Rabu, 14 Oktober 2020

INSPIRASI DARI MANGKOK KAYU


Seorang kakek hidup dengan anak laki-laki, menantu, dan cucunya yang masih berusia 4 tahun. Tangan kakek itu sudah sulit memegang sesuatu, matanya rabun, dan jalannya pun tertatih-tatih. Pada suatu malam, keluarga itu makan bersama di meja. Tetapi karena tangannya gemetar dan mata yang rabun, membuat ia sulit untuk makan. Makanan di sendoknya terjatuh ke lantai, susu di gelas pun tumpah di meja makan itu. Anak dan menantunya menjadi kesal karenanya.

“Kita harus melakukan sesuatu terhadapnya. Aku sudah tidak kuat harus membersihkan tiap kali ia makan.” kata anaknya.

Lalu ia dan istrinya meletakkan meja di pojok ruangan. Di sana, si kakek itu makan sendiri ketika yang lain menikmati makan malam di meja makan. Karena si kakek sering memecahkan mangkok, makanannya dihidangkan di mangkok kayu. Kadang saat mereka menatap kakek itu, kakek itu sedang menangis saat makan sendiri. Tapi tetap saja, kata-kata mereka tetap kasar ketika kakek itu menjatuhkan makanannya. Si anak 4 tahun hanya melihat dalam ketenangan.

Suatu malam sebelum makan, si ayah mengamati anaknya sedang bermain dengan kayu.

Ia lalu bertanya, “apa yang kamu buat anakku?”

Anak itu menjawab, “Oh, aku membuat mangkuk kayu untuk papa dan mama ketika nanti aku sudah bertumbuh dewasa.”

Anak 4 tahun itu tersenyum dan melanjutkan kerjanya. Mendengar itu, orangtuanya tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai mengalir ke pipi mereka. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Malam itu, si suami memegang tangan kakek itu dan dengan hati-hati membawanya ke meja makan keluarga.

Selama sisa-sisa hidupnya, kakek itu akhirnya makan bersama lagi dengan keluarganya. Dan mereka tidak peduli lagi saat garpu si kakek terjatuh, susu tumpah, atau makanan berceceran.

Cintailah dirimu dan orang yang kamu cintai, hari ini dan selamanya!

diambil dari tulisan 7 tahunlalu

Senin, 12 Oktober 2020

KEBENARAN DAN KEBAIKAN BISA DATANG DARI SIAPA SAJA


Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far, atau yang lebih dikenal dengan nama Ebiet G Ade, pernah menulis syair lagu dengan judul “Dengarkanlah Kata-Kataku”.  Penggalan bait refreinnya, yang cukup menyentuh hati, berbunyi:

“Dengarkanlah dengan hatimu

Jangan engkau dengar dengan jiwa buta

Dengarkanlah kata-kataku

Jangan engkau melihat siapa aku”

Di sini Ebiet mau mengajak kita, para pendengar, untuk mengubah pola pikir dalam melihat sesuatu yang ada di luar diri kita. Misalnya soal kebenaran atau juga kebaikan. Bagi Ebiet, kebenaran atau kebaikan itu bukan soal rasa: saya suka dan/atau tidak suka; bukan juga soal kepentingan: di pihak saya dan/atau musuh saya.

Ebiet G Ade menghendaki agar kita menilai sesuatu itu bukan dengan jiwa buta. Artinya, menilai sesuatu itu bukan didasari pada diri sendiri: saya suka maka itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika saya tidak suka maka sesuatu itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus; jika sesuatu itu ada di pihak saya maka ia itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika sesuatu itu “anti” saya maka ia itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus.

Ebiet G Ade menghendaki agar kita melihat isinya, bukan pada kulitnya. “Dengarkanlah kata-kataku, jangan engkau melihat siapa aku.” Dengan kata lain Ebiet G Ade ingin agar kita “jangan menilai buku itu dari kulitnya.” Sekalipun kulit buku atau sampul buku itu tidak bagus dan tidak menarik, belum tentu isinya juga tidak bagus dan tidak menarik. Sebaliknya, belum menjadi jaminan bahwa sampul atau kulit yang menarik menentukan isi buku yang menarik juga.

Legenda Rawa Pening

Ada seorang ada kecil bernama Baru Klinting. Ia seorang bocah yang buruk rupa dan kudisan, akan tetapi ia memiliki kesaktian. Suatu ketika ia memasuki sebuah perkampungan untuk meminta sedekah. Melihat rupa dan tubuhnya, orang merasa jijik dan langsung mengusirnya.

Minggu, 11 Oktober 2020

JUJUR ITU KEREN


Secara sederhana kata ‘jujur’ dimaknai sebagai bicara apa adanya atau berbicara sesuai dengan fakta. Yesus Kristus pernah berkata, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat 5: 37). Kejujuran menjadi salah satu pilar penting dalam membangun relasi dengan orang lain. Dari sana akan terbangun sikap saling percaya.

Akan tetapi, kerap terjadi relasi antar manusia diwarnai dengan ketidak-jujuran. Ada banyak faktor kenapa ketidak-jujuran ini masuk dalam relasi manusia. Setidaknya ada 2 faktor utama, yaitu keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari ketidak-jujuran itu, dan adanya ketakutan bahwa kejujuran itu menyakitkan.

Format Komunikasi Ideal

Kalau kita mengikuti kursus atau membaca buku komunikasi, biasanya kita akan didoktrin untuk belajar mengatakan TIDAK pada hal-hal yang memang tidak kita kehendaki. Slogan yang kerap dipakai adalah: "jangan mengatakan YA jika Anda ingin mengatakan TIDAK". Secara teori, ini memang format komunikasi yang ideal. Kenapa?

Kalau kita mengatakan YA, padahal hati kita sebetulnya ingin mengatakan TIDAK, maka YA yang kita ucapkan itu menyisakan ganjalan di hati. Bentuknya antara lain: menggerutu, merasa diri sebagai korban, atau akan menyimpan kenangan negatif terhadap orang yang memaksa kita itu. Perasaan seperti ini akan menjadi perampok kebahagiaan.

Bahkan jika itu sudah menjadi kebiasaan / sifat, maka ungkapan YA di situ akan menjadi titik lemah. Ini karena ucapan YA di situ, lebih-lebih jika kita seorang pemimpin, pembuat kebijakan atau orang yang diserahi tanggung jawab, akan membawa konsekuensi yang panjang dan luas, misalnya konsekuensi waktu, biaya, tenaga, dan lainnya. Ya-nya kita akan menjadi incaran pemanfaatan.