka dan penilaian negatif atas mereka.
Keenam, kita mengingatkan mereka agar tidak
melakukan kegiatan yang bisa mengundang reaksi atau tuduhan bahwa mereka
menimbulkan gangguan atau keresahan. Kalau mereka berkunjung ke rumah kita atau
warga Gereja kita, kita ingatkan agar mereka tidak memberkesan membujuk ataupun
memaksa, karena datang berkali-kali. Kita ingatkan juga agar mereka tidak
menyampaikan ajaran SSY sambil menyalahkan ajaran gereja atau agama lain.
Mengenai Trinitas, misalnya; SSY boleh saja menyatakan bahwa mereka tidak
menganut ajaran itu, tetapi kita ingatkan mereka agar tidak menyatakan ajaran
gereja lain adalah keliru, sebab setiap ajaran memiliki landasan teologis
masing-masing. Kalau setelah kita ingatkan, mereka masih terus melakukan hal
itu, maka kita boleh mengadukan mereka kepada yang berwajib, dengan
menyampaikan bukti-bukti konkret dari tindakan mereka.
SSY ke Indonesia
Sejak awal, berbagai ajaran dan praktik dari Saksi-Saksi Yehova (SSY) yang
juga menggunakan nama lain, yaitu Persekutuan Menara Pengawal (PMP) dan
Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab (PSSA) – sudah mengundang kontroversi dari
Gereja-gereja arus utama (Lutheran, Calvinis, Anglican, Methodist, Baptis),
bahkan dari aliran awal SSY sendiri, yakni Gereja Adventis.
Menurut sumber yang diterbitkan SSY sendiri, misionaris pertama SSY ke
Indonesia, yaitu Frank Rice dari Australia, telah tiba di Batavia Juni 1931.
Orang Indonesia pertama yang menjadi warga sekaligus aktivisnya adalah
Theodorus Ratu, yang bekerja di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Utara sejak 1933
(kendati baru dibaptis di Singapore tahun 1936). Pada tahun 1964 anggotanya
sudah 4000-an dan tahun 1975 menjadi 11.000-an.
Karena mendapat pengaduan dari masyarakat, baik yang beragama Kristen
maupun yang beragama lain, dan juga penilaian negatif dari beberapa instansi
pemerintah (a.l. SSY menimbulkan keresahan dan gangguan, karena SSY rajin
berkunjung ke rumah-rumah), Jaksa Agung melalui SK tertanggal 7 Desember 1976
secara resmi melarang aliran ini berkiprah di negeri ini. Tetapi mereka tidak
menghentikan kegiatan, melainkan melan-jutkannya, dengan memakai nama lain yang
sudah disebut di atas (PMP dasn PSSA).
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atas nama demokrasi,
HAM, dan kebebasan beragama/berkeyakinan, melalui SK Jaksa Agung tertanggal 1
Juni 2001 SSY diizinkan kembali untuk berkiprah secara resmi. Di dalam SK itu
a.l. dinyatakan: “Kepada Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi Yehova
diperbolehkan hidup beraktivitas berdampingan bersama ajaran/aliran keagamaan
lainnya yang ada di Indonesia; kecuali apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Surat
Keputusan ini akan ditinjau kembali.”
SK ini menimpulkan kehebohan dan pro-kontra, terutama di kalangan
gereja-gereja di Indonesia. Sebagian besar Gereja-gereja itu selama ini mencap
SSY sebagai aliran/ajaran sesat, sehingga mereka meminta agar pemerintah
meninjau kembali (alias mencabut) SK tersebut. PGI juga diminta untuk ikut
memperjuangkan pelarangan SSY.
Dalam kenyataan-nya Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI) tetap eksis,
bahkan semakin berkembang. Balai Kerajaannya (demikian nama tempat ibadah dan
kegiatannya) didirikan di mana-mana (di Jakarta saja sekitar 10 buah, a.l. di
Gunung Sahari IV/2, dekat GKI Gunsa) dan Kantor Pusatnya beralamat Jalan
Kelinci Raya no. 36 Jakarta Pusat 10710, telp. 3811918. (PGI/TimPPGI)
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar