Memiliki anak adalah dambaan setiap pasangan
suami istri. Anak bisa menjadi jawaban atas setiap doa yang selalu dipanjatkan
segera setelah menikah. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa menjadi
orangtua tidak hanya sebatas mendapatkan anak, tetapi juga harus
ditindak-lanjutnya dengan merawat, menjaga, membesarkan dan terutama mendidik
anak. Salah satu jenis pendidikan anak adalah pendisiplinan. Perlu diketahui
bahwa anak sejak diri harus sudh dibiasakan dengan disiplin. Akan tetapi,
pendisiplinan anak beda dengan pendisiplinan remaja.
Dilansir dari Elizabeth B. Hurlock, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. (edisi 5). Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 122, orangtua
harus mengetahui metode-metode apa saja yang cocok untuk mendisiplinkan anak. Berikut
ini beberapa metode pendisiplinan pada anak.
Disiplin Otoriter
Ini merupakan bentuk disiplin tradisional dan yang berdasarkan pada
ungkapan kuno yang mengatakan bahwa ‘menghemat cambukan berarti
memanjakan anak.’ Dalam disiplin yang bersifat otoriter, orang tua dan
pengasuh yang lain menetapkan peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa
ia harus mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Tidak ada usaha untuk
menjelaskan pada anak, mengapa ia harus patuh dan padanya tidak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya
peraturan-peraturan atau apakah peraturan-peraturan itu masuk akal atau tidak.
Kalau anak tidak mengikuti peraturan, ia akan dihukum yang seringkali kejam dan
keras dan yang dianggap sebagai cara untuk mencegah pelanggaran peraturan di
masa mendatang. Alasan mengapa pelanggaran peraturan oleh anak tidak pernah
dipertimbangkan adalah bahwa ia mengetahui peraturan itu dan sengaja
melanggarnya, juga tidak perlu diberikan hadiah karena telah mematuhi
peraturan. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya dan tiap pemberian hadiah
dipandang dapat mendorong anak untuk mengharapkan sogokan agar melakukan
sesuatu yang diwajibkan masyarakat.
Disiplin yang lemah
Disiplin yang lemah berkembang sebagai proses terhadap disiplin otoriter
yang dialami oleh banyak orang dewasa dalam masa kanak-kanaknya. Filsafat yang
mendasari teknik disiplin ini adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya
sendiri anak akan belajar bagaimana berperilaku secara sosial. Dengan demikian
anak tidak diajarkan peraturan-peraturan, ia tidak dihukum karena sengaja
melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berperilaku sosial
baik. Banyak orang dewasa saat ini yang cenderung meninggalkan bentuk disiplin
ini karena tidak berhasil memenuhi tiga unsur penting dari disiplin
Disiplin Demokratis
Kecenderungan untuk menyenangi disiplin yang berdasarkan prinsip-prinsip
demokratis sekarang meningkat. Prinsip demikian menekankan hak anak untuk
mengetahui mengapa peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak
adil. Sekalipun anak masih sangat muda tetapi daripadanya tidak diharapkan
perilaku patuh yang buta-butaan. Diusahakan agar anak mengerti apa arti
peraturan-peraturan dan mengapa kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi
peraturan-peraturan itu. Dalam disiplin yang demokratis hukuman “disesuaikan
dengan kejahatan” dalam arti diusahakan agar hukuman yang diberikan berhubungan
dengan kesalahan perbuatannya, tidak lagi diberikan hukuman badan. Penghargaan
terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan harapan sosial yang tercakup
dalam peraturan-peraturan diperlihatkan melalui pemberian hadiah terutama dalam
bentuk pujian dan pengakuan sosial.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar