Rabu, 21 September 2022

KETIKA TUHAN SEAKAN TAK PEDULI

 

Injil adalah kitab yang bercerita tentang Tuhan Yesus. Umumnya orang mengetahui kalau Tuhan Yesus adalah pribadi yang tanggap akan situasi. Misalnya, ada 6 kali dikatakan tergerak hati-Nya oleh belas kasihan ketika melihat orang, entah itu yang terlantar (Mat 9: 36; Mrk 6: 34), sakit (Mat 14: 14; 20: 34; Mrk 1: 41), maupun yang sedang berduka (Luk 7: 13). Kepada orang-orang seperti ini Tuhan Yesus segera melakukan tindakan.

Segera melakukan tindakan atau tidak menunda-nunda dapat juga kita temukan dalam pelbagai aktivitas Tuhan Yesus menyembuhkan orang. Dari sekian banyak contoh, kita ambil satu contoh ketika Tuhan Yesus menyembuhkan orang kusta (Mat 8: 1 – 3). Ketika orang kusta datang dan berkata kepada-Nya, “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”, segera Tuhan Yesus berkata, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Dan orang itu pun sembuh. Tuhan Yesus tidak mau menunda-nunda.

Akan tetapi, ternyata pernah juga Tuhan Yesus berlaku seolah-olah menunda. Dia tidak segera melakukan tindakan, meski sebenarnya Dia tahu apa yang hendak dilakukan. Sebagai contoh, kita ambil peristiwa Tuhan Yesus meredakan badai (Mrk 4: 35 – 41). Di sini akan ditampilkan 3 ayat saja:

“Mereka meninggalkan orang banyak itu, lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu, di mana Yesus telah duduk… Lalu mengamuklah badai yang sangat dahsyat, dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan, di sebuah tilam. Maka, murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”

Dikatakan bahwa ketika badai melanda dan para murid berjuang setengah mati diliputi ketakutan, Tuhan Yesus justru tidur. Tidak jelas memang apakah Tuhan Yesus benar-benar tidur atau pura-pura tidur? Namun agak sulit membayangkan dalam situasi sulit seperti itu ada orang dapat tidur, apalagi orang yang sama sekali tidak punya latar belakang kelautan.

Selasa, 20 September 2022

BEDA TIPIS ANTARA PENTING DAN BERMASALAH

 

Usai merayakan misa, rombongan suster RGS mampir sejenak di pastoran. Kebetulan ada tiga orang suster tamu. Jadi sekalian mau lihat pastoran, kenalan dengan pastor yang tadi memimpin misa.

Saya keluar menyapa mereka. Usai bersalam-salaman, kami pun mulai pembicaraan ringan. Salah satu topik pembicaraan adalah domisili saya. Seorang suster tamu, kebetulan sudah beberapa kali ke Batam, baru pertama kali bertemu dengan saya. Karena itu, ia bertanya sejak kapan tugas di Tiban.

Sadar bahwa arah pertanyaannya menyangkut domisili, maka saya segera memperbaikinya. Saya tekankan bahwa saat ini saya sedang dalam posisi tamu di Paroki Tiban. Domisili saya di Pangkalpinang, di keuskupan.

Mendengar bahwa saya tinggal di keuskupan, seorang suster langsung berkomentar, “Biasanya, yang tinggal di keuskupan itu antara dua: orang penting atau bermasalah.” Setelah ia menyelesaikan kalimatnya itu, ia menatap saya sambil tersenyum.

Saya pun langsung menjawabnya secara diplomatis, “Tidak jauh beda seperti dunia militer, Suster. Ada istilah di-Mabes-kan.”

“Jadi, romo masuk kategori pertama atau kedua?” Suster seakan tidak ingin jawaban diplomatis. Ia ingin hitam – putih.

“Saya merasa yang kedua, Suster. Karena, kalau yang pertama, kerja saya tidaklah terlalu penting. Penting pun tidak.”

Dengan jawaban ini, diharapkan suster dapat memahaminya. Saya mengatakan bahwa saya masuk kategori kedua, karena saya sendiri tidak dapat menjelaskan alasan kategori pertama. Kategori pertama mengisyaratkan saya sebagai orang penting, namun saya tidak tahu dimana letak pentingnya peran saya.

Karena tidak dapat menjelaskan letak pentingnya peran saya, maka saya akhirnya memilih kategori kedua. Akan tetapi, pilihan kategori kedua pun masih menyisahkan kebingungan, karena saya juga tidak tahu dimana letak masalah saya.

Jadi, saya tidak masuk kategori pertama, karena sama sekali peran saya tidak penting. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas harian saya selama berada di keuskupan. Amat sangat jarang sekali saya masuk “kantor” di ruang IT. Hari-hari hanya santai saja. Pelayanan paroki sama sekali tak pernah (karena tak dipakai oleh paroki). Untuk mengurus web, dapat saya lakukan dimanapun saya berada sejauh terkonek jaringan internet. Tidak masuk pada kategori pertama inilah menyisahkan pilihan lainnya, yaitu kategori kedua. Namun pilihan ini masih menyisahkan pertanyaan dalam diri saya: apa masalah saya. Saya memastikan bahwa saya ada masalah (maklum, setiap manusia pasti punya masalah), tapi saya tidak tahu masalahnya. Hanya uskup saja yang mungkin tahu.

diambil darti tulisan 7 tahun lalu

Senin, 19 September 2022

MENGUTUK POHON ARA, YESUS ANTI LINGKUNGAN HIDUP?

 

Tentu kita pernah mendengar kisah Tuhan Yesus mengutuk pohon ara sehingga pohon itu menjadi kering. Agar lebih jelasnya, akan ditampilkan kutipan teks itu.

“Pada pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya kembali ke kota, Yesus merasa lapar. Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapatkan apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. Kata-Nya kepada pohon ara itu, ‘Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!’ Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu” (Mat 21: 18 – 19)

Dalam Injil Markus dikatakan bahwa pada saat itu memang bukan musim buah ara (lih. Mrk 11: 13). Karena itu wajar kalau Tuhan Yesus tidak menemukan buah ara untuk bisa menghilangkan rasa lapar-Nya.

Teks ini sering menjadi pertanyaan orang. Kenapa Tuhan Yesus mengutuk pohon ara yang tidak berbuah, padahal saat itu belum musim berbuah? Dari pada membuatnya kering, kenapa Tuhan Yesus tidak membuatnya menjadi berbuah sehingga dapat menghilangkan rasa lapar-Nya?

Pertama-tama perlu dipahami bahwa perkataan dan perbuatan Yesus merupakan bentuk pengajaran. Tuhan Yesus mengajar bukan hanya melalui perkataan-perkataan, seperti kotbah di bukit (Matius 5 – 7), perumpamaan-perumpamaan (Mat 13, 15, 21, 22, 24, Luk 5, 6 dll) atau nasehat dan mukjizat. Tuhan Yesus mengajar juga melalui perbuatan.

Model pengajaran melalui perbuatan ini diterapkan Allah melalui para nabi dalam Perjanjian Lama. Sebagai contoh, kita dapat melihat apa yang dilakukan oleh Yesaya (Yes 20: 1 – 6) dan Yeremia (Yer 13: 1 – 11 dan 27: 1 – 11). Melalui perbuatan mereka, Allah memberikan pelajaran kepada umat Israel. Jadi, kalau dalam Perjanjian Lama Allah menggunakan manusia untuk melakukan apa yang diinginkan-Nya sebagai pelajaran, pada masa Yesus Dia sendiri melakukannya.